Kalau dihitung dari sejak pertama haid, maka qodho yang harus dibayar adalah sekitar 600an hari… Apakah harus bayar seluruh qodho 600an hari karena haid adalah uzur yang harus dibayarkan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ulama sepakat, bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadhan, dia harus mengqadha puasanya sebelum masuk Ramadhan berikutnya – selama masih mampu puasa –. Qadha boleh saja ditunda, tapi maksimal sampai bulan Sya’ban (bulan sebelum ramadhan).
Aisyah menceritakan pengalamannya ketika memiliki utang puasa Ramadhan,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
Dulu saya memiliki utang puasa Ramadhan. Dan saya tidak mampu untuk mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban. (Muttafaq ‘alaih)
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر
Disimpulkan dari semangat Aisyah untuk membayar utang puasa di bulan Sya’ban, bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya. (Fathul Bari, 4/191)
Menunda Qadha Puasa hingga Masuk Ramadhan Berikutnya
Ada 2 kondisi bagi mereka yang menunda qadha puasa Ramadhan,
✅ Pertama, mereka yang menunda qadha puasa dan memiliki udzur
Misalnya, wanita hamil, tidak puasa dan belum sempat qadha hingga masuk ramadhan berikutnya, karena menyusui.
Tidak ada kewajiban lain baginya, selain hanya qadha puasa ketika sudah memungkinkan baginya.
✅ Kedua, menunda qadha puasa hingga masuk ramadhan berikutnya tanpa udzur.
Ada 3 kewajiban untuk orang yang melakukan pelanggaran ini
- Pelakunya wajib bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, karena ini termasuk perbuatan dosa.
- Wajib segera mengqadha puasanya di luar ramadhan
- Wajib membayar kaffarah dalam bentuk memberi makan orang miskin sesuai jumlah hari puasa yang belum dia qadha. Ini merupakan pendapat jumhur. Berbeda dengan pendapat Hasan al-Bashri, an-Nakha’I, dan Hanafiyah, mereka hanya diwajibkan membayar qadha saja.
فإن أخرَّه عن رمضان آخر، نظرنا: فإن كان لعُذر، فليس عليه إلا القضاء، وإن كان لغير عذر، فعلَيْه مع القضاء إطعام مسكين لكل يوم، وبهذا قال ابن عباس، وابن عمر، وأبو هريرة، ومجاهد، وسعيد بن جبير، ومالك، والثوري، والأوزاعي، والشافعي، وإسحاق، وقال الحسن والنخَعي وأبو حنيفة: لا فدْية عليه؛ لأنه صوم واجبٌ, فلم يجبْ عليه في تأخيره كفارة، كما لو أخَّر الأداء والنذر
Jika seseorang mengakhirkan qadha puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, kita rinci, jika karena udzur, tidak ada kewajiban apapun baginya selain qadha. Jika tanpa udzur maka dia wajib qadha dan memberi makan orang miskin sejumlah hari puasa yang belum diqadha. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Said bin Jubair, Malik, at-Tsauri, al-Auza’I, as-Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah.
Sementara Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’I, dan Abu Hanifah mengatakan, tidak ada kewajiban fidyah, karena ini puasa wajib. Tidak ada kewajiban kaffarah karena mengakhirkan qadha puasa, sebagaimana ketika dia mengakhirkan pelaksanaan ibadah dan nadzar. (al-Mughni, 3/85)
As-Syaukani menukil perkataan Thahawi,
وقال الطحاوي عن يحيى بن أكثم قال: وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا
At-Thahawi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam, beliau mengatakan, “Aku jumpai pendapat yang mewajibkan kaffarah ini dari 6 sahabat. Saya tidak mengetahui adanya silang pendapat dengan mereka.” (Nailul Authar, 4/278).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
===============================
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.