Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Friday, September 14, 2018

Perkawinan Sejenis Dalam Tinjauan Islam - Bag.1

Perkawinan Sejenis Dalam Tinjauan Islam
Bila dicermati dengan seksama, secara bahasa, perpaduan antara kata “perkawinan” dengan kata “sejenis” yang sering dijumpai pada istilah “perkawinan sejenis”, terdapat ketidakcocokan makna. Hal itu dikarenakan, perkawinan adalah penggabungan, persilangan, dan pembastaran dari dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dengan perempuan pada manusia, atau jantan dengan betina pada hewan dan tumbuhan. Sehingga tidak tepat jika perkawinan itu terjadi hanya antara satu jenis makhluk hidup.

Meski fenomena ini dilegalkan di sebagian wilayah di negara-negara Eropa (Barat), namun hal itu lebih layak disebut dengan hubungan sejenis, karena tidak lebih dari sekedar pelampiasan nafsu birahi dengan cara yang salah. Adapun pernikahan, memiliki makna yang jauh lebih luas dan mulia dari pada sekedar pelampiasan nafsu. Demikian pula perkawinan dalam syariat Islam tidak dibenarkan, kecuali dari dua jenis kelamin yang berbeda.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. [an-Nabâ’/78:8].

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. [ar-Ra’d/13:38].

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [ar-Rûm/30:21].

Dalam bahasa Arab, kata “zauj” dan “azwaj” bermakna istri atau suami. Kata ini tidak terwujud, kecuali bila diawali dengan pernikahan atau perkawinan antara dua individu berjenis kelamin yang berbeda.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [an-Nisâ’/4:3].

Banyak ayat senada yang memerintahkan untuk menikahi wanita (lawan jenis).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ

Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian- ummatku-(yakni pada hari kemudian).[2]


HUKUM HUBUNGAN SEJENIS

Jika menelaah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut dengan menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth. Sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿٢٨﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[3] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al-‘Ankabût/29:28-29]

Juga firman-Nya, yang artinya, “Dan (Kami juga telah mengutus) Lûth (kepada kaumnya). Ingatlah tatkala ia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu[4] yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu ? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri,” kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. [al-A’raf/7:80-84].

Juga firman-Nya :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿٥٤﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿٥٥﴾ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٥٦﴾ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَاهَا مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٥٧﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ

Dan (ingatlah kisah) Lûth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihatkan(nya)? Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Lûth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih,” maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [an-Naml/27:54-58].

Demikianlah sejarah yang memberikan pemahaman betapa hina perbuatan keji ini, dan kehinaan bagi pelakunya.

Selanjutnya dalam khazanah keilmuan Islam khususnya ilmu fiqh, praktek homoseksual dan lesbian telah dibahas tuntas, bahwa hukumnya haram. Penyimpangan seksual ini yang dalam Islam sering disebut al-fâhisyah (dosa besar) merupakan perilaku sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat ataupun tabiat manusia. Para Ulama selain mengharamkannya, juga sangat mengutuk serta mengecam perbuatan itu. Namun demikian, pendapat para ulama tidaklah berlebihan dalam masalah tersebut karena telah jelas dalil-dalil yang mereka kemukakan.

Bila ditelusuri secara bahasa, sebenarnya tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dengan lesbian. Dalam bahasa Arab keduanya dinamakan al liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy (lotte). Namun demikian, Imam al-Mawardi rahimahullah membedakannya. Beliau menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musâhaqah.[5]

Adapun hukum perbuatan ini sangat jelas disebutkan dalam al-Qur’ân, Hadits dan ijmâ’ para Ulama. Allâh Azza wa Jalla menggambarkan azab yang menimpa kaum Nabi Lûth dalam firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ ﴿٨٢﴾ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. [Hûd/11:82-83]

Tidaklah Allâh Azza wa Jalla menurunkan azabnya kecuali kepada orang-orang yang zhalim (melakukan hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla ). Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ

Dari Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Lûth”[6]

Para Ulama juga sudah Ijmâ’, bahwa perilaku homoseksual dan lesbian adalah haram. Ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) Ulama Islam. Artinya, tidak ada diantara para Ulama yang berselisih tentang masalah ini. Jadi, tidak ada seorang Ulama pun yang berpendapat tentang kehalalannya. Hal ini sudah menjadi ketetapan hukum sejak dahulu sampai hari kemudian.

Ibnu Qudâmah al-Maqdisi menyebutkan bahwa penetapan hukum haramnya praktek homoseksual adalah Ijma’ (kesepakatan) Ulama, berdasarkan nash-nash al-Qur’ân dan al-Hadits.[7] Sehingga, dapat diambil kesimpulkan tentang haramnya hubungan sejenis menurut syari’at Islam.


Bersambung ke Bagian-2…

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive