Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan ini akan senantiasa dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala sampai hari kiamat. Namun, sudah menjadi sunatullah bahwa akan selalu muncul orang-orang ataupun kelompok yang berusaha merusak atau pun memunculkan kekaburan pada agama yang sudah jelas ini.
Di antaranya adalah perusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih mengedepankan akal dibanding nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Gerakan ini muncul di banyak tempat dan sudah berlangsung sejak dulu. Termasuk di Indonesia, gerakan ini sekarang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Menurut pemahaman Ahlus Sunnah, satu hal yang sudah mapan (sudah pasti dan tetap) dalam akidah bahwa dalam memahami agama ini harus selalu mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah berdasar pemahaman Salafus Shalih dibanding akal. Manakala ada sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka harus kita singkirkan.
Hal ini berdasarkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam Sunnahnya, di antaranya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)
وَمَا ٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِيهِ مِن شَيۡءٖ فَحُكۡمُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبِّي عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ١٠
“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifatsifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (asy-Syura: 10)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. al-Hakim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, 1/172, lihat Shahih al-Jami’ no. 2937 dan ash-Shahihah no. 1761)
Ketika masa semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak muncul fitnah, datang sebuah pemikiran atau paham bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu (dalil naqli) ketika keduanya bertentangan—menurut pemahaman penganutnya. Paham taqdimul aql ‘alan naql (mendahulukan akal dari pada naqli) yang berarti pula taqdisul ‘aql (mengultuskan akal) ini, jika kita teliti silsilah nasabnya (asal-usulnya), ia berujung pada Iblis la’natullah ‘alaihi.
Dialah yang pertama kali menggunakan akalnya untuk menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan dia bersama malaikat sujud kepada Nabi Adam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَٰكُمۡ ثُمَّ صَوَّرۡنَٰكُمۡ ثُمَّ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ لَمۡ يَكُن مِّنَ ٱلسَّٰجِدِينَ ١١ قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ١٢
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?”
Iblis menjawab, “Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 11—12)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbuatan menentang wahyu dengan akal adalah warisan Syaikh Abu Murrah (iblis). Dialah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.” (ash-Shawa’iqul Mursalah, 3/998, lihat pula Syarh Aqidah Thahawiyah hlm. 207)
Manhaj (metodologi) ini kemudian diwarisi oleh para pengikut iblis dari kalangan musuh para rasul. Diantaranya adalah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang melakukan penentangan terhadap dakwah beliau. Mereka berkata sebagaimana dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
فَقَالَ ٱلۡمَلَأُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَوۡمِهِۦ مَا نَرَىٰكَ إِلَّا بَشَرٗا مِّثۡلَنَا وَمَا نَرَىٰكَ ٱتَّبَعَكَ إِلَّا ٱلَّذِينَ هُمۡ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ ٱلرَّأۡيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمۡ عَلَيۡنَا مِن فَضۡلِۢ بَلۡ نَظُنُّكُمۡ كَٰذِبِينَ ٢٧
“Dan berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami. Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang yang hina dina di antara kami yang mudah percaya begitu saja. Kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’.” (Hud: 27)
Yakni, orang-orang yang menentang Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata bahwa mereka (para pengikut Nabi Nuh ‘alaihissalam) mengikuti beliau tanpa dipikir benar-benar (Tafsir as-Sa’di, hlm. 380).
Orang-orang kafir itu beralasan, mereka tidak mengikuti Nabi Nuh ‘alaihissalam karena menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang rasional dan berpikir maju, sedangkan pengikut para rasul berakal pendek (lekas percaya).
Hal yang sama terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan tentang orang-orang munafik dalam firman-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ ١٣
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab, ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak tahu.” (al-Baqarah: 13)
Tokoh paham ini yang muncul di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Dzul Khuwaishirah. Dialah yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, wahai Muhammad, dan berbuat adillah (dalam hal pembagian).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1219, 1581, dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)
Orang ini tahu akan keharusan berbuat adil tapi ia tidak tahu cara adil menurut syariat. Ia menyangkal cara pembagian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuk orang-orang yang beliau maksudkan agar lunak hati mereka—dengan pandangan akalnya, ia menganggap bahwa pembagian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak adil walaupun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaginya dengan petunjuk dari Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Yang di langit telah memercayakan aku, sedangkan kalian tidak percaya kepadaku?” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)
Sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada orang yang mewarisi pemikiran itu bahkan dikembangkan menjadi lebih sistematis. Mereka tulis dalam karya-karya mereka lalu dijadikan sebagai rujukan dalam banyak permasalahan. Jadilah akal sebagai hakim dalam berbagai masalah. Apa yang diputuskan akal, itulah yang benar. Apa yang ditolaknya, itu tentu salah. Salah satu “ahli waris” dari paham ini adalah kelompok Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia dengan semata akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (meninggal tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil, “Yang pertama adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk… karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal….” (Fadhlul I’tizal hlm. 139, dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-’Aqliyyah min as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1/97)
Perkataan orang-orang Mu’tazilah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits yang telah disebut di muka. Karena itu, alasan seperti ini tidak bisa diterima (karena salah), apa pun alasannya. Lebih-lebih karena dalilnya juga cuma dari akal, di mana akal ini satu sama lain bisa berbeda pandangan (dalam memahami sesuatu). Lantas pandangan siapa yang mau dijadikan standar?
Bahkan apa yang dia katakan itu “…karena dengannya bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk….” Adalah pernyataan yang salah menurut dalil naqli dan akal yang sehat. Tidak secara mutlak demikian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ ٧
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (adh-Dhuha: 7)
وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحٗا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورٗا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٥٢
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebelum diberi wahyu tidak mengetahui perincian syariat, tidak tahu mana yang baik dan yang buruk secara detail apalagi selain beliau.
Bagi yang berakal sehat, dia akan tahu, misalnya, bahwa shalat adalah sesuatu yang baik setelah diberi tahu syariat. Tahu bahwa mencium Hajar Aswad itu baik, tahu melempar jumrah itu baik, tahu jeleknya daging babi sebelum ditemukan adanya cacing pita di dalamnya, dan banyak pengetahuan lainnya semua adalah dari syariat. Dengan demikian syariatlah yang menerangkan baik atau jeleknya sesuatu. Memang terkadang akal dapat menilai baik buruknya sesuatu namun hanya pada perkara yang sangat terbatas, seperti baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan. Dalam permasalahan lain, terutama dalam perkara akidah dan ibadah, akal banyak tidak tahu bahkan butuh bimbingan wahyu untuk mengetahuinya.
Perkataan al-Qadhi Abdul Jabbar berikutnya, “Karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal,” kalimat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melandasi pendapatnya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berbicara dengan orang yang berakal bukan untuk membolehkan akal mendahului wahyu. Namun agar mereka memahami ayat Allah subhanahu wa ta’ala, tunduk kepadanya dan tidak menentangnya. Ini hanya satu contoh ucapan tokoh Mu’tazilah. Masih banyak ucapan sejenis yang menyelisihi nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kita langsung melompat pada zaman akhir-akhir ini di mana muncul pula para pemikir semacam Muhammad Abduh. Orang ini berkata, “Telah sepakat pemeluk agama Islam—kecuali sedikit yang tidak terpandang—bahwa jika bertentangan antara akal dan dalil naqli maka yang diambil adalah apa yang ditunjukkan oleh akal.” (al-Islam wan Nasraniyyah hlm. 59 dinukil dari al-‘Aqlaniyyun hlm. 61—62)
Ia kesankan pendapatnya adalah pendapat jumhur (mayoritas) umat, sedangkan pendapat lain (yang justru mencocoki kebenaran) merupakan pendapat minoritas yang tidak perlu ditoleh. Yang benar adalah sebaliknya. Justru pendapat seluruh Ahlus Sunnah dari dahulu sampai saat ini dan yang akan datang, bahwa akal itu harus mengikuti dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun mereka (orang-orang Mu’tazilah dan pengikutnya) adalah golongan minoritas yang tidak perlu dilihat orang dan pendapatnya.
Tokoh berikutnya adalah Muhammad al-Ghazali yang mengatakan, “Ketahuilah bahwa sesuatu yang telah dihukumi oleh akal sebagai sebuah kebatilan, maka mustahil untuk menjadi (bagian) agama. Agama yang haq adalah kemanusiaan yang benar dan kemanusiaan yang benar adalah akal yang tepat (sesuai) dengan hakikat, yang bercahaya dengan ilmu, yang merasa sempit dengan khurafat, dan yang lari dari khayalan….” (Majalah ad-Dauhah al-Qathariyyah edisi 101/Rajab1404 H dinukil dari al-‘Aqlaniyyun hlm. 64)
Akal siapa yang kau maksud, wahai Muhammad al-Ghazali? Pada kenyataannya yang kau maksudkan adalah akal-akal seperti yang kau miliki. Kamu jadikan akal itu sebagai alat untuk menghukumi benar tidaknya syariat. Sampai kau ingkari begitu banyak hadits sahih walaupun dalam Shahih al-Bukhari, lebih-lebih hadits lain seperti hadits tentang seorang muslim tidak boleh di-qishash bunuh dengan sebab membunuh orang kafir, hadits tentang Dajjal, hadits tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan banyak lagi yang lain. (Kasyfu Mauqifil Ghazali, hlm. 45—46)
Lain halnya dengan akal yang terbimbing dengan wahyu, mengambil ilmu dari wahyu tersebut dan berjalan dengan petunjuknya. Akal yang demikian tidak akan bertentangan dengan agama Allah subhanahu wa ta’ala. Meski demikian, bukan akal yang dijadikan hakim untuk menentukan kebenaran dan menempatkan wahyu di belakangnya.
Demikianlah paham ini senantiasa diwarisi dari generasi ke generasi walaupun terpaut waktu sekian lama. Warisan iblis ini sampai sekarang masih ada dan sungguh benar perkataan orang Arab, “Likulli qaumin warits” (setiap kelompok/sekte itu ada yang mewarisi) dan sejelek-jelek warisan adalah warisan iblis, sehingga muncul berbagai pertanyaan di benak ini, yang mengingatkan kita pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَتَوَاصَوۡاْ بِهِۦۚ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٞ طَاغُونَ ٥٣
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (adz-Dzariyat: 53)
‘Ala kulli hal (bagaimanapun), ini adalah upaya setan untuk menyelewengkan manusia dari agama Allah subhanahu wa ta’ala menuju kepada kehancuran yang nyata.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya membenturkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul segala kerusakan di alam semesta. Itu adalah lawan dari dakwah para rasul dari semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal dan musuh mereka justru sebaliknya. Para pengikut rasul mendahulukan wahyu daripada ide dan hasil olah pikir akal. Berbeda dengan para pengikut iblis atau salah satu wakilnya, mendahukukan akal dari pada wahyu.” (Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, 1/292, lihat pula I’lamul Muwaqqi’in, 1/68—69, Mauqif al-Madrasah, 1/86)
Lebih parah, metodologi ini menjadi ciri khas para ahli bid’ah dalam berdalil seperti yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syathibi rahimahullah ketika menerangkan cara berdalil ahli bid’ah. Beliau berkata, “Mereka menolak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan tujuan dan mazhab mereka dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan akal dan tidak sesuai dengan konsekuensi dalil.” (al-I’tisham, 1/294)
Beliau pun mengatakan, “Mayoritas ahli bid’ah berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruk (yakni tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan sandaran pertama dan kaidah mereka di mana mereka membangun syariat di atasnya sehingga itu lebih utama dalam ajarannya. Mereka tidak curiga pada akal tapi terkadang curiga pada dalil ketika terlihat tidak sesuai dengan mereka sehingga mereka menolak banyak dalil yang syar’i.” (Mukhtashar al-I’tisham, hlm. 46)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
===============================
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.