Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Wednesday, August 15, 2018

Etika Dalam Berdzikir - Bag.1

Etika Dalam Berdzikir
Alhamdulillah.

Wahai kaum Muslimin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kesalahan yang sering dilakukan oleh sejumlah kaum muslimin yang berdzikir secara berjamaah dan diiringi oleh suara keras. Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah kemungkaran dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.

Bid’ah pertama yang muncul dalam bab ibadah adalah bid’ah dzikir berjama’ah yang dilakukan oleh sekelompok manusia di Kûfah pada masa Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, sedang Abdullah bin Mas’ûd telah mengingkari hal tersebut dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam agama yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi dan para shahabatnya.

Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir 

Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ. 

Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]

Dalam ayat yang mulia ini, terdapat SEMBILAN adab dan etika berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ.

Berikut uraiannya. 

Pertama: dalam ayat di atas, termaktub perintah untuk berdzikir kepada Allah. Telah berlalu, pada tulisan sebelumnya, berbagai perintah untuk berdzikir beserta keutamaan berdzikir kepada Allah dan besarnya anjuran dalam syariat untuk hal tersebut. Seluruh hal tersebut memberikan pengertian akan pentingnya arti berdzikir dalam kehidupan seorang hamba.

Kedua: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu,” mengukir sebuah etika yang patut dipelihara dalam berdzikir kepada llahi, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  • Bermakna dalam hatimu.-
  • Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.
Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara,” sebagaimana yang akan diterangkan.

Ketiga: firman-Nya, “dengan merendahkan diri,” mengandung etika indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Jallat ‘Azhamatuhu. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.

Keempat:;firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa takut,” maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Etika ini adalah ketentuan tetap yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap ibadah.

Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ. 

Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]

Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ 

Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.”[1]

Semoga Allah Ta’âlâ memberi hidayah kepada kita semua menuju jalan yang lurus serta menjaga kita dari fitnah dunia dan kesesatan. Wallâhu A’lam.


Bersambung ke Bagian-2...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive