Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Friday, October 19, 2018

Bolehkah Anak Kecil jadi Imam Shalat Jamaah

Bolehkah Anak Kecil jadi Imam Shalat Jamaah
Bolehkah anak kecil menjadi imam shalat? Ada dua pendapat ulama dalam hal ini. Mayoritas ulama tidak membolehkan, sementara Imam As-Syafii membolehkan. Inilah pendapat yang kuat.

Pertanyaan:

Afwan ustadz, bolehkah anak kecil menjadi Imam ketika sholat jamaah, dimana makmumnya orang yang sudah dewasa?

Anak kecil tersebut mempunyai bacaan dan halafan Alquran bagus dibanding jamaah lainnya.

Sukron

Dari: Bang Joe

Jawaban:

🔰 Pertama, batas jenjang usia anak dalam islam ada dua:

1. Batas tamyiz

Anak yang telah mencapai usia tamyiz disebut mumayiz. Diantara ciri anak yang mumayyiz : dia bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat, dia mengerti shalat harus serius, dst. yang menunjukkan fungsi akalnya normal.

Umumnya, seorang anak menjadi mumayiz ketika berusia 7 tahun.

2. Batas baligh

Batas dimana seorang anak telah dianggap dewasa oleh syariat, dan berkewajiban untuk melaksanakan beban syariat. Tidak ada batas usia baku untuk baligh, karena batas baligh kembali pada ciri fisik. Untuk laki-laki: telah mimpi basah, dan untuk wanita: telah mengalami haid. Untuk laki-laki, umumnya di usia 15 tahun.

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 7/157 – 160)

🔰 Kedua, fokus pembahasan kita adalah hukum anak mumayiz menjadi imam shalat jamaah, sementara makmumnya orang yang sudah baligh.

Para ulama membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah. Berikut rincian yang disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,

⚜ Mayoritas ulama (hanafiyah, malikiyah, dan hambali) berpendapat bahwa diantara syarat sah menjadi imam untuk shalat wajib, imam harus sudah baligh. Karena itu, anak mumayiz tidak bisa menjadi imam bagi makmum yang sudah baligh.

⚜ Untuk shalat sunah, seperti shalat tarawih, atau shalat gerhana, mayoritas ulama (Malikiyah, Syafiiyah, hambali, dan sebagian hanafiyah) membolehkan seorang anak mumayiz untuk menjadi imam bagi orang yang sudah baligh.

⚜ Pendapat yang kuat dalam madzhab hanafiyah, anak mumayiz tidak boleh jadi imam bagi orang baligh secara mutlak, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah.

⚜ Sementara Syafiiyah berpendapat, anak mumayiz boleh menjadi imam bagi orang baligh, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah. Terutama ketika anak mumayiz ini lebih banyak hafalan Al-Qurannya, dan lebih bagus gerakan shalatnya dibandingkan jamaahnya yang sudah baligh.

Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,

‎إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ الْفَرَائِض

Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz) yang menjadi imam merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan Ishaq bin Rahuyah. Sementara Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad), anak kecil sah jadi imam untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib. (Fathul Bari, 2/186)

Pendapat Terpilih

Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam As-Syafii, bahwa tidak dipersyaratkan imam shalat harus sudah baligh. Anak kecil yang sudah tamyiz, memahami cara shalat yang benar, bisa jadi imam bagi makmum yang sudah baligh.

Dalil mengenai hal ini adalah hadis dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

‎كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا، فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلَامًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ الصَّلَاةَ، فَقَالَ: «يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ» وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ…، فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ

Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda, “Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan qurannya.”  Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika aku berusia 7 tahun atau 8 tahun. (HR. Bukhari 4302 dan Abu Daud 585)

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive