Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Thursday, January 25, 2024

Darurat Membolehkan Sesuatu Yang Dilarang

Hukum Islam : Darurat Membolehkan Sesuatu Yang Dilarang
Bismillah...

Kaidah fiqih ini sudah masyhur dikalangan para ulama. Bahwa keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.

Para ulama mengatakan :

الضرورات تبيح المحظورات ( الأشباه للسيوطي: 83).

"Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.” (Al Asybahu Lis Suyuthii 83).

Kaidah ini berdasarkan dalil berikut ini :

Allah Ta'ala berfirman :

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْإِلَيْهِ. [الأنعام: 119].

Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya. QS. Al An'am 119).

Dan Allah Ta'ala berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ [البقرة: 173].

Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al Baqarah : 173).

Dan Allah Ta'ala berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. [المائدة: 3].

Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah : 3).

Dan Allah Ta'ala berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. [الأنعام: 145].

Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak dalam keadaan memberontak dan tidak(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al An'am : 145).

Dan Allah Ta'ala berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. [النحل: 115].

Maka barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nahl : 115).

Kalau kita buka tafsir Ibnu Katsir tentang ayat-ayat di atas, ini berkenaan dengan orang yang kelaparan yang bisa mengancam dan membahayakan dirinya bahkan bisa menyebabkan kematian, sedangkan makanan yang halal tidak ada, maka boleh memakan makanan yang haram.

Namun dalam menerapkan kaidah ini, sudahkah orang yang kelaparan itu maksimal mencari yang halal terlebih dahulu. 

Misalkan ada seseorang yang beberapa hari tersesat dihutan, perbekalan sudah habis, perut sudah keroncongan, beberapa hari tidak makan, binatang hutan yang halal tidak ditemukan, buah-buahan tidak ada, lantas jangan langsung memakan bangkai atau memburu tikus atau babi, tetapi masih adakah sayur-sayuran atau daun-daunan yang bisa dimakan. Kalau masih ada, makan dulu sayur-sayuran atau dedauan. 

Berkata Abu Waqid Al-Laisi rahimahullah, para sahabat pernah bertanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا بِهَا الْمَخْمَصَةُ، فَمَتَى تَحِلُّ لَنَا بِهَا الْمَيْتَةُ؟ فَقَالَ: "إِذَا لَمْ تَصْطَبِحوا، وَلَمْ تَغْتَبِقُوا، وَلَمْ تَجتفئوا بقْلا فَشَأْنُكُمْ بِهَا ".

"Wahai Rasulullah, sesungguh­nya kami berada di suatu tempat dan kami mengalami kelaparan di tempat itu. Bilakah diperbolehkan bagi kami memakan bangkai di tempat itu?" Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bilamana kalian tidak mendapatkan untuk makan pagi dan tidak pula untuk makan sore hari serta tidak dapat memperoleh sayur-sayuran padanya, maka bangkai itu terserah kamu”. (Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad, sanadnya sahih dengan syarat Syaikhain).

Kalau memang tidak ada lagi makanan yang halal, ya boleh seseorang memakan makanan yang haram. Itupun harus mencari yang haramnya agak ringan. Makan ular atau tikus, itu lebih baik daripada makan babi. Bangkai binatang halal, lebih baik daripada bangkai binatang yang haram.

Kaidah diatas bisa diterapkan dalam hal lain. 

Misalkan ada seorang wanita yang sakit parah, mau berobat atau periksa penyakitnya ke dokter yang diharuskan membuka auratnya. Maka harus maksimal mencari dokter wanita. 

Begitu pula sebaliknya seorang laki-laki yang sakit, harus mencari dokter laki-laki. Kalau tidak ada sama sekali dan penyakitnya membahayakan nyawanya, maka boleh ditangani oleh yang lawan jenis, itupun harus ditemani mahramnya. Bisa mahram si pasen atau mahram si dokter. 

Dengan menerapkan kaidah :

ترجيح مصلحة حفظ النفس على مصلحة ستر العورة عند التعارض .

Mendahulukan maslahat menyelamatkan jiwa daripada maslahat menjaga aurat jika kedua maslahat itu bertabrakan.

Berkata Syekh Muhammad Shaleh Al Munajed hafidzahullah :

الضرورات تبيح المحظورات ، ولا خلاف بين العلماء في جواز نظر الطبيب إلى موضع المرض من المرأة عند الحاجة ضمن الضوابط الشرعية ، وكذلك القول في نظر الطبيب إلى عورة الرجل المريض ، فيباح له النظر إلى موضع العلّة بقدر الحاجة ، والمرأة الطبيبة في الحكم كالطبيب الرجل . وهذا الحكم مبني على ترجيح مصلحة حفظ النفس على مصلحة ستر العورة عند التعارض .

Keadaan darurat membolehkan perkara yang terlarang. Para ulama sepakat bahwa seorang dokter boleh melihat bagian tubuh wanita yang sakit untuk kebutuhan pemeriksaan dan pengobatan dengan memperhatikan batasan-batasan syar'inya. Demikian pula para ulama membolehkan para dokter melihat bagian tubuh lelaki yang sakit. Ia boleh melihat bagian tubuh yang sakit sebatas kebutuhan. Dalam hal ini dokter wanita sama halnya dengan dokter pria. Hukum ini di dasarkan atas kaidah mendahulukan maslahat menyelamatkan jiwa daripada maslahat menjaga aurat jika kedua maslahat itu bertabrakan. (Al Islam Sual Wa Jawab No 5693).

Bahkan jangankan melihat, seorang dokter yang lain jenis diperbolehkan memegang dan meraba dalam keadaan darurat dengan batas-batas yang diperbolehkan dan tidak melampaui batas.

Berkata Syekh Muhammad Shaleh Al Munajed hafidzahullah :

الضرورة تُقدَّر بقدرها " : فإذا جاز النظر والكشف واللمس وغيرها من دواعي العلاج لدفع الضرورة والحاجة القويّة فإنه لا يجوز بحال من الأحوال التعدّي وترك مراعاة الضوابط الشرعية.

Darurat harus diukur sesuai batasnya." Meskipun melihat, menyingkap, menyentuh dan sebagainya dibolehkan karena darurat dan kebutuhan yang sangat mendesak, tetapi tidak dibolehkan melampaui dan melanggar batas-batas syariat. (Al Islam Sual Wa Jawab No 5693).

Intinya, menerapkan kaidah di atas harus maksimal terlebih dulu berusaha untuk mencari yang halal dan yang boleh sebelum mengambil yang haram dan terlarang.

Perhatikan nasehat ulama, masih tentang orang berobat, supaya tidak begitu mudah menerapkan kaidah 

الضرورات تبيح المحظورات 

"Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.” 

Berkata Syekh Muhammad Shaleh Al Munajed hafidzahullah :

يقدّم في علاج الرجال الرجال وفي علاج النساء النساء وعند الكشف على المريضة تُقدّم الطبيبة المسلمة صاحبة الكفاية ثمّ الطبيبة الكافرة ثمّ الطبيب المسلم ثمّ الطبيب الكافر ، وكذلك إذا كانت تكفي الطبيبة العامة فلا يكشف الطبيب ولو كان مختصا ، وإذا احتيج إلى مختصة من النساء فلم توجد جاز الكشف عند الطبيب المختص ، وإذا كانت المختصة لا تكفي للعلاج وكانت الحالة تستدعي تدخّل الطبيب الحاذق الماهر الخبير جاز ذلك ، وعند وجود طبيب مختص يتفوّق على الطبيبة في المهارة والخبرة فلا يُلجأ إليه إلا إذا كانت الحالة تستلزم هذا القدر الزائد من الخبرة والمهارة . وكذلك يُشترط في معالجة المرأة للرجل أن لايكون هناك رجل يستطيع أن يقوم بالمعالجة 

Pengobatan kaum lelaki hendaklah ditangani oleh dokter pria, dan pengobatan kaum wanita hendaklah ditangani dokter wanita. Jika seorang wanita terpaksa menyingkap auratnya untuk keperluan pengobatan, maka dianjurkan agar ditangani oleh dokter wanita muslimah. Jika tidak ada maka ditangani oleh dokter non muslimah, jika tidak ada maka ditangani oleh dokter pria muslim, jika tidak ada maka ditangani oleh dokter pria non muslim. 

Demikian pula jika bisa ditangani oleh dokter umum wanita muslimah maka tidak perlu ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika diperlukan dokter spesialis wanita dan ternyata tidak ada, maka boleh ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika dokter spesialis wanita tidak mencukupi dan sangat perlu ditangani oleh dokter spesialis pria yang mahir maka boleh ditangani oleh dokter pria tersebut.

Jika terdapat dokter spesialis pria yang lebih mahir daripada dokter spesialis wanita, maka tetap tidak boleh ditangani oleh dokter pria kecuali jika spesialisasi dokter pria itu sangat dibutuhkan. Demikian pula halnya dalam proses pengobatan pria, yaitu tidak boleh ditangani oleh dokter wanita jika masih ada dokter pria yang mampu menanganinya. (Al Islam Sual Wa Jawab No 5693).


https://www.facebook.com/100063495759389/posts/pfbid032PtZuzez9T9o3VALRZZpU2idBAyCkxgFxXeZZ4e8QzLGt8yTkG1kHRjvJiNQTRs7l/


AFM

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive