Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Saturday, September 29, 2018

Hukum Shalat Jama'ah Kedua - Bag.1

Hukum Shalat Jama'ah Kedua
Oleh Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana mendirikan shalat jama’ah kedua setelah dilakukan jama’ah di dalam satu masjid.

Jawaban.

Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama’ah kedua. Sebelum aku menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jama’ah (kedua) yang diperselisihkan itu.

Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama’ah yang didirikan disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap (masjid tersebut).

Adapun jama’ah-jama’ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan.

Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama’ah untuk kedua kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu’adzdzin rawatibnya hukumnya makruh, berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.

[1]. Dalil naqli (dari syara’)
[2]. Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah disyari’atkannya shalat berjama’ah.

✅ Adapun Berdasar Dalil Naqli

Setelah para ulama ahli hadits meneliti kehidupan Rasulullah, mereka menemukan bahwa Rasulullah sepanjang hidupnya senantiasa shalat berjama’ah bersama para sahabatnya di masjid beliau. Bila di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa shalat berjama’ah bersama Rasulullah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan orang sekarang, meminta satu atau banyak orang untuk bersama shalat jama’ah dan salah seorang dari mereka dijadikan imam.

Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf (terdahulu). Bila mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat jama’ah, mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm. Ungkapan Imam Syafi’i berkaitan dengan masalah ini lebih banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.

Imam Syafi’i berkata : “Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam telah selesai shalat (jama’ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan shalat berjama’ah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi, aku tidak menyukai semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf

Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan : “Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan untuk para musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan (shalat) jama’ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa”.

Imam Syafi’i berkata pula : "Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan shalat berjama’ah. Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan shalat jama’ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena mereka tidak suka di satu masjid diadakan (shalat) jama’ah dua kali."

Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi’i. Beliau menyebutkan, bahwa para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah (bersama Rasulullah) mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi’i dengan riwayat muallaq (artinya Imam Syafi’i tidak langsung mendapatkan riwayat itu dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya). Al-Hafidzh Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur Al-Mushannaf. Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri, bahwa sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah mereka shalat sendiri-sendiri.

Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bagus dari shahabat Ibnu Mas’ud. Yaitu suatu saat Ibnu Mas’ud bersama dua temannya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti shalat jama’ah. Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah selesai melakukan shalat jama’ah. Maka Ibnu Mas’ud pun kembali ke rumah bersama dua temannya. Ia shalat berjama’ah bersama mereka di rumah sekaligus sebagai imam.

Ibnu Mas’ud kembali (ke rumah). Padahal kesahabatannya dengan Rasulullah cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata beliau tahu mendirikan jama’ah berulang-ulang kali di masjid itu disyari’atkan, pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat berjama’ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasulullah pernah bersabda.

Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya kecuali shalat fardhu”.

Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas’ud melaksanakan shalat fardhu itu di masjid ?

Jawabnya.
Karena Ibnu Mas’ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan shalat di masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas’ud berpendapat, bahwa shalat berjama’ah di rumah bersama dengan dua temannya akan lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di masjid.

Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang menguatkan pendapat jumhur (ulama) bahwa mengadakan jama’ah untuk kedua kalinya di satu masjid itu makruh hukumnya.

Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstinbath dan melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.

Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang menjadi imam shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk mengambil (mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya. Demi Zat yang jiwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan ditemukan dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan menyaksikannya pula” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Hadits ini merupakan ancaman dari Rasulullah atas orang-orang yang suka menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits ini telah memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu (yaitu bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada imam dan mu’adzdzin tetapnya dihukumi makruh (dibenci)). Hadits ini bisa pula memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan lmam Syafi’i yang diwashalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa sesungguhnya para shahabat tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu masjid. Hal demikian itu disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa shalat jamaah yang kedua atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh agama) di dalam satu masjid, kemudian pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras dari Rasulullah bagi orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat jamaah yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman yang sangat berat sekali?

Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, “Shalat jamaah (yang apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah shalat jamaah yang pertama”.

Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan: “Kalau begitu, jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?” Kalau dijawab “Ancaman ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah, keberapa saja” maka jawaban itu bisa ditimpali: “Kalau begitu ancaman Rasulullah tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut jamaah yang keberapa pun, karena andai kata orang-orang yang tidak mengikuti jamaah itu didatangi secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke masjid, ed) dan kita menemukan mereka sedang santai-santai saja dengan anak dan isteri dan apabila ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah? Maka, mereka akan menjawab: “Kami akan mengikuti jamaah yang kedua saja, atau yang ketiga saja.” Bila begitu, apakah ancaman Rasulullah itu dibuat hujjah atas mereka? Oleh karena itu bila Rasulullah berkehendak mencari ganti seseorang yang menduduki kedudukan beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas beliau mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk membakarnya merupakan dalil yang sangat besar sekali untuk mengatakan bahwa shalat jamaah kedua, ketiga kali di satu masjid adalah tidak ada sama sekali.

Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang telah menjadi pedoman para ulama.


Bersambung ke Bagian-2...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive