Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Saturday, September 29, 2018

Hukum Shalat Jama'ah Kedua - Bag.2

Hukum Shalat Jama'ah Kedua
Oleh Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Lanjutan dari Bagian-1...

✅ Adapun Berkaitan Dengan Dalil Nazhari

Bisa dijelaskan sebagai berikut:

Keberadaan fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah telah banyak dihadirkan melalui hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu diantaranya:

Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian, keutamaannya dua puluh lima (dalam satu riwayat dua puluh tujuh) derajat”.

Inilah keutamaan shalat berjamaah

Sebuah hadits lagi.

Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang berjamaah) dengan seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi Allah daripada shalatnya (seseorang yang) sendirian. Dan shalatnya seorang laki-laki (yang berjamaah) bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi di sisi Allah daripada shalat berjamaah dengan satu orang laki-laki

Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah semakin banyak pula pahala yang diterima.

Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna kalimat dalam riwayat di atas, ed), kemudian kita melihat akibat dari penetapan kebolehan mengulangi kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya imam dan mu’adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk sekali bila diukur dengan hukum Islam (yang telah kita paparkan sebelumnya), yaitu shalat jamaah hanya satu kali. Karena berpendapat, bahwa shalat jamaah itu boleh didirikan berulang-ulang di dalam satu masjid yang ada imam dan muadzdzin ratib (tetap) nya bisa mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat jamaah yang pertama. Hal ini tentu bertentangan dengan ajakan yang bisa kita petik dari hadits:

Shalat seorang laki-laki dengan laki-laki lain itu lebih bersih dari shalat seorang laki-laki yang sendirian saja

Karena hadits ini memotivasi agar jamaah bisa banyak pesertanya, begitu pula, pendapat yang membenarkan bolehnya mengulang (menyelenggarakan kembali) shalat jamaah di satu masjid, niscaya akan menciptakan kondisi peserta jamaah itu kecil, dan jelas sekali akan memecah belah persatuan kaum muslimin.

Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih, bahwa penyebutan harus mengingat hadits Ibnu Mas’ud (dalam shahih Muslim) semisal dengan hadits Abu Hurairah:

Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid… dan seterusnya

Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan orang-orang yang menyelisihi shalat Jum’at. Kita mengetahui bahwa lbnu Mas’ud melepaskan kata ancaman (mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap orang yang meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum’at atau jamaah lainnya. Kita pun mengetahui bahwa sesungguhnya shalat jamaah Jum’at dan shalat jamaah lainnya sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada ancamannya. Hal itu menunjukkan tidak ada jamaah untuk kedua kalinya bagi kedua shalat tersebut.

Untuk shalat Jum’at, sampai sekarang orang masih menjaga persatuannya. Tidak ada yang berpendapat bahwa Jum’at itu secara syariat bisa dilaksanakan dua atau tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari golongan (madzhab) manapun sepakat akan hal itu. Oleh karena itu, kita bisa melihat masjid-masjid itu penuh sesak dengan jamaah di hari Jum’at. Meskipun, kita juga tidak melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di antara sebab meluapnya masjid-masjid di saat jamaah Jum’at itu di antaranya karena yang hadir bukan hanya yang biasa melakukan jamaah di masjid itu. Namun, kita pun tidak ragu pula bahwa penuhnya masjid pada hari Jum’at itu karena orang Islam tidak membiasakan mendirikan shalat Jum’at lagi setelah shalat Jum’at pertama dilaksanakan. (alhamdulillah).

Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah selain Jum’at sama persis dengan mendirikan jamaah Jum’at seperti pada zaman Rasulullah, kita pasti bisa melihat bagaimana penuhnya masjid-masjid itu dengan jamaahnya. Oleh karena orang-orang yang rindu akan shalat berjamaah, di dalam hatinya tidak ingin ia ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bisa mendirikan jamaah baru. Kemudian semacam ini bisa mendorong mereka untuk betul-betul melaksanakan jamaah tepat waktu dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini) jiwa seorang muslim akan menganggap ringan bila ia ketinggalan jamaah, karena ia pun akan bisa menutup dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh misalnya. Cara pandang demikian itu akan melemahkan kehendak dan semangat diri untuk menghadiri jamaah.

Dan Pembahasan Berikutnya.

☑ Pertama.
Kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang berpendapat tidak disyariatkannya jamaah kedua, seperti yang telah diterangkan di awal artikel ini, dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah jumhur para imam salaf, termasuk di dalamnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lmam Syafi’i. Adapun lmam Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat lain yang dibawa oleh seorang muridnya yang bernama Abu Dawud As-Sijistani di dalam kitabnya Masa-il al-lmam Ahmad, Imam Ahmad berkata:

Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid al-Haramain (masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah) hukumnya sangat makruh (dibenci)

Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan Imam Ahmad di bahagian awal artikel ini memberikan gambaran kepada kita), bahwa kemakruhan jamaah ulang di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu bisa lebih berat apabila jamaah ulang itu dilakukan di masjid Makkah ataupun Madinah. Jadi riwayat dari lmam Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan pendapat para imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i.

☑ Kedua.
Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat ini masyhur di kalangan pengikutnya, pada intinya lmam Ahmad dan pengikut-pengikutnya daripada ahli tafsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi, lmam Ahmad sendiri dan lain-lainnya dari kalangan shahabat Abu Sa’id al-Khudri:

Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasulullah sudah selesai berjamaah shalat. Di sekitar Rasulullah waktu itu masih ada beberapa shahabat. Maka, Rasulullah melihat lelaki itu akan melakukan shalat sendiri. Kemudian Rasulullah bersabda, Adakah seseorang yang bisa bersedekah kepadanya? kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lantas shalat bersamanya. Maka (seseorang itupun) shalat bersamanya

Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra menjelaskan, bahwa laki-laki yang bersedekah dimaksud adalah shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif sanadnya. Adapun yang shahih adalah riwayat yang tidak menyebutkan nama laki-laki dimaksud.

Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa jamaah kedua (ketiga dan seterusnya) boleh dengan alasan: “Rasulullah telah setuju adanya jamaah kedua.

Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan hadits di atas adalah: ‘Kita harus memperhatikan bahwa jamaah yang diterangkan dalam hadits itu bukan jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang termuat di dalam hadits itu jamaahnya seorang yang masuk masjid setelah masjid itu selesai digunakan untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan melakukan shalat sendiri. Setelah Rasulullah melihat yang demikian itu, Rasulullah meminta para shahabat di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama beliau kiranya ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada yang bangkit menuruti perintah Rasululllah, dan dia melakukan shalat nafilah (sunnah).

Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri dari dua orang, satu imam dan satu makmum. Makmum melakukan shalat fardhu dan yang imam melakukan shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa hal ini jamaah? Seandainya tidak ada yang bershalat sunnah, tentu tak akan ada jamaah. Kalau begitu, jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu’ dan tanafful, bukan jamaah (shalat) fardhu. Padahal perselisihan pendapat tentang jamaah ini, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan jamaah, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan untuk kedua kalinya di satu masjid (yang ada imam ratibnya dan mu’adzdzin). Oleh karena itu, mengambil dalil dengan hadits Abi Sa’id dan ditempatkan dalam kerangka perselisihan tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi bila dikuatkan dengan kalimat hadits:

Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya? Maka, (seseorang itupun) shalat bersamanya”.

Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang bersedekah dan yang disedekahi. Seandainya kita tanyakan kepada orang yang sangat sedikit pemahaman dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang bersedekah dan yang disedekahi dalam peristiwa ini?

Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang yang melakukan shalat lagi, yang sebelumnya sudah shalat berjamaah dibelakang Rasulullah, dan orang yang disedekahi adalah orang yang datang belakangan sehabis jamaah Rasulullah.

Pertanyaan itu sendiri apabila kita lemparkan ke dalam masalah jamaah yang diperselisihkan kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh orang masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah selesai melakukan jamaah shalat. Kemudian salah satu dari mereka maju ke depan (untuk menjadi imam sedang lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi makmum), dan mereka mendirikan jamaah kedua.

Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan siapa pula yang disedekahi?

Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa pun, sebagaimana menjawab (contoh) pertanyaan pertama. Jamaah shalat yang ini dilakukan setelah imam dan makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah dan tidak ada pula yang disedekahi.

Bedanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang bersedekah adalah laki-laki yang (shalat) nafilah (sunnah) yang sudah shalat bersama Rasulullah yang tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak dua puluh tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang kaya. Karena kemampuannya pula dia bisa bersedekah kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam (melalui shalat sunnah dengan bermakmum di belakang orang yang shalat sendirian). Kalau tidak begitu, orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin, dan dia memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya. Sebab, dia tidak bisa mengupayakan orang yang bisa memberi sedekah.

Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah dan ada yang diberi sedekah. Adapun yang kita perselisihkan tidak demikian. Rombongan yang datang setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya fakir, semuanya ketinggalan jamaah pertama (bersama imam). Jadi kalau kita bersandar dengan:

Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka (seseorang itu pun) shalat bersamanya

Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah untuk dijadikan dalil bagi peristiwa kedua (yaitu, bagi serombongan orang melakukan shalat jamaah kedua).

Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan adalah sabda beliau:

Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri, keutamaannya dua puluh tujuh derajat

Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman bahwa "al" pada kalimat al-Jamaah adalah li as-syumul (bagi keseluruhan). Artinya, bahwa semua shalat jamaah (baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di dalam satu masjid memperoleh keutamaan bila dibandingkan shalat sendirian.

(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan berdasarkan dalil terdahulu: Sesungguhnya "al" di sini bukan untuk keseluruhan, akan tetapi al dimaksud adalah li al-‘ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya, menunjuk kepada shalat jamaah sebagaimana disyariatkan Rasulullah yang semua manusia dihasung kepadanya. (Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang meninggalkannya dengan ancaman akan membakar rumah-rumah mereka dan Rasulullah juga memberikan sifat kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan sebutan munafiqin. Adalah shalat jamaah yang memiliki keutamaan dibanding shalat sendiri, yaitu shalat jamaah yang pertama. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA’AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Dinukil dari Rubrik Masa’il… Wa Ajwibatuha Majalah Al-Ashalah Edisi 15 Rajab 1415H, Penerjemah Musta’in Masyhur, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

Sumber: https://almanhaj.or.id/161-hukum-shalat-jamaah-kedua.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive