Dari Seseorang
Jawaban:
Wa’alaikumus salam Warohmatuallahi wabarokatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
☑ Pertama, tidak semua orang bisa menerapkan hukuman had (potong tangan, cambuk, rajam, atau pancung). Pihak yang berhak menegakkan hukuman had adalah pemerintah. Rakyat sama sekali tidak memiliki wewenang untuk itu, apapun statusnya, bahkan sekalipun dia tokoh agama di masyarakat.
Dalam Mausu’ah al-Fiqh al-Islami dinyatakan,
يتولى إقامة الحد إمام المسلمين، أو من ينيبه، بحضرة طائفة من المؤمنين، فلا يجوز لفرد أن يتولى إقامة الحد بنفسه، إلا السيد فيجوز له أن يقيم حد الجلد على مملوكه
Yang berwenang menyelenggarakan penegakan hukuman had adalah pemimpin kaum muslimin atau orang yang mewakilinya, dengan disaksikan sekelompok kaum muslimin. Seseorang tidak boleh menerapkan hukuman had sendiri, kecuali seorang tuan, dia boleh menerapkan hukuman cambuk untuk budaknya. (Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, 5/108).
Syaikhul Islam menjelaskan kaidah penting tentang hukuman had,
Allah menjelaskan tentang hukuman had dan masalah hak dengan penjelasan umum. Seperti firman Allah,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah kedua tangannya..”
Atau firman Allah,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Pezina lelaki dan pezina perempuan cambuklah masing-masing 100 kali cambukan..”
Atau firman Allah
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
”Orang yang menuduh wanita baik-baik berzina dan dia tidak bisa mendatangkan 4 saksi, pukullah dia 80 kali…”
Dan kita tahu bahwa orang yang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan, dia orang yang mampu melakukan perbuatan itu, sementara orang yang tidak mampu, tidak wajib melakukannya… dan perintah semacam ini sifatnya fardu kifayah bagi yang mampu. Bentuk kemampuan itu adalah keterlibatan sultan (penguasa). Oleh karena itu, wajib menegakkan had bagi penguasa atau wakilnya. (Majmu’ Fatawa, 34/175).
☑ Kedua, di negara kita, pemerintah tidak menyelenggarakan hukuman had. Sementara rakyat tidak boleh proaktif dengan melaksanakan hukuman had sendiri. Sehingga mereka yang melakukan pelanggaran dengan ancaman hukuman had, tidak bisa ditegakkan hukuman had untuknya.
☑ Ketiga, bukan syarat diterimanya taubat zina, dia harus dihukum had, baik cambuk maupun rajam. Dan bagian paling penting bagi mereka yang melakukan maksiat semacam ini adalah bertaubat. Memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.
Jika seseorang serius bertaubat, dan Allah mengampuninya, statusnya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak memiliki itu dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, baihaqi dalam al-Kubro 20561 dan dihasankan al-Albani)
Dan ketika seseorang tidak lagi dianggap memiliki dosa, tidak ada hukuman baginya.
☑ Keempat, Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk orang yang ingin menikah dengan Anda. Bahkan termasuk kepada lelaki yang nantinya akan menjadi suami anda. Menceritakan hal ini kepada orang lain justru akan menimbulkan masalah baru. Simpan kejadian ini untuk diri Anda sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, no. 1508)
Bahkan jika ada seseorang yang berzina di negara yang menyelenggarakan hukuman had, namun dia rahasiakan dosanya, dan tidak melaporkannya ke hakim, maka tidak ada hukuman had baginya.
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merajam al-Aslami (seseorang dari bani Aslam), beliau bersabda,
اجْتَنِبُوا هَذِهِ الْقَاذُورَةَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ وَلْيُتُبْ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِلْنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Jauhilah perbuatan menjijikkan yang Allah larang ini. Siapa yang pernah melakukannya, hendaknya dia merahasiakannya dengan tabir yang Allah berikan kepadanya, dan bertaubat kepada Allah. Karena siapa yang kesalahannya dilaporkan kepada kami, maka kami akan tegakkan hukuman seperti dalam kitab Allah. (HR. Hakim 3/272, al-Baihaqi dalam as-Shughra 2719 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
Oleh karena itu, yang paling penting bagi orang yang pernah melakukan dosa zina, baik setelah menikah maupun sebelum menikah, bukan ditegakkannya hukuman had baginya. Namun yang paling penting adalah semangat dia untuk bertaubat. Bahkan dianjurkan baginya untuk merahasiakan dosa ini, sehingga hanya menjadi masalah antara dia dengan Allah.
Allahu a’lam.
👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
===============================
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.