Lanjutan dari Pesta Duka di Hari Asyura #1...
SESATNYA PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA
Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini keterangannya :
1️⃣ Ibnu Katsîr رحمه الله berkata,“Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain رضي الله عنهما. Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah ﷺ. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah..
Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari ‘Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan riya. Sesungguhnya ayah Husain (‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنهما) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain رضي الله عنهما (yang diperingati). ‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat Subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H..
Demikian juga ‘Utsmân رضي الله عنه beliau lebih mulia dari ‘Ali رضي الله عنه dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya..
Demikian pula halnya ‘Umar bin Khaththâb رضي الله عنه. Beliau lebih afdhal dari ‘Utsmân dan ‘Ali رضي الله عنهما. Terbunuh di mihrab saat shalat Subuh saat sedang membaca al-Qur’ân. Namun, tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka..
Dan demikian juga Abu Bakar ash-Shiddîq رضي الله عنه. Beliau lebih afdhal dari ‘Umar رضي الله عنه. Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai hari berkabung..
(Terakhir), Allah عز وجل telah memanggil Rasulullah ﷺ, penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain”.
[al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)]
2️⃣ Syaikh Fâdhil ar-Rûmi رحمه الله, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini, “Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali رضي الله عنهما yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi, mereka mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah عز وجل dan Rasul ﷺ saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka…"
[Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37]
Pada kesempatan lain beliau menyatakan, “Diantara bentuk bid’ah yang dilakukan sebagian manusia pada hari ‘Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu, mereka mencaci para Sahabat Rasululullah ﷺ yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi ﷺ, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah ﷺ serta kesepakatan kaum Muslimin..
Sesungguhnya, Husain رضي الله عنهما telah dimuliakan Allah عز وجل dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan رضي الله عنهما adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah عز وجل mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ’ (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn)".
[Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37]
Kalimat istirjâ’ merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa’id bin Jubair رضي الله عنه berkata,
لَمْ يُعطَ الْاسْتِرْجَاعُ لِأُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ إِلاَّّ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَوْ أعْطِيَ لِأَحَدٍ لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النبيّ أَلا تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ الْاستِرْجَاعِ: يَا أَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ
“Kalimat istirjâ’ tidak diberikan bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ). Jika seseorang diberi (sebelumnya) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya’qub عليه سلم. Tidakkah anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjâ’ 'aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf '."
[Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya 13/39]
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ telah menyampaikan kalimat istirjâ’. Beliau ﷺ bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn’, (dan berdo'a) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami”.
[HR. Muslim 2/632 no. 918]
3️⃣ Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi ﷺ pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai dengan memukul-mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin (para Sahabat Nabi رضي الله عنهم), serta membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam.
[Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37]
Rasulullah ﷺ telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah”.
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْرُ بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ : النَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat”.
Kemudian beliau ﷺ menambahkan,
“Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta”.
[HR. Muslim]
Abu Musa al-Asy ‘ari رضي الله عنه berkata,
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الْحَالِقَةِ , وَالصَّالِقَةِ , وَالشَّاقَّةِ
“Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah)”.
(HR. al-Bukhâri dan Muslim)
4️⃣ Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah ﷺ. Banyak sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutaman Sahabat. Dan sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para Sahabat. Secara khusus, Rasulullah ﷺ telah melarang dengan tegas umatnya mencela para Sahabat رضي الله عنهم,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segenggam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula separohnya”.
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Maka, berdasarkan hadits ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka..
Peristiwa terbunuhnya ‘Utsmân dan Husain رضي الله عنها menyebabkan terjadinya fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya, muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid’ah-bid’ah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini.
[Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37]
Imam al-Ghazâli رحمه الله dan ulama lainnya berkata, “Diharamkan para penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain رضي الله عنهما, juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena, hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para Sahabat رضي الله عنهم dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela diri dan agamanya”.
Ibnu Shalâh dan Imam Nawawi رحمه الله, “Para Sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah ﷺ, jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Al-Qurân dan Hadits telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka, terdapat pertimbang-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi telah berbuat kesalahan murni) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini"
[Lihat “Ash shawa’iq Al Muhriqoh” Al Haitamy: 2/640]
Imam asy-Syafi’i رحمه الله, “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari membicarakannya”.
Semoga Allah عز وجل melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebathilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 085290093792, 08122589079]
✒️Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra MA حغظه الله تعالى
🌐 https://almanhaj.or.id/2607-pesta-duka-di-hari-asyura.html
===============================
Wallahu a'lam bishawab.
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.