Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Saturday, October 1, 2022

Pembedaan Masalah Ushul Dengan Urusan Fiqih

Pembedaan Masalah Ushul Dengan Urusan Fiqih
Bismillah...

Konon: Pembedaan antara masalah ushul dengan urusan fiqih adalah metode Mu’tazilah...

Sebagian orang masih saja kokoh membedakan antara masalah ushul dengan masalah furu’, seakan pembedaan antara keduanya suatu hal yang disepakati dan tidak boleh ditentang.

Namun bila anda lebih lanjut bertanya kepada mereka, apa sih batasan masalah ushul dengan masalah furu’, Niscaya anda temukan bahwa jawabannya beraneka ragam, bahkan tanpa dasar dan dalil yang jelas.

Coba deh, sesekali anda tanya demikian, lalu simak jawabannya.?

Kalau sudah dapat jawabannya, coba bandingkan dengan pernyataan Imam Ibnu Taimiyyah berikut ini: 

ولم يفرِّق أحدٌ من السلف والأئمَّة بين أصولٍ وفروعٍ، بل جَعْلُ الدين قسمين: أصولًا وفروعًا لم يكن معروفًا في الصحابة والتابعين. ولم يقل أحدٌ من السلف والصحابة والتابعين: إنَّ المجتهد الذي استفرغ وُسْعَه في طلب الحقِّ يأثم، لا في الأصول ولا في الفروع. ولكنَّ هذا التفريق ظهر من جهة المعتزلة، وأدخله في أصول الفقه مَن نَقَلَ ذلك عنهم

"Tidak seorangpun dari ulama' terdahulu dan para imam yang memisahkan antara ushul (akidah) dari furu' (fiqih), bahkan membedakan urusan agama menjadi dua bagian: 

1. Ushul (aqidah)

2. Furu' (Fiqih) 

tidak pernah dikenal di kalangan para sahabat dan tabi'in.

Sebagaimana tidak pernah pula dinukilkan dari seorang ulama' terdahulu, terlebih para sahabat dan tabi'in, adanya anggapan bahwa seorang mujtahid yang telah mengerahkan segala daya dan upayanya untuk mengenali kebenaran dianggap tetap berdosa, baik dalam urusan ushul (aqidah) ataupun dalam urusan furu' (fiqih). 

Pembedaan antara keduanya semacam ini pertama kali dipopulerkan oleh orang orang Mu'tazilah, dan kemudian orang orang yang hobi menukil dari mereka memasukkannya dalam pembahasan ilmu ushul fiqih". (Majmu' Fatawa 13/125)

Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:

● Menolak semua sifat Allah.

● Dalam masalah takdir, Mu’tazilah adalah Qadariyyah yaitu menolak takdir.

● Punya pendapat yang hampir sama dengan Jahmiyyah yaitu meniadakah kalau Allah dapat dilihat pada hari kiamat, menyatakan Al-Qur’an itu makhluk (bukan kalamullah).

● Menganggap bahwa semua ilmu itu kembali pada akal untuk bisa menerimanya.

● Mirip dengan Khawarij yaitu menganggap pelaku dosa besar kekal dalam neraka, namun mereka tidak berani mencap kafir. Itulah mengapa Mu’tazilah disebut “bancinya Khawarij” (Mukhanits Al-Khawarij).

● Orang mukmin dianggap tidak masuk neraka, namun cuma mendatangi saja. Karena kalau masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali.

● Menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal (akan fana).

● Menyatakan Allah di mana-mana, di setiap tempat (Allah bi kulli makan).

● Mengingkari adanya siksa kubur. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 30-31)

Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:

● At-Tauhid (keesaan Allah)

● Al-‘Adlu (keadilan)

● Manzilah bayna manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan)

● Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman Allah)

Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar (amar makruf nahi munkar)

Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.

● Tauhid dimaksudkan untuk meniadakan sifat-sifat Allah.

● Al-‘Adlu dimaksudkan untuk mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah.

● Manzilah bayna Manzilatain maksudnya adalah bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua kedudukan, mereka tidak disebut mukmin, tidak pula disebut kafir.

● Al-Wa’du wa Al-Wa’id dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka.

● Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar dimaksudkan untuk menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 32-75)

Anda heran? 

Tenang sobat, ketahuilah bahwa kedua hal di atas; aqidah dan fiqih sejatinya saling bertautan dan tidak mungkin dipisahkan.

Ketika anda sholat lima waktu, namun anda tidak meyakini bahwa shalat yang anda tegakkan adalah satu kewajiban, maka apalah artinya sholat anda. 

Sebaliknya sekedar meyakini wajibnya sholat lima waktu namun tidak sholat, ya apalah gunanya.

Berzina itu haram, dan meyakini haramnya zina adalah satu kewajiban, apalah artinya anda tidak berzina bila anda meyakini bahwa zina itu halal. 

Makan pisang itu halal, namun betapa besar dosa anda bila meyakini bahwa makan pisang itu wajib, dan siapapun yang tidak makan pisang maka ia berdosa, tersesat dan bahkan kafir.

Sahabat Jabir, mengisahkan bahwa suatu hari seorang lelaki bernama An Nu'man bin Qauqal bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَةَ وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ ».

"Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila aku telah menunaikan shalat yang wajib, meninggalkan yang haram dengan meyakininya sebagai sesuatu yang haram, melakukan yang halal dengan meyakininya sebagai sesuatu yang halal, apakah aku akan masuk surga?

Beliau menjawab: "Ya"". (HR Muslim)

Bahkan apalah artinya anda beribadah kepada Allah, bila ternyata anda merasa bahwa anda juga meyakini bahwa dengan beribadah ini anda sedang meniti tangga untuk bisa menyatu dengan tuhan, dan bahkan menjadi tuhan.

Atau minimal anda merasa sejatinya anda ada kelapangan untuk tidak beribadah kepada Allah Ta'ala.

Pendek kata, lalu bagaimana dong seharusnya sikap kita yang benar? 

Ya, aqidah itu menyatu dengan setiap ajaran syari’at Islam, dan orang yang benar benar paham aqidah dan menjiwainya, maka ia akan mengajarkan aqidah bersama setiap ajaran syari'at Islam yang ia ajarkan atau dakwahkan.

Namun orang yang belum sepenuhnya menjiwai aqidah, maka ia masih sering terjerembab pada petak petak semu, kadang kala merasa jauh dari aqidah dan kadang kala merasa aqidah yang ia pelajari atau ajarkan tidak ada aplikasinya dalam amaliyah nyata aias kehidupan fiqih.

Yuk belajar aqidah dan mengamalkan aqidah dalam setiap sendi kehidupan kita. Wallahu Ta'ala a'alam bisshawab.


https://www.facebook.com/100044302190144/posts/pfbid0EcHWaa2QftLyd5kF1DbDxDbHMoQqXJY8EWopGGUfYJAtLprzEUyRedFsXhjyKEinl/

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive