Ada orang yang semangat bersedekah dengan tujuan agar mendapat ganti nominal berlipat-lipat ganda dari sedekahnya.
Ada orang yang sering berangkat haji dan umroh dengan tujuan cuma sekedar ingin jalan-jalan, di sana berdo'a ingin sukses, ingin kaya, ingin terpilih menjadi pejabat.
Ada orang yang belajar di perguruan tinggi dengan tujuan agar kedudukannya dihormati, mendapat pekerjaan berkelas dan mendapat kemudahan harta.
Ada orang yang semangat shalat Dhuha dengan tujuan agar rezekinya lancar, usahanya maju dan dagangannya laris.
Ada orang yang rajin puasa dengan tujuan agar masuk CPNS bisa lolos, hajatnya segera terkabul, badannya menjadi langsing, sembuh dari penyakit.
Ada orang yang semangat membaca sholawat hingga 1000x dengan tujuan agar rumah, mobil, motor dan barang-barang yang diimpikan bisa terwujud.
Ada orang yang semangat sholat tahajjud dengan tujuan agar pangkat, jabatan, karier dan usahanya segera sukses.
Maka berhati-hatilah dengan niat ibadahmu, jangan sampai kita banyak melakukan amal shalih dan semangat beribadah namun dalam catatan amal kita di akhirat kosong, sebab apa yang kita kerjakan hanya mengharap kesuksesan untuk dunia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).
Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)” (Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau 15/264).
Inilah alasan kenapa Abdurahman bin Auf sering menangis ketika mendapatkan kenikmatan duniawi. Sahabat yang mulia ini khawatir bila kenikmatan di dunia saat ini merupakan nikmat akhirat yang disegerakan. Hingga kelak di akhirat tak didapatkan lagi nikmat-nikmat itu..
Karena itu luruskan lagi niat-niat kita dalam ibadah.
Jangan sampai ibadah yang kita kerjakan hanya karena mengharapkan balasan dunia.
Niatkanlah Sedekah, Haji, Menuntut ilmu, Sholat dhuha, Puasa, Sholat tahajjud, Membaca sholawat semua karena Allah Ta'ala dan semoga mendapat balasan pahala terbaik di akhirat kelak.
Adapun kesuksesan dunia dan kenikmatan dunia, biarlah menjadi bonus, dan bukan tujuan utama dari ibadah kita.
Sehingga dengan demikian kita akan beruntung di dunia dan di akhirat. Bukan sekedar beruntung di dunia namun rugi di akhirat.
Semoga Allah Ta'ala memberikan Taufiq dan Hidayah kepada kita sehingga mampu meluruskan niat dalam setiap ibadah kita. Aamiin.
✍ Habibie Quotes,
Jazakumullahu khoiron.
══════ ❁✿❁ ══════
📜◎❅ *CHANNEL TASHFIYYAH OFFICIAL* ❅◎📜
💠️ Facebook : fb.me/TashfiyyahOfficial
🔄 YouTube : https://www.youtube.com/channel/UCB9ABjFRN3ID-5h3TSKyRBQ
🌐 Telegram : https://t.me/TashfiyyahOfficial
📷 Instagram : https://instagram.com/tashfiyyah_official?igshid=109phssndnz3b
🗂 Group Facebook : https://www.facebook.com/groups/1087352888095183/
📱 WhatSapp : https://wa.me/6282220000672 (Admin)
===============================
Wallahu a'lam bishawab.
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.