Disebutkan dalam sebuah riwayat,
الدين هو العقل من لا دين له لا عقل له
"Agama ini hakikatnya akal, siapa yang tidak punya agama maka dia tidak punya akal."
Al-Imam An-Nasa'i berkata, "Riwayat ini batil munkar."
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "Hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan akal semuanya palsu."
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, "Hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan akal seluruhnya dusta."
Begitupula pengingkaran para ulama yang lain sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir dalam "Silsilah Adh-Dha'ifah" hadits pertama.
Namun sebagian orang yang katanya banyak baca dan banyak paham nyatanya menjadikan hadits palsu tersebut sebagai landasan menafsirkan ayat dengan akal-akalan dan menyeru madzhab abal-abal. Akibatnya ia berakidah, beribadah, bermuamalah menyalahi petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Islam memang agama yang sangat menjunjung tinggi akal dan mendorong manusia untuk berpikir dengan akal yang sehat sesuai metodologi syariat akan tanda-tanda kebesaran-Nya. Akan tetapi tidak berarti menjadikan akal segala-galanya bekerja di luar bidang garapannya.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan).
Kata Ash Shon’ani rahimahullah, “Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.” Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. (Subulus Salam, 1: 239)
Baca juga
- https://rumaysho.com/3633-agama-bukan-dengan-logika.html
- https://rumaysho.com/776-mendudukkan-akal-pada-tempatnya.html
- https://rumaysho.com/778-ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari.html
- https://khotbahjumat.com/3108-kedudukan-akal-dalam-islam.html
Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir) yaitu orang yang selalu mengingat Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)
Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.
وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan siang. Tidakkah kalian menalarnya?!” (QS. Al-Mukminun: 80).
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian memikirkannya?!” (QS. Al-An’am: 50).
انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ
“Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka memahaminya!” (QS. Al-An’am: 65).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Tidakkah mereka merenungi Alquran?! Sekiranya ia bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82).
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾ فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
“Tidakkah kalian memperhatikan pada onta, bagaimana ia diciptakan? Dan pada langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan pada gunung-gunung, bagaimana itu ditegakkan? Dan pada bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud)
----------------------------------
AKAL YANG ERROR
Ahlul hawa senantiasa mendahulukan hawa nafsu dan akalnya dari pada dalil. Kalau dalil itu sesuai dengan akal dan hawa nafsunya, mereka terima dan kalau tidak sesuai, dia tolak.
Mereka berdalih dengan sebuah hadits yang populer dikalangan mereka, yang mana para ulama mengatakan haditsnya mungkar lagi batil.
- (الدين هو العقل، ومن لا دين له لا عقل له)
“Agama itu adalah akal, siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya.”. (HR. An Nasai. Berkata Abi Malik Basyir bin Ghalib. dan berkata Syekh Al Albani : Hadits Batil Munkar).
Sumber : www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=143706
Hadits yang lain yang masyhur, yang mereka gunakan untuk dalih pembenaran akalnya untuk dijadikan rujukan kebenaran adalah hadits tentang Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu. Padahal sebagian besar ulama melemahkan hadits ini. Dan sebagian kecil ulama seperti Imam Ibnu Qoyyim dan Imam Abdul Bar yang menshahihkan.
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda:
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ. أخرجه أحمد والدارمي وأبو داود والترمذي . وقد ضعفه جمع من أهل العلم ، ُ
"Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah." (HR. Ahmad, ad Darimi, Abu Daud dan Tirmidzi. Para ulama mendhaifkannya).
Sumber : www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=234141
Walaupun seandainya hadits ini shahih, betulkah mereka yang berani berijtihad dengan akalnya sudah mencari dalil dalam alquran dan hadits secara keseluruhan serta melihat amalan para sahabat radhiyallahu anhum?
Untuk itu, orang yang berijtihad bukan sembarang orang. Bukan orang yang tidak jelas keilmuannya dan tidak diakui ulama lain keilmuannya. Sahabat Muadz Bin Jabal radhiyallahu anhu pantas berijtihad, karena beliau seorang sahabat, hafal alquran dan hafal banyak hadits, serta faham akan makna dan penjelasan keduanya. Lantas bagaimana dengan kita?
Seorang sahabat, Ali Bin Abu Thalib radhiyallahu anhu mengatakan tentang agama dan akal.
Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
“Seandainya agama ini diukur dengan akal, niscaya bagian bawah khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya” [HR. Abu Daawud - Hadits Shahih].
Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan syariat. Hanya akal yang error yang bertentangan dengan dalil. Untuk itu dasar agama itu bukan akal dan perasaan. Tetapi mengikuti alquran dan as sunnah.
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah :
الدين ليس بالعقل ولا بالعاطفة، إنما بإتباع أحكام الله في كتابه ، وأحكام رسوله في سنته ، وفي حديثه ) …سلسلة الهدي والنور٥٣٠
"Agama bukan dengan akal dan bukan juga dengan perasaan, akan tetapi dengan mengikuti hukum-hukum Allah di dalam kitab-Nya, dan hukum-hukum rasul-Nya di dalam sunnahnya, dan di dalam haditsnya…" Silsilah Al-Huda wa An-Nur [530].
Seandainya akal itu sudah cukup untuk menentukan kebenaran, tentulah Allah Ta'ala TIDAK menurunkan kitabNya dan mengutus RasulNya. Akan tetapi Allah Ta'ala menurunkan kitabNya dan mengutus RasulNya.
Berkata Asy Syekh Muqbil bin Hadi Al Wad'ii rahimahullah:
لو كان العاقل كافيا ما ارسل الله رسلا وما انزل الله كتب
Seandainya akal itu sudah cukup, Allah tidak mengutus rasul-rasulnya dan tidak menurunkan kitab-kitab. (Ijabatus Sail 367-368)
Kalau hawa nafsu atau akal ini didahulukan daripada dalil, daripada syariat, maka inilah pangkal kerusakan, penyimpangan dan kesesatan.
Berkata al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah:
أصل كل فتنة إنما هو من تقديم الرأي على الشرع والهوى على العقل " . إغاثة اللهفان (2/165)
"Pangkal dari segala fitnah adalah mendahulukan ro'yu (pemikiran) daripada syariat, dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal." [Ighatsatul Lahafan (2/165)].
Berkata Al 'Allaamah Asy syaatibiy rahimahullah:
قال الشاطبي رحمه الله : العقل إذا لم يكن متبعا للشرع، لم يبق له إلا الهوى والشهوة،وأنت تعلم ما في اتباع الهوى وأنه ضلال مبين. الإعتصام ٦٧/١
"Akal itu, apabila tidak mengikuti syariat maka tidak ada tersisa baginya melainkan hawa dan syahwat". Dan tidaklah engkau mengetahui siapa yg mengikuti hawa nafsu, maka sesungguhnya kesesatan yg nyata". (Al I'tishoom: 1/67).
Beragama itu mudah. Amalkan dalil yang ada baik dari alquran maupun as sunnah dengan contoh dan pemahaman sahabat. Kalau sudah tahu kebaikan ya amalkan dan kalau tahu keburukan, ya tinggalkan. Itu namanya orang yang berakal.
Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullah :
لَيْسَ الْعَاقِلُ الَّذِي يَعْرِفُ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ , وَلَكِنَّ الْعَاقِلَ الَّذِي يَعْرِفُ الْخَيْرَ فَيَتَّبِعُهُ وَيَعْرِفُ الشَّرَّ فَيَتَجَنَّبُهُ
“Bukanlah orang yang berakal yang hanya mengetahui kabaikan dan kejelekan, akan tetapi orang yang berakal adalah yang mengetahui kebaikan kemudian dia mengikutinya dan mengetahui kejelekan kemudian dia menjauhinya." (Al-‘Aqlu wa Fadhluhu Li Ibni Abid Dunya : 56).
Sehingga tidak ada jalan lain agar akal ini sehat, bertambah cerdas dan pemahaman agama bertambah baik, ikuti dan tiru bagaimana para sahabat dan tabiin mengamalkan islam.
Berkata Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
مشابهة الصحابة والتابعين تزيد العقل والدين والخلق.
"Meniru sahabat dan tabi'in, akal bertambah (cerdas), agama bertambah (faham) dan akhlak akan bertambah (baik)". (Iqtidhou Ash Shirotil Mustaqim 1:527)
Orang yang berakal sehat adalah orang yang ketika disampaikan kebenaran, dia menerimanya dengan senang hati. Sedangkan sebaliknya orang yang berakal dungu, rusak, sakit atau error adalah orang yang ketika disampaikan kebenaran dia menolak dan tidak menerimanya.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata :
"من عُرِضَ عليه حقٌ فَرَدَّهُ، فلم يقبله؛ عُوقِبَ بفساد قلبه وعقله ورأيه" (مفتاح دار السعادة ١٦٠/۱)
"Barang siapa yang disampaikan kepadanya al-haq (kebenaran) lalu dia menolaknya dan tidak menerimanya, maka dia akan dihukum dalam bentuk rusaknya qalbu, akal dan pemikirannya." (Miftah Daris Sa'adah 1/160).
Lihatlah Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, beliau membuang akalnya jauh-jauh kalau sudah berhadapan dengan dalil. Akalnya tunduk kepada kebenaran syariat.
عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ يُقَبِّلُ الْحَجَرَ وَيَقُولُ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْك
َ“Dari ‘Abis bin Robi’ah rahimahullah, ia berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar (bin Al Khottob) mencium hajar Aswad. Lantas ‘Umar berkata, “Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُك
َ“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan mudhorot (bahaya), tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR. Muslim).
Kesimpulannya, akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan kebenaran alquran dan hadits yang shahih. Jika suatu dalil tidak masuk akalnya, bukan dalilnya yang direparasi, tetapi otaknya yang error.
Akal dan hawa nafsu harus tunduk kepada syariat. Jangan menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai tuhan, yakni dengan mendahulukan akal dan hawa nafsu dari pada syariat.
Allah Ta'ala berfirman:
بِمَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (22) أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (23) }
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya? (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, tentang firman Allah Ta'ala:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?. (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Yakni sesungguhnya dia hanya diperintahkan oleh hawa nafsunya. Maka apa saja yang dipandang baik oleh hawa nafsunya, dia kerjakan; dan apa saja yang dipandang buruk oleh hawa nafsunya, dia tinggalkan. Ayat ini dapat juga dijadikan sebagai dalil untuk membantah golongan Mu'tazilah yang menjadikan nilai buruk dan baik berdasarkan kriteria rasio mereka. Menurut apa yang diriwayatkan dari Malik sehubungan dengan tafsir ayat ini, orang tersebut tidak sekali-kali menyukai sesuatu melainkan dia mengabdinya.
Firman Allah Ta'ala :
وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ
Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (QS. Al-Jatsiyah: 23). (Tafsir Ibnu Katsir).
AFM
===============================
Wallahu a'lam bishawab.
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.