Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Wednesday, October 11, 2023

Jihad dan Islam

Jihad dan Islam
Bismillah...

KEUTAMAAN JIHAD

Jihad adalah bagian dari syariat islam, bahkan dialah Ketinggian Islam. Dengan Jihad Allah muliakan Islam dan kaum muslimin, dengan meninggalkannya hinalah Islam dan kaum muslimin.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” [Ali ‘Imran/3: 142]

Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى » .

Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada kali yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali. 

[HR Muslim (no. 1878), Ibnu Abi Syaibah (no. 19542), Ibnu Hibban (no. 4608-at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1619), Ahmad dalam Musnad-nya (II/424), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2612). Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 2896)]

… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ.

Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.” [HR. Ahmad (V/231, 236, 237, 245-246), at-Tirmidzi (no. 2616), ‘Abdurrazzaq (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973)]

Siapa saja yg mati dan tidak pernah sekalipun terlintas dihatinya berjihad maka dia terancam mati di antara cabang-cabang kemunafikan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang, serta tidak memiliki niat untuk berperang, maka dia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim no. 1910

Dengan semangat jihadlah, tersebar Islam keseluruh penjuru dunia, dan dengannyalah dunia dikeluarkan dari kegelapan kekufuran, kezaliman dan kemaksiatan kepada cahaya Islam, keadilan dan penghambaan kepada Rabbul ‘a lamin.

Dengan jihad, merdekalah manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk agar menjadi hamba sang Khaliq semata. Dengan jihad pula manusia diajak keluar dari sempitnya dunia kepada luasnya Akhirat.

Dengan jihad, kan dimuliakan para syuhada, diketahui mana yang jujur keimanannya dan mana yang munafik, mana yang tulus mengharap akhirat, dan mana yang tergila-gila mencintai dunia.

JIHAD ITU ADA RAMBU-RAMBUNYA

Karena jihad adalah perkara besar, maka syariat jihad tidak dilakukan secara serampangan, dengan hanya mengedepankan semangat dan perasaan, tanpa melihat pertimbangan maslahat dan mudarat.

Karena itulah jihad itu sendiri baru di syariatkan manakala Nabi telah hijrah, dan telah memiliki kekuatan dan persiapan. Adapun di Mekah, selama 13 tahun Nabi berdakwah, belum lagi ada syariat dan perintah berjihad, bahkan yang ada adalah larangan berjihad melawan kaum musyrikin.

Mengapa demikian, jawabannya karena jumlah dan kekuatan mereka kala itu tidak mendukung, dan bila dipaksakan hanya akan mendatangkan kemudaratan yg lebih besar. 

Bisa saja bila mereka nekat berperang kala itu, akan habis kaum muslimin hingga ke akar-akarnya. Akan lenyap Islam untuk selama-lamanya.

Tapi Nabi tunda dulu hingga mereka punya kekuatan, negeri, pasukan yang kuat dan solid, kala itu barulah diperintahkan berjihad dalam rangka membela diri dari kezaliman musuh-musuh Islam, yang telah mengusir Nabi, dan merampas segala harta kaum muslimin di Mekah, dan demi melindungi setiap orang yang ingin kembali pada agama fitrah, agama tauhid.

Karena itulah jihad tholabi itu, yang syari’inya harus dengan perintah pemimpin kaum muslimin, dan di bawah panji pemimpin kaum muslimin. 

Dengan sebab itu pula fatwa jihad harus benar-benar dikeluarkan oleh para ulama yang mumpuni setelah menimbang sisi maslahat dan mafsadat. Tidak bisa dengan modal semangat dimana sebagian kelompok angkat senjata menyerang kaum musyrikin, yang bisa saja dampaknya lebih fatal dari apa yang mereka inginkan.

Mungkin saja kan terbunuh segelintir orang dan dikuasai sebagian wilayah musuh sesaat, tetapi lepas dari itu kan terbunuh berkali-kali lipat jumlah masyarakat sipil dari kaum muslimin.

Hari ini ditumpahkan darah 30 tentara orang kafir, besok kan terbunuh 300 orang sipil kaum muslimin, mulai dari anak-anak, wanita, orang tua dan orang-orang yang lemah.

Hari ini mungkin kan dihancurkan sebagian target dari camp-camp musuh, besok rumah, sekolah, masjid kaum muslimin hancur sama rata dengan tanah.

ADA JIHAD, ADA GENJATAN SENJATA

Kemaslahatan terbesar adalah target tertinggi dalam perintah syariat, menghindari kerusakan yang fatal itu lebih didahulukan dari mencapai kemaslahatan kecil.

Karena itulah yang mengkaji ulang sejarah, akan dapat mengambil kesimpulan sendiri, mengapa Nabi tidak berperang saja ketika ditahan kaum musyrikin untuk masuk ke Mekah ditahun ke 6 Hijriyah, bahkan Nabi lebih memilih genjatan senjata daripada harus berperang dengan musuh. Padahal Nabi membawa sekitar 1300 sahabat, jumlah yang lumayan besar untuk ukuran pasukan kala itu.

Mengapa Nabi tidak suarakan jihad saja? Bukanlah jihad ketinggian Islam, jalan menuju syahid…dst, ?. Jawabnya karena waktu itu genjatan senjata lebih besar maslahatnya dari berjihad.

MENGALAH PADA MUSUH

Bahkan bila mengalah pada musuh dengan memberikan sebagian apa yang mereka inginkan, agar menolak peperangan dan invasi mereka, juga pernah ingin dilakukan Nabi.

Dikala perang khandaq tahun ke 5 hijriyah berkecamuk, Nabi hampir-hampir ingin memberikan sepertiga hasil kurma Kota Madinah kepada tentara sekutu Ghatafan dengan syarat mereka mundur dari koalisi Quraisy dan Yahudi. 

Kalaulah bukan karena pemimpin Anshar : Sa’ad bin Muadaz dan Sa’ad bin Ubadah tidak setuju dengan usulan nabi tersebut, niscaya akan terjadi pemberian sepertiga hasil kurma Madinah pada mereka.

KESIMPULAN

Jihad itu akan menjadi solusi dan maslahat besar manakala diperhatikan berbagai rambu-rambu lain sebelum memutuskan berjihad.

Keputusan jihad sepihak, atau sekelompok orang, biasanya akan mendatangkan kemudaratan lebih besar dari kemaslhatan. Fallahul musta’an


Trawas, Mojokerto 

26 Rabiul Awwal 1445/ 11 Okt 2023


✒ Ditulis oleh, Al-Ustâdz. Abu Fairuz Ahmad Ridwan bin Muhammad Yunus, MA حفظه الله تعالى.

​✿🫘❁࿐❁✿​🫘✿❁࿐❁🫘✿​

https://www.facebook.com/100001105385773/posts/pfbid02c5ARKDC2rgbpCnahiFJtsEFFoGM1HQZ6wgAV86rbc5hVsazMZ84izTYN58XVkucTl/

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive