Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Saturday, October 28, 2023

Laknat (2)

Melaknat Orang Kafir Secara Mu’ayyan
Bismillah...

Melaknat Orang Kafir Secara Mu’ayyan

Tentang melaknat orang kafir secara spesifik (mu’ayyan) – seperti perkataan : ‘semoga Allah melaknat si Fulaan’ - , maka ada dua keadaan:

1. Orang yang meninggal dalam keadaan kafir.

Orang yang telah disebutkan secara spesifik oleh nash bahwa ia mati dalam keadaan kafir, seperti Fir’aun, Abu Lahab, dan Abu Jahl; maka diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.

Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata saat membawakan perkataan perkataan Abu Lahab:

قَالَ أَبُو لَهَبٍ عَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَبًّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ، فَنَزَلَتْ: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ "

Telah berkata Abu Lahab – semoga laknat Allah atas dirinya – kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Celaka kamu sepanjang hari ini". Maka turunlah ayat : ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa’ (QS. Al-Lahab : 1)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1394].

Orang yang tidak disebutkan secara spesifik oleh nash, namun diketahui/dipersaksikan dengan pasti meninggal dalam keadaan kafir, maka boleh juga untuk melaknatnya. 

Dalilnya adalah:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya” [QS. Al-Baqarah : 161].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

واما لعنة المعين فان علم أنه مات كافرا جازت لعنته

Adapun melaknat secara mu’ayyan, apabila diketahui ia mati dalam keadaan kafir, maka boleh untuk melaknatnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/511].

Melaknat orang kafir yang telah meninggal boleh dilakukan jika ada maslahatnya, bukan sekedar pertimbangan emosi dan balas dendam.

2. Orang kafir yang masih hidup.

Para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan sebagian ulama lain membolehkannya.

Jumhur ulama berpendapat tidak boleh melaknatnya secara mu’ayyan. 

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

فأما الكافر المعين، فقد ذهب جماعة من العلماء إلى أنه لا يلعن لأنا لا ندري بما يختم له، واستدل بعضهم بهذه الآية: { إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ }

Adapun orang kafir tertentu, sekelompok ulama berpendapat tidak boleh melaknatnya karena kita tidak mengetahui dengan apa ia menutup kematiannya. Sebagian dari mereka berdalil dengan ayat ini : ‘Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya’." (QS. Al-Baqarah : 161)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].

Selain ayat di atas, dalil yang mereka pergunakan antara lain adalah:

a. Hadits tentang qunut nazilah.

عَن ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنَ الْفَجْرِ، يَقُولُ: " اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا، بَعْدَ مَا يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ "، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk yang terakhir shalat Shubuh, beliau berdoa : “Ya Allah, laknatlah Fulaan, Fulaan, dan Fulaan” – yaitu setelah beliau mengucapkan : “Sami’allaahu li-man hamidah, rabbanaa wa lakal-hamd”. Lalu Allah menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4070].

Dalam riwayat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, doa yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، ثُمَّ بَلَغَنَا، أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ".

Ya Allah, selamatkanlah Waliid bin Waliid, Salamah bin Hisyaam, ‘Ayyaasy bin Abi Rabii’ah dan orang-orang mukmin yang lemah. Ya Allah, perkuatlah hukumanmu kepada Mudlarr dan jadikanlah untuk mereka masa-masa paceklik sebagaimana paceklik Yuusuf. Ya Allah, laknatilah Lihyaan, Ri’l, dan Dzakwaan, mereka yang telah membangkang Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian sampai berita kepada kami, bahwa beliau meninggakan doa (qunut) tersebut, ketika diturunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 675].

Yaitu, beliau meninggalkan pelaknatan setelah turunnya QS. Aali ‘Imraan ayat 128, sebagaimana penjelasan An-Nawawiy rahimahullah:

وقد روى البيهقي باسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الامام انه قال انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله " ثم ترك الدعاء لهم "

Dan telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dengan sanadnya dari ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy Al-Imaam [2], bahwasannya ia berkata : ‘Bahwasannya yang ditinggalkan oleh Nabi itu hanyalah doa laknat (sementara pensyari’atan qunutnya tetap berlaku)’. Dan ta’wil ini diperjelas oleh riwayat Abu Hurairah sebelumnya, yaitu perkataannya : ‘kemudian beliau meninggalkan doa untuk mereka” [Al-Majmuu’, 3/505].

b. Hadits tentang larangan melaknat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ، قَالَ: " إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً "

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Dikatakan : “Wahai Rasulullah, berdoalah kecelakaan terhadap orang-orang muusyrik”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat, Aku hanyalah diutus sebagai rahmat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2599].

Sebagian ulama lain membolehkan melaknat orang kafir secara mu’ayyan. Dalil yang mereka gunakan antara lain:

a. Hadits ucapan salam orang Yahudi.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ الْيَهُودُ يُسَلِّمُونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: السَّامُ عَلَيْكَ، فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ إِلَى قَوْلِهِمْ، فَقَالَتْ: عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ "، فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا يَقُولُونَ؟، قَالَ: " أَوَلَمْ تَسْمَعِي أَنِّي أَرُدُّ ذَلِكِ عَلَيْهِمْ فَأَقُولُ وَعَلَيْكُمْ "

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Dulu ada orang Yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “As-Saamu ‘alaika (kebinasaan atasmu)”. Maka ‘Aaisyah cepat menangkap maksud perkataan mereka itu, lalu berkata : “‘Alaikumus-saam wal-la’nah (bagimu kebinasaan dan juga laknat)”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah wahai ‘Aaisyah, sesungguhnya Allah suka pada kelembutan pada semua hal”. ‘Aaisyah berkata : “Wahai Nabiyullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan ?”. Beliau bersabda : “Apakah engkau tidak mendengar aku telah menjawab ucapan mereka. Aku katakan : ‘wa’alaikum (dan juga bagimu) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6395].

Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan laknat ‘Aaisyah kepada orang Yahudi tersebut. Yang beliau ingkari hanyalah bahwa apa yang dilakukan ‘Aaisyah tidak mencerminkan kelembutan. Seandainya ucapan laknat itu dilarang/diharamkan, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan mengkoreksinya.

b. Hadits laknat dalam qunut naziilah.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam waktu shalat Shubuh ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk mengucapkan : ‘Allaahumma Rabbanaa wa lakal-hamdu’ – dalam raka’at terakhir. Kemudian beliau membaca : “Ya Allah, laknatilah Fulaan dan Fulaan”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7346].

Sisi pendalilan : Riwayat di atas jelas menyebutkan doa laknat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang kafir Quraisy. Adapun ta’wil sebagian ulama bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti mendoakan laknat kepada orang kafir secara mu’ayyan karena turunnya ayat, maka ini bisa ditinjau kembali.

Hal itu dikarenakan ada sababun-nuzuul lain dari ayat sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ

Dari Anas : Bahwasannya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka. Maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan : “Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?”. Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1791].

Perang Uhud terjadi lebih dahulu daripada peristiwa Bi’r Ma’uunah. 

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan penjamakan dua riwayat ini dengan perkataannya:

وَطَرِيق الْجَمْع بَيْنه وَبَيْن حَدِيث اِبْن عُمَر أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا عَلَى الْمَذْكُورِينَ بَعْد ذَلِكَ فِي صَلَاته فَنَزَلَتْ الْآيَة فِي الْأَمْرَيْنِ مَعًا ، فِيمَا وَقَعَ لَهُ مِنْ الْأَمْر الْمَذْكُور وَفِيمَا نَشَأَ عَنْهُ مِنْ الدُّعَاء عَلَيْهِمْ ، وَذَلِكَ كُلّه فِي أُحُد ، بِخِلَافِ قِصَّة رِعْلٍ وَذَكْوَانَ فَإِنَّهَا أَجْنَبِيَّة ، وَيَحْتَمِل أَنْ يُقَال إِنَّ قِصَّتهمْ كَانَتْ عَقِب ذَلِكَ وَتَأَخَّرَ نُزُول الْآيَة عَنْ سَبَبهَا قَلِيلًا ، ثُمَّ نَزَلَتْ فِي جَمِيع ذَلِكَ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan jalan penjamakan antara hadits Anas dan hadits Ibnu ‘Umar bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan terhadap orang-orang tersebut setelah peristiwa tersebut dalam shalatnya; maka turunlah ayat dalam dua perkara secara bersamaan. Pertama, turun untuk perkara yang telah disebutkan (yaitu dalam hadits) dan kedua, turun untuk peristiwa doa kejelekan yang beliau ucapkan kepada mereka, semuanya terjadi di Uhud. Berbeda halnya dengan kisah Ri’l dan Dzakwaan karena ia adalah kisah lain. Ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa sesungguhnya kisah mereka terjadi setelahnya dan ayat turun sedikit terlambat dari sebabnya. Kemudian ayat itu turun untuk semuanya, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 8/227].

Dan sebelumnya Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan penguatan bahwa yang benar ayat tersebut turun untuk peristiwa Uhud:

وَالصَّوَابُ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي شَأْنِ الَّذِينَ دَعَا عَلَيْهِمْ بِسَبَبِ قِصَّةِ أُحُدٍ ، وَاَللَّه أَعْلَم . وَيُؤَيِّد ذَلِكَ ظَاهِر قَوْله فِي صَدْرِ الْآيَةِ ( لِيَقْطَعَ طَرَفًا مِنْ الَّذِينَ كَفَرُوا ) أَيْ يَقْتُلهُمْ ( أَوْ يَكْبِتَهُمْ ) أَيْ يُخْزِيَهُمْ ، ثُمَّ قَالَ : ( أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ) أَيْ فَيُسْلِمُوا ( أَوْ يُعَذِّبَهُمْ ) أَيْ إِنْ مَاتُوا كُفَّارًا .

Dan yang benar, ayat tersebut turun pada perkara yang beliau mendoakan kejelekan pada mereka dengan sebab kisah Uhud. Wallaahu a’lam. Dan hal itu dikuatkan dengan dhahir firman Allah sebelumnya : ‘(Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir’ (QS. Aali ‘Imraan : 127), yaitu : membunuh mereka. ‘Atau untuk menjadikan mereka hina’ (QS. Aali ‘Imraan : 127), yaitu : menghinakan mereka. Kemudian Allah berfirman : ‘atau Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu : lalu mereka masuk Islam. ‘Atau mengadzab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu jika mereka mati dalam keadaan kafir [Fathul-Baariy, 7/366].

Dhahir ayat ini berkaitan dengan larangan ikut campur dalam urusan Allah dalam hal membiarkan hamba-Nya dalam kesesatan ataukah memberikan petunjuk kepadanya.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

فقال: { لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ } أي: بل الأمر كلّه إلي، كما قال: { فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ } [الرعد:40] وقال { لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [البقرة:272]. وقال { إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [القصص:56].

قال محمد بن إسحاق في قوله: { لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ } أي: ليس لك من الحكم شيء في عبادي إلا ما أمرتك به فيهم.

ثم ذكر تعالى بقية الأقسام فقال: { أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ } أي: مما هم فيه من الكفر ويهديهم بعد الضلالة { أَوْ يُعَذِّبَهُمْ } أي: في الدنيا والآخرة على كفرهم وذنوبهم؛ ولهذا قال: { فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ } أي: يستحقون ذلك.

Allah berfirman : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’, yaitu : bahkan semua urusan kembali kepada-Ku – sebagaimana firman-Nya : ‘Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka’ (QS. Ar-Ra’d : 40). 

‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Baqarah : 272). 

‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Qashshash : 56).

Muhammad bin Ishaaq berkata tentang firman-Nya : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’; yaitu : ‘tidak ada keputusan apapun bagimu terhadap hamba-Ku kecuali apa yang Aku perintahkan dengannya terhadap mereka’.

Kemudian Allah ta’ala menyebutkan bagian lain. Ia berfirman : ‘atau Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu : (mengampuni) kekufuran mereka, dan kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka setelah mereka terjatuh dalam kesesatan. ‘Atau mengazab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : ‘(mengadzab mereka) di dunia dan di akhirat karena kekufuran dan dosa-dosa mereka’. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman : ‘karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : mereka memang berhak mendapatkannya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/114].

Konteks tafsir ini lebih sesuai dengan sababun-nuzuul yang dibawakan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, wallaahu a’lam.

Oleh karena itu, berhentinya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah setelah peristiwa Bi’r Ma’uunah (sebagaimana riwayat Ibnu ‘Umar) adalah terkait teguran agar beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memastikan seseorang tersesat dan terus dalam kekafiran (sehingga beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka). 

Hal itu dikuatkan oleh jalan lain dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو عَلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ فَهَدَاهُمُ اللَّهُ لِلْإِسْلَامِ

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan kejelekan kepada empat orang, lalu Allah tabaaraka wa ta’ala menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128). Lalu Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk memeluk Islam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3005, dan ia berkata : ‘Hadits hasan ghariib shahih’. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/207].

c. Hadits sumur Badr.

Ketika 'Amru bin Hisyaam, 'Utbah bin Rabii’ah, Syaibah bin Rabii’ah, Al-Waliid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abu Mu’aith, dan ‘Umaarah bin Al-Waliid mati dan dimasukkan dalam sumur Badr, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَأُتْبِعَ أَصْحَابُ الْقَلِيبِ لَعْنَةً

Penghuni sumur ini diiringi oleh laknat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 520].

d. Hadits pemabuk yang dihukum cambuk.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: " أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا، فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ "

Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Ada seorang laki-laki di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Abdullah, yang dijuluki keledai (himaar). Ia suka membuat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertawa. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mencambuknya karena ia mabuk. Suatu hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Lalu ada seorang laki-laki dari satu kaum berkata : “Ya Allah, laknatilah ia, betapa sering ia dihukum”. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai Allah dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

وقالت طائفة أخرى: بل يجوز لعن الكافر المعين. واختار ذلك الفقيه أبو بكر بن العربي المالكي، ولكنه احتج بحديث فيه ضعف، واستدل غيره بقوله، عليه السلام، في صحيح البخاري في قصة الذي كان يؤتى به سكران فيحده، فقال رجل: لعنه الله، ما أكثر ما يؤتى به، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا تلعنه فإنه يحب الله ورسوله" قالوا: فعلَّة المنع من لعنه؛ بأنه يحب الله ورسوله فدل على أن من لا يحب الله ورسوله يلعن، والله أعلم.

Sekelompok ulama lain berkata : “Bahkan diperbolehkan melaknati orang kafir tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Abu Bakr bin Al-‘Arabiy Al-Maalikiy, akan tetapi ia berhujjah dengan hadits dla’if. Ulama lain (yang berpendapat membolehkan) berdalil dengan sabda beliau ‘alaihis-salaam dalam Shahiih Al-Bukhaariy dalam kisah seorang laki-laki pemabuk yang dihadapkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menegakkan hadd padanya. Seorang laki-laki berkata: ‘Semoga Allah melaknatnya, betapa sering ia dihukum’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah kalian melaknatnya, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya’. Mereka berkata : ‘Alasan larangan melaknat adalah karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Maka itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya boleh untuk dilaknat, wallaahu a’lam” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].

e. Perkataan Bilaal bin Rabbaah radliyallaahu ‘anhu yang melaknat beberapa tokoh kafir Quraisy.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ، وَبِلَالٌ، .......وَكَانَ بِلَالٌ إِذَا أُقْلِعَ عَنْهُ الْحُمَّى يَرْفَعُ عَقِيرَتَهُ، يَقُولُ: أَلَا لَيْتَ شِعْرِي هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً بِوَادٍ وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ وَطَفِيلُ. قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ، كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ "

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madiinah, Abu Bakr dan Bilaal terserang demam…… Apabila Bilaal sembuh dari demamnya, ia bersyi’ir dengan suara keras : “Alangkah baiknya syairku, dapatkah kiranya aku bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi pohon idzkir dan jalil. Apakah ada suatu hari nanti aku dapat mencapai air Majannah. Dan apakah bukit Syamah dan Thufail akan tampak bagiku?”. Lalu ia berkata : Ya “Ya Allah, laknatlah Syaibah bin Rabii’ah, 'Utbah bin Rabii’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami (Makkah) ke negeri derita (Madiinah). Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berkahilah timbangan shaa’ dan mudd kami. Sehatkanlah (makmurkanlah) Madinah untuk kami dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1889].

f. Perkataan sebagian salaf terhadap Jahm bin Shafwan yang telah dikafirkan para ulama.

عَنْ يَزِيد بْنِ هَارُونَ، يَقُولُ: " لَعَنَ اللَّهُ الْجَهْمَ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ

Dari Yaziid bin Haaruun ia berkata : “Allah melaknat Jahm dan orang yang berkata dengan perkataannya…” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 189; shahih].

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkannya.

Tentang dalil laknat dalam qunut nazilah yang dibawakan jumhur ulama telah dijawab di atas. Adapun hadits tentang larangan melaknat, maka hadits itu menggunakan lafadh la’aan (لَعَّانٌ). 

Hal itu seperti hadits yang lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا "

Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Tidak selayaknya bagi seorang yang shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

وَلَمْ يَقُلْ : لَاعِنًا وَاللَّاعِنُونَ لِأَنَّ هَذَا الذَّمّ فِي الْحَدِيث إِنَّمَا هُوَ لِمَنْ كَثُرَ مِنْهُ اللَّعْن ، لَا لِمَرَّةٍ وَنَحْوهَا

Beliau tidak mengatakan laa’inan dan laa’inuun, karena maksud celaan dalam hadits hanyalah bagi orang yang banyak melaknat, bukan orang yang sesekali/jarang melaknat” [Syarh Shahiih Muslim, 16/149].

Sekaligus di sini terkandung faedah : Meskipun boleh melaknat kafir secara mu’ayyan (individu/personal), maka tidak selayaknya seorang mukmin memperbanyak laknat dalam rangka meneladani Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diminta melaknat orang musyrik – padahal mereka memang berhak untuk dilaknat - , beliau menolaknya.


Footnote:

[2] Yaitu riwayat:

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الصَّيْدَلانِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا قُدَامَةَ، يَحْكِي عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ، فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ "، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ رَحِمَهُ اللَّهُ: إِنَّمَا تَرَكَ اللَّعْنَ

Telah mengkhabarkan kepada kamu Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Muusaa Ash-Shaidalaaniy : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Abi Thaalib, ia berkata : Aku mendengar Abu Qudaamah menghikayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy tentang hadits Anas bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya. ‘Abdurrahmaan rahimahullah berkata : “Beliau hanyalah meninggalkan pelaknatannya saja” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 2/201 (278) no. 3103]


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

🌐 https://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/11/laknat.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive