Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Wednesday, September 26, 2018

Islam Memotivasi Saling Menolong Antar Sesama

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ٥:٢

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. [al Maidah/5 : 2].

Menurut Ibnul Qayyim, ayat ini mencakup seluruh kebaikan antar sesama manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan antara mereka dengan Allah. Sesungguhnya setiap manusia tidak bisa lepas dari dua hal dan kewajiban ini, (yaitu) kewajibannya terhadap Allah dan kewajibannya terhadap sesama manusia.

Yang berkaitan dengan sesama manusia, (yaitu) berbentuk pergaulan, saling menolong dan menjalin persahabatan. Kewajibannya (terhadap Allah), (yakni) agar interaksinya dengan mereka dalam bentuk saling menolong untuk menggapai ridha Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya, yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesan. Tidak ada kebahagiaan baginya selain dengan itu.[1]

BANTUAN SYAFA’AT YANG DIPERBOLEHKAN

Diantara dalil dari Sunnah, yaitu riwayat yang terdapat dalam Shahihain, dari Abu Musa al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Jika Rasulullah kedatangan orang yang meminta atau dimintai suatu hajat, (maka) beliau bersabda:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ

Berikan syafa’at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki”. [2]

Isyfa’u adalah, sebuah perintah untuk mengeluarkan syafa’at (bantuan). Tu`jaru artinya, niscaya kalian akan mendapat balasan pahala dari Allah atas bantuan syafa’at yang kalian keluarkan, kendatipun tidak memudahkan urusan.[3]

Dalam hadits diatas, seperti diungkapkan al Qurthubi, memuat pelajaran, (yaitu) berupa anjuran untuk melakukan kebaikan secara langsung atau menjadi penyebabnya. Perintah ini bersifat nadb (anjuran, sunnah). Namun terkadang bisa beralih menjadi wajib.[4]

Imam Nawawi menjelaskan: “Dianjurkan memberikan syafa’at kepada orang-orang yang mempunyai keperluan-keperluan yang hukumnya mubah, baik permohonan syafa’at di hadapan penguasa, gubernur atau orang yang setingkat kedudukannya dengan mereka, atau kepada siapapun dari anggota masyarakat. Baik syafa’at itu dengan tujuan agar penguasa menahan diri dari perbuatan zhalim, atau mempermudah penyerahan harta buat orang yang membutuhkan, dan lain sebagainya”.[5]

Beliau juga mengatakan: “Ketahuilah, memberikan syafa’at (menjadi perantara), dianjurkan di hadapan para penguasa dan orang-orang yang memegang wewenang dan mampu menjalankannya, selama syafa’at tersebut tidak bersentuhan dengan aspek hadd (hukuman pidana) atau memberi syafa’at pada perkara yang tidak boleh ditinggalkan, seperti syafa’at orang yang memelihara anak kecil, orang gila atau pemberi wakaf atau selainnya, untuk menjatuhkan beberapa hak milik orang yang berada di bawah kekuasaannya. Seluruh syafa’at ini hukumnya haram, baik untuk pemberi syafa’at, dan juga atas orang yang mengeluarkan hak syafa’at. Dan diharamkan atas selain keduanya untuk mengusahakannya jika mengetahui.” [6]

Pemberian bantuan pengurusan di hadapan orang-orang untuk mempermudah perolehan hak atau menahan keburukan atau tujuan serupa lainnya, yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hukumnya mubah, merupakan usaha yang disenangi dan perbuatan yang baik.

TELADAN DARI GENERASI SALAF DALAM MEMBERIKAN SYAFA'AT

❅ Dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, tertuang bahwa beliau acapkali menulis permohonan syafa’at bagi orang yang mendatanginya kepada para pemegang jabatan.

Suatu hari al Mutawalli (seorang penguasa) berkata: “Engkau menulis permohonan syafa’at kepada kami bagi orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafa’at (dari siapapun) untuk mereka, sedangkan kami ingin tidak menolak permintaanmu”.

Mendengar ungkapan al Mutawalli ini, maka beliau menjawab: “Mengenai diriku, maka aku sudah memenuhi keinginan orang yang mendatangiku. Terserah kalian, mau menerima tulisanku atau tidak,” maka al Mutawalli berkata: “Tidak akan kami tolak selamanya”.[7]

❅ Abu Muzhfir al Khuza’i selalu mengharuskan dirinya untuk membantu menyelesaikan keperluan-keperluan manusia. Ada orang berkomentar: “Wahai Syaikh, kemungkinan saja timbul kegerahan dari dirimu dalam menyelesaikan apa yang engkau kerjakan (buat orang lain),” (tetapi) beliau menjawab: “Aku akan selalu menulis. Jika hajat orang yang saya menulis untuknya, itulah tujuanku. Jika tidak terlaksana, saya sudah terbebas dari tuntutan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan itu”.

Seorang penyair melantunkan:
Diwajibkan atas diriku zakat apa yang kumiliki
Dan zakat jabatanku adalah membantu dan memberi syafa’at

Kalau engkau punya, berbuat baiklah. Jika tidak mampu,
berusahalah dengan sekuat tenaga untuk membantu (orang lain)

Maraji`:
– Ar-Risalah at-Tabukiyah, Ibnul Qayyim, Tahqiq Salim bin ‘Id al Hilali.
– Fatawa Ulama al Baladil-Haram, Khalid bin ‘Abdir-Rahman al Juraisi.
– Asy-Syafa’at, Nashir al Judai’.
– Taisirul-Karimir-Rahman, as Sa’di.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2539-jika-mencari-kerja-dengan-katebelece.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive