Kebanyakan ulama -dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali- berpendapat bahwa diharamkan membuat gambar dan patung kecuali untuk boneka (mainan anak-anak)
Al Qodhi ‘Iyadh menukil akan kebolehan tersebut dan ia katakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. Begitu pula Imam Nawawi mengikuti pendapat ini dalam Syarh Muslim. Beliau rahimahullah berkata bahwa dikecualikan dari larangan gambar atau patung yaitu jika dimaksudkan untuk boneka anak-anak karena ada dalil yang menunjukkan keringanan hal ini.
Kebolehan di sini terserah mainan tersebut dalam bentuk manusia atau hewan, baik berbentuk tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada wujud aslinya seperti kuda yang memiliki sayap.
Namun ulama Hambali memberikan syarat kebolehannya jika tidak ada kepala atau anggota badannya tidak sempurna sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan ulama lainnya tidak mempersyaratkan seperti itu.
Jumhur (baca: mayoritas ulama) berdalil dengan pengecualian di atas berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى
“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan,
“Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527)
Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa kebolehan bermain dengan boneka seperti ini telah mansukh (dihapus). Namun hadits ‘Aisyah lainnya menunjukkan bahwa klaim mansukh tersebut tidaklah tepat.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ». قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ». قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An Nasai dalam Al Kubro no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Hadits ini diceritakan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk. Ini sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak dimansukh (dihapus) karena datangnya belakangan.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa mainan tadi dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan karena ada bahasan sendiri tentang hukum memajang gambar.
Dari penjelasan di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam rangka mendidik mereka supaya anak perempuan bisa jadi lebih penyayang. Namun aman dan lebih selamat (baca: sikap wara’), boneka tersebut tanpa wujud yang sempurna, tanpa kepala atau wajahnya dihilangkan.
Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
📚 Referensi: Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al ‘Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
👤 Ditulis oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
===============================
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.