Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Monday, December 31, 2018

Berqurban Sebelum Pemerintah, Tidak Sah?

Berqurban Sebelum Pemerintah, Tidak Sah?
Jika ada orang berqurban sebelum hari raya yang ditetapkan pemerintah, apakah qurbannya sah? Ada yg bilang gak sah, apa benar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam ibadah jama’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar kaum muslimin melaksanakan ibadah ini bersama-sama secara berjamaah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 701, ad-Daruquthni dalam sunannya no. 2206 dan dishahihkan al-Albani).

Kita semua memahami, untuk bisa mewujudkan puasa bersama, hari raya bersama, berarti harus ada pihak yang menyatukan semua suara mereka.

Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang berwenang menyatukan suara itu?

Jika ini dikembalikan kepada ijtihad masing-masing ormas, tentu selamanya tidak akan pernah bisa disatukan. Terlebih ketika mereka memiliki metode penetapan tanggal yang berbeda.

Untuk itu, ibadah yang bersifat jamaah semacam ini, tidak mungkin bisa disatukan, kecuali melalui pemerintah. Karena satu ormas tentu saja tidak mungkin mampu menyatukan suara satu negara, kecuali hanya untuk para anggotanya.

Sahabat Menyembelih Qurban Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Lebih dari itu, kebiasaan para sahabat, mereka baru menyembelih, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berkhutbah. Kala itu, posisi beliau sebagai kepala negara.

Ibnu Umar menceritakan,

‎أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْحَرُ، أَوْ يَذْبَحُ بِالْمُصَلَّى

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurban di lapangan tempat shalat id. (HR. Bukhari 982)

Berdasarkan hadis ini, Imam Ibnu Utsaimin  mengatakan,

Yang ideal, hendaknya masyarakat tidak menyembelih, sampai imam menyembelih qurbannya. Jika imam menyembelihnya di lapangan. Dalam rangka meniru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.” (Ahkam al-Udhiyah, hlm. 20)

Menyembelih Qurban Sebelum Pemerintah, Tidak Sah?

Kita simak hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu berikut,

‎صَلَّى بِنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ النَّحْرِ بِالْمَدِينَةِ فَتَقَدَّمَ رِجَالٌ فَنَحَرُوا وَظَنُّوا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ نَحَرَ فَأَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada idul adha di Madinah. Seusai shalat, tiba-tiba ada beberapa orang yang langsung menuju hewan qurbannya dan langsung disembelih. Mereka mengira, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, “Siapa yang sudah menyembelih sebelum beliau, agar diulangi penyembelihannya dengan hewan yang lain.” Tidak boleh menyembelih sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih. (HR. Ahmad 15139 & Muslim 5195).

Posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah sebagai pemimpin. Beliau membatasi para sahabat, agar qurban mereka dilakukan setelah qurban beliau.

Hadis ini yang menjadi acuan Malikiah untuk mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berqurban sebelum pemerintah. Jika mereka tinggal bersama imamnya, maka acuannya setelah imam berqurban. Dan jika mereka jauh dari imamnya, maka acuannya setelah selesainya shalat imam.

Dalam kitab al-Mudawwanah,

Sahnun bertanya kepada Ibnul Qosim – murid senior Imam Malik –

‎قلت: أرأيت الضحية هل تجزئ من ذبحها قبل أن يصلي الإمام في قول مالك؟ قال: لا.

Aku bertanya (kepada Ibnul Qosim), “Apa menurut anda untuk qurban yang disembelih sebelum imam shalat, menurut pendapat Imam Malik, apakah qurbannya sah?” jawab Ibnul Qosim, “Tidak sah.” (al-Mudawwanah, 1/546).

Sahnun bertanya lagi,

‎قلت: أرأيت أهل البوادي وأهل القرى في هذا سواء؟ قال: سمعت مالكا يقول في أهل القرى الذين ليس لهم إمام: إنهم يتحرون صلاة أقرب الأئمة إليهم وذبحه.

Saya bertanya lagi, “Bagaimana dengan masyarakat pelosok, penduduk kampung, apakah mereka sama?

Jawab Ibnul Qosim,
Aku mendengar Malik menjelaskan tentang penduduk kampung yang tidak memiliki (tinggal bersama) imam, bahwa mereka memperkirakan shalat yang dikerjakan oleh imam terdekat dengannya, lalu dia bisa menyembelihnya. (al-Mudawwanah, 1/546).

Ibnul Qosim juga menegaskan

‎قال ابن القاسم: فإن تحرى أهل البوادي النحر فأخطئوا فذبحوا قبل الإمام لم أر عليهم إعادة إن تحروا ذلك ورأيت ذلك مجزئا عنهم

Ibnul Qosim mengatakan,
Jika penduduk pelosok sudah berusaha memilih waktu yang tepat untuk menyembelih, namun mereka salah prediksi, sehingga mereka menyembelih sebelum imam shalat, maka menurut saya, tidak perlu diulangi qurbannya, jika sudah berusaha memilih waktu. Dan menurutku, qurbannya sah.
(al-Mudawwanah, 1/546).

Sementara mayoritas ulama mengatakan, yang menjadi acuan waktu awal dalam penyembelihan adalah shalat id yang dikerjakan imam. Dalam Tanwir al-Ainain dinyatakan,

‎وأن أحمد قال : لا يجوز قبل صلاة الامام ويجوز بعدها قبل ذبح الامام وسواء عنده أهل القرى والأمصار

Imam Ahmad mengatakan, “Tidak boleh menyembelih sebelum shalat id imam dan boleh berqurban setelah shalat id, meskipun imam belum menyembelih qurbannya. Ini berlaku baik penduduk kampung maupun kota.” (Tanwir al-Ainain, hlm. 500)

Untuk itu, dalam rangka menghargai nilai besar ibadah qurban, maka sebisa mungkin  ibadah ini dilaksanakan bersama pemerintah, sehingga kita bisa memastikan qurban ini sah.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Berqurban Sebelum Aqiqah, Tidak Sah?

Berqurban Sebelum Aqiqah, Tidak Sah?
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu pertanyaan yang sering masuk ke redaksi konsultasi syariah adalah bolehkah berqurban sebelum aqiqah? Redaksi pertanyaan ini ambigu. Ada 2 kemungkinan makna,

1. Bolehkah berqurban, sementara dia belum mengaqiqahi anaknya yang baru saja lahir?
2. Bolehkah berqurban, sementara dulu waktu kecil belum diaqiqahi orang tua?
Yang kesimpulannya bahwa itu diperbolehkan. Kembali melihat mana yang waktunya datang lebih awal. Jika waktu qurban lebih awal, maka dia bisa qurban terlebih dahulu. Dan sebaliknya.

Selanjutnya, bagaimana dengan status orang yang berqurban, sementara dulu waktu kecil belum diaqiqahi orang tuanya

Diantara yang sempat membuat resah masyarakat, munculya pemahaman yang tersebar di tengah mereka bahwa berqurban sebelum aqiqah, status qurbannya tidak sah. Allahu a’lam, sungguh kami tidak pernah tahu, dari mana pemahaman ini berasal.

Berikut beberapa catatan untuk menjawab hukum berqurban, bagi mereka yang belum diaqiqahi orang tuanya?

✔ Pertama, bahwa berqurban dan aqiqah adalah dua kewajiban yang berbeda. Dan keduanya tidak memiliki hubungan sebab akibat. Dalam arti, aqiqah bukan syarat sah qurban, dan demikian pula sebaliknya.

Tidak sebagaimana shalat dan wudhu. Keduanya ibadah yang terpisah, namun wudhu menjadi syarat sah shalat. Dalilnya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‎لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ

Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh." (HR. Muslim 224)

Untuk menyebut amal A merupakan syarat amal B, semua butuh dalil. Sementara kami tidak mengetahui adanya dalil bahwa aqiqah adalah syarat sah qurban.

✔ Kedua, bahwa aqiqah dan berqurban, yang bertanggung jawab berbeda. Aqiqah merupakan tanggung jawab ayah (orang tua) untuk anaknya. sementara qurban, tanggung jawab mereka yang hendak berqurban.

Karena itu, ketika si A belum diaqiqahi ayahnya, kemudian di tahun ini si A hendak berqurban, maka dia tidak bertanggung jawab untuk aqiqah terlebih dahulu, sebelum berqurban. Karena aqiqah, tanggung jawab ayahnya, dan bukan tanggung jawab si A. Sementara yang menjadi tanggung jawab si A adalah ibadah qurban yang akan dia laksanakan.

Al-Khallal meriwayatkan dari Ismail bin Said as-Syalinji, beliau mengatakan,

‎سألت أحمد عن الرجل يخبره والده أنه لم يعق عنه ، هل يعق عن نفسه ؟ قال : ذلك على الأب

Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang diberi-tahu orang tuanya, bahwa dirinya belum diaqiqahi. Bolehkah orang ini mengaqiqahi dirinya sendiri? Kata Ahmad, “Itu tanggung jawab ayahnya.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58).

✔ Ketiga, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, kemudian ketika dewasa dia hendak berqurban, maka sembelihan qurban yang dia lakukan, sudah mewakili aqiqah untuk dirinya.

Al-Khallal menyebutkan riwayat keterangan dari Imam Ahmad,

‎ذكر أبو عبد الله أن بعضهم قال فإن ضحى أجزأ عن العقيقة

Imam Ahmad menyebutkan bahwa sebagian ulama mengatakan, “Jika ada orang yang berqurban, maka sudah bisa mewakili aqiqah.

‎وأخبرنا عصمة بن عصام حدثنا حنبل أن أبا عبد الله قال : أرجو أن تجزىء الأضحية عن العقيقة إن شاء الله تعالى لمن لم يعق

Kami mendapatkan berita dari Ishmah bin Isham, dari Hambal (keponakan Imam Ahmad), bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan, “Saya berharap, semoga qurban bisa mewakili aqiqah, insyaaAllah, bagi orang yang belum diaqiqahi.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58)

Dari penjelasan di atas, tidak jadi masalah ketika orang yang belum diaqiqahi sewaktu kecil, boleh melakukan qurban. Karena aqiqah bukan syarat sah qurban.

Demikian.. Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Cara Niat Qurban

Cara Niat Qurban
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Masalah niat, telah menjadi masalah sangat penting dalam ibadah seorang mukmin. Pada kesempatan ini, sejenak akan kita bahas tentang niat dalam berqurban.

✅ Pertama, ibadah qurban sebagaimana layaknya ibadah lainnya, harus dilakukan dengan niat. Adanya niat merupakan syarat sah berqurban. An-Nawawi mengatakan:

‎والنية شرط لصحة التضحية

Niat adalah syarat sah berqurban.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/380).

✅ Kedua, ulama sepakat bahwa niat tidak perlu dilafalkan. Karena niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Seseorang mengucapkan A, namun tidak sesuai dengan isi hatinya maka tidak dihitung sebagai niat. Karena itu, tidak ada lafal niat yang tidak mungkin dipahami oleh orang yang mengucapkannya.

Kaitannya dengan hal ini, ada beberapa orang yang bingung dan bertanya tentang niat satu ibadah. Niat ibadah qurban misalnya. Kemudian dia mendapatkan jawaban, bahwa niat amal ini bunyinya : nawaitu al-udhiyata bi syaatin lillahi ta’ala. Dia ucapkan teks niat ini ketika hendak menyembelih, sementara dia sama sekali tidak tahu artinya. Lalu, bagaimana mungkin ucapan ini bisa disebut niat. Padahal dia tidak paham dengan niat yang dia ucapkan.

Selama anda sudah punya keinginan untuk menyembelih hewan x sebagai qurban, maka anda sudah dianggap berniat untuk melakukan qurban.

Ketika anda mentransfer uang ke panitia qurban, anda sudah dianggap telah berniat qurban. Pada saat anda ditanya, uang senilai 1,5 jt. yang anda kirim ini untuk apa? Anda tidak mungkin menjawab: “Ya, terserah takmir masjid, mau dipake pembangunan juga boleh.” Sementara anda berkeinginan agar uang itu digunakan untuk membeli hewan qurban.

✅ Ketiga, Ucapan yang dilantunkan ketika menyembelih: Allahumma hadza minka wa laka annii [Ya Allah, ini nikmat dari-Mu, qurban untuk-Mu, dariku] bukan niat tapi hanya i’lan (mengabarkan). Dia ucapkan itu, sebagai bentuk mengabarkan apa yang ada dalam hatinya.

Imam Ibnu Utsaimin, ulama yang bergelar faqihuz zaman, pernah ditanya, apakah lafal yang diucapkan ketika menyembelih termasuk bentuk melafalkan niat?

Beliau menjawab:

‎ليس هذا تلفظاَ بالنية ، “لأن قول المضحي : هذه عني وعن أهل بيتي ، إخبار عما في قلبه ، لم يقل اللهم إني أريد أن أضحي . كما يقول من يريد أن ينطق بالنية ، بل أظهر ما في قلبه فقط ، وإلا فإن النية سابقة من حين أن أتى بالأضحية وأضجعها وذبحها فقد نوى” انتهى .

Ini bukan bentuk melafalkan niat. Karena perkataan orang yang menyembelih: ‘Ini qurban dariku dan keluargaku’ sifatnya sebatas memberitakan apa yang ada dalam hatinya. Karena dia sendiri tidak mengatakan: ‘Ya Allah, saya ingin berqurban.’ Sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang melafalkan niat. Akan tetapi yang dilakukan orang ini hanya menampakkan apa yang ada di hatinya saja. Kerena sesungguhnya niatnya sudah ada ketika hewan qurbannya dibawa, kemudian dibaringkan dan disembelih, berarti dia sudah niat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 22/20)

✅ Keempat, Apakah niat qurban harus bersamaan dengan menyembelih qurban?

Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’;

‎وَهَلْ يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا عَلَى حَالَةِ الذَّبْحِ أَمْ يُشْتَرَطُ قَرْنُهَا بِهِ، فِيهِ وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا: جَوَازُ التَّقْدِيمِ كَمَا فِي الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ عَلَى الْأَصَحِّ

Bolehkah mendahulukan niat sebelum menyembelih qurban, ataukah disyaratkan harus membarengkan niat dengan menyembelih?

Dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab syafiiyah: pendapat yang paling kuat, boleh mendahulukan niat sebelum menyembelih, sebagaimana untuk puasa dan zakat, menurut pendapat yang kuat. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/406).

✅ Kelima, Orang yang mewakilkan penyembelihan qurban kepada jagal, yang berniat bukan jagalnya tapi pemilik hewan qurban itu. Sementara yang diucapkan oleh si jagal, hanyalah mengabarkan bahwa qurban ini dari si Fulan. Si Jagal mengucapkan: Allahumma hadza ‘an Fulan [Ya Allah, ini dari Fulan]. Andaipun si jagal tidak mengucapkan kalimat pemberitaan ini, qurban tetap sah.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Qurban atau Aqiqah Dulu

Qurban atau Aqiqah Dulu
Pertanyaan, “Assalamu’alaikum Ustadz. Tahun ini insyaAllah saya akan qurban, tapi orang tua saya mengatakan bahwasanya saya belum diaqiqahi oleh orang tua. Menurut mereka hendaknya saya mendahulukan aqiqah terlebih dahulu. Bagaimana pandangan syariat mengenai hal ini?”

Andi (ibnXXXXXXXX@gmail.com)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Aqiqah dan qurban, mana yang lebih didahulukan?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa aqiqah maupun qurban hukumnya sunah muakkad (yang sangat ditekankan). Disebutkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره

Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berqurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”

Kalimat: ‘hendak berqurban’ menunjukkan bahwa qurban hukumnya sunah dan tidak wajib.

Berdasarkan hal ini, yang terbaik adalah seseorang melaksanakan kedua sunah tersebut bersamaan. Karena keduanya dianjurkan untuk dilaksanakan. Jika tidak mampu melakukan keduanya dan waktu aqiqah berbeda di selain hari qurban, maka hendaknya mendahulukan yang lebih awal waktu pelaksanaannya. Akan tetapi jika aqiqahnya bertepatan dengan hari raya qurban, dan tidak mampu untuk menyembelih dua ekor kambing untuk aqiqah dan satunya untuk qurban, pendapat yang lebih kuat, sebaiknya mengambil pendapat ulama yang membolehkan menggabungkan aqiqah dan qurban.

Allahu a’lam

📚 Disadur dari: Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, fatwa no. 44768

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Panitia Qurban Tidak Boleh Dapat Jatah Khusus

Panitia Qurban Tidak Boleh Dapat Jatah Khusus
Bolehkah panitia qurban mendapat jatah khusus ketika pembagian hasil qurban?

Karena ini menjadi kebiasaan hampir di semua daerah d tempat saya. Mohon pencerahan.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Sebelumnya kita simak hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ

Siapa yang menjual kulit qurbannya maka tidak ada qurban baginya. (HR. al-Hakim 2/390, Baihaqi dalam al-Kubro no. 19015 dan dihasankan al-Albani)

Orang yang berqurban tidak boleh menjual apapun dari hasil qurbannya. Karena orang yang berqurban, dia telah menyerahkan semua hewannya dalam rangka beribadah kepada Allah. Sehingga dia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan komersial, yang keuntungannya kembali kepada dirinya.

Termasuk diantaranya adalah mengupah jagal dengan mengambil bagian hasil qurban. Jika sohibul qurban mengupah jagal dengan sebagian hasil qurban, berarti qurbannya tidak utuh. Karena ada sebagian yang diwujudkan dalam bentuk bayar jasa.

Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengupah jagal dari hasil qurban.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

‎أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menangani onta qurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Hukum Panitia Menerima Upah dari Hasil Qurban

Kita akan melihat posisi panitia dalam kegiatan qurban,

☑ Pertama, panitia adalah pihak yang diamanahi sohibul qurban untuk menangani hewan qurbannya, dari penyembelihan sampai distribusi hasil qurban. Ada juga yang diamanahi dari sejak pengadaan hewan.

☑ Kedua, berdasarkan pengertian di atas, posisi panitia adalah wakil bagi sohibul qurban.

☑ Ketiga, panitia bukan amil. Tidak ada istilah amil dalam pelaksanaan qurban. Amil hanya dalam syariat zakat. Karena itu, adalah kesalahan ketika panitia menerima hasil qurban dengan jatah khusus, dengan alasan sebagai amil.

☑ Keempat, panitia berhak mendapatkan upah dari sohibul qurban, atas jasanya menangani hewan qurbannya. Statusnya transaksinya al-wakalah bil ujrah (mengambil upah karena telah mewakili)

☑ Kelima, mengingat panitia berhak dapat upah, maka panitia tidak boleh mengambil upah dari hasil qurban. Baik bentuknya panitia mendapat jatah khusus atau panitia mendapat jatah makan dari hasil hewan qurban, sebagai ucapan terima kasih atas jasanya menangani hewan qurban.

Upah untuk panitia, diambil dari biaya operasional yang dibebankan kepada sohibul qurban, sebagaimana keterangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

Saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Boleh Menerima Sebagai Hadiah atau Sedekah

Panitia boleh menerima hasil qurban, sebagai hadiah atau sedekah dari sohibul qurban. Artinya itu di luar upah.

Syaikh Abdullah al-Bassam menuliskan,

Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, 4/464).

Beda Hadiah/sedekah dengan Upah

Kita bisa membedakan hadiah dengan upah,
  • Hadiah sifatnya suka rela, upah statusnya kewajiban dan tanggung jawab orang yang mendapatkan jasa
  • Hadiah tidak bisa dituntut. Orang yang tidak menerima, tidak bisa memaksa orang lain untuk memberikannya. Upah bisa dituntut. Jika tidak diberikan, dia bisa meminta secara paksa.
  • Hadiah tidak ada ukurannya. Boleh diberikan senilai berapapun. Sementara upah ada ukurannya, yaitu sesuai kesepakatan.
  • Upah sebagai ganti dari kerja yang dilakukan. Sehingga jika tidak diberikan dia merasa dirugikan. Hadiah, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Sehingga jika tidak mendapatkan, tidak ada istilah dirugikan.
Ketika jatah khusus yang diberikan panitia sifatnya bisa dituntut, dalam arti, jika ada panitia yang tidak menerima jatah khusus, dia merasa dirugikan, sehingga berhak untuk meminta, maka jatah khusus ini upah, bukan hadiah.

Dan jika jatah khusus ini sifatnya suka rela, panitia yang tidak menerima, tidak merasa dirugikan, sehingga dia tidak meminta, maka ini hadiah.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Kas Masjid Untuk Operasional Qurban?

Bolehkah Kas Masjid Untuk Operasional Qurban?
Bolehkah menggunakan kas masjid untuk menutupi kekurangan biaya operasional qurban…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Uang yang diinfakkan untuk masjid, statusnya adalah uang wakaf untuk masjid. Sementara takmir sebagai penerima wakaf, merupakan nadzir wakaf (pengelola wakaf).

Mengingat itu ditujukan untuk masjid maka tidak boleh digunakan untuk selain kepentingan masjid. Termasuk dipinjamkan ke orang lain. Karena ini bagian dari sikap tidak amanah.

Ketika jamaah menginfakkan hartanya ke masjid, dia menginginkan agar uang dimanfaatkan untuk masjid. ketika takmir menggunakannya untuk selain tujuan jamaah, berarti takmir telah menyalahi amanah.

Dalam fatwa islam dinyatakan,

‎الأموال التي تُجمع للقيام على المساجد بما تحتاجه هي أموالٌ وقفية لا يحل للقائم عليها أن يقترض منها لنفسه ، ولا أن يُقرض منها أحداً ، فهو مؤتمن على هذا المال لإنفاقه في المصرف الذي حدده المتبرع

Harta yang diserahkan untuk mengurusi kebutuhan masjid adalah harta wakaf. Tidak boleh bagi pengelola untuk meminjam harta itu, baik untuk kepentingan pribadi, maupun diutangkan ke orang lain. Pengelola harta masjid mendapat amanah untuk menjaga harta ini, agar dialokasikan untuk kepentingan yang diinginkan orang yang infaq. (Fatwa Islam, no. 158131)

Karena itulah, dana infaq masjid hanya boleh digunakan untuk kepentingan masjid, baik untuk biaya operasional atau yang mendukung aktivitas masjid. Sementara kegiatan qurban, bukan termasuk aktivitas masjid. Bahkan banyak ulama yang melarang menyembelih qurban di masjid, karena ini mengotori masjid.

Syaikhul Islam mengatakan,

‎لا يجوز أن يذبح في المسجد: لا ضحايا ولا غيرها، كيف والمجزرة المعدة للذبح قد كره الصلاة فيها، إما كراهية تحريم، وإما كراهية تنزيه ؛ فكيف يجعل المسجد مشابها للمجزرة، وفي ذلك من تلويث الدم للمسجد ما يجب تنزيهه

Tidak boleh menyembelih apapun di masjid, baik qurban maupu  yang lainnya. Bagaimana mungkin menyembelih dilakukan di masjid, sementara tempat jagal termasuk tempat yang tidak boleh digunakan untuk shalat. Bisa larangan haram atau larangan makruh. Sehingga bagaimana mungkin masjid dijadikan seperti tempat jagal binatang. Padahal ini bisa mengotori masjid dengan darah, yang seharusnya dibersihkan. (al-Fatawa al-Kubro, 2/85)

Dan dana masjid tidak boleh digunakan untuk selain kegiatan masjid, meskipun manfaatnya untuk kemaslahatan masyarakat. Meskipun tujuannya untuk kebaikan, seperti disalurkan untuk kesejahteraan kaum muslimin yang membutuhkan di sekitar masjid. Termasuk digunakan untuk operasional qurban.

Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daimah,

‎هل يجوز أخذ الوقف ‏(‏إكمال المسجد مثلا‏)‏ وصرفه على المساكين، مع العلم أن هذا الوقف مخصص لبناء المسجد‏؟‏

Bolehkah mengambil uang wakaf masjid dan diberikan kepada fakir miskin. Sementara perlu diketahui bahwa uang wakaf ini khusus untuk pembangunan masjid.

Jawaban Lajnah Daimah:

‎الوقف إذا كان على معين- كالمسجد مثلا- لا يجوز صرفه إلى غيره إلا إذا انقطعت منافع المسجد الموقوف عليه، فصار لا يصلى فيه لعدم السكان حوله، فإنه ينقل إلى مسجد آخر بواسطة المرجع الرسمي المختص في ذلك‏.‏ وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Uang wakaf, jika ditujukan untuk program tertentu, misalnya masjid, tidak boleh digunakan untuk selain masjid. Kecuali jika masjid yang menerima infak ini sudah tidak berfungsi. Tidak ada yang shalat di sana, karena penghuni di sekitarnya tidak ada. Sehingga infak bisa dipindahkan ke masjid yang lain, melalui rekomendasi resmi yang menanngani masalah terkait.

Segala taufiq hanya milik Allah. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa Lajnah no. 15920. Ditanda tangani oleh:
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Solusi Bagi Panitia Qurban yang Kekurangan Dana

Masyarakat kita sudah sangat terbiasa dengan gotong royong. Dan itu potensi yang luar biasa, sangat mendukung kegiatan ibadah sosial seperti berqurban. Karena itulah, kegiatan qurban di masyarakat kita, bukan hanya milik sohibul qurban, tetapi kegiatan itu milik semua masyarakat. Di sana ada pesta rakyat, satu kampung semua muslim turut ambil bagian. Meskipun yang berqurban hanya 10% dari mereka.

Biasanya konsumsi dan operasional menjadi cukup besar. Sebagian informasi yang pernah saya terima, ada kegiatan qurban yang melibatkan panitia 300an orang, dengan biaya operasional mencapai 30jt. Jika hanya  diambilkan dari iuran sohibul qurban, tidak cukup dan terlalu memberatkan mereka.

Jika menggunakan kas masjid tidak diperbolehkan, apa solusinya??

Kembali pada potensi suka gotong royong…

1. Berikan edukasi ke semua panitia bahwa kerja mereka adalah kerja sosial, murni untuk bantu-membantu dalam kebaikan, insyaaAllah berpahala. Karena itu, mohon agar tidak datang untuk mencari upah daging atau yang lainnya. Sebagaimana ketika mereka kerja bakti bersih-bersih kampung atau kerja bakti lainnya.

2. Jika ada sebagian yang menuntut diupah karena kerjanya paling berat, silahkan diupah dengan mengambil dana dari iuran sohibul qurban. Namun tidak boleh mengambil hasil qurban, seperti kulit atau mendapat jatah khusus. Dan biasanya, yang diupah khusus hanya sedikit.

3. Jika dana kurang, bisa dibuka donasi dari warga. Seperti donasi 17an atau donasi utk kerja bakti kampung. Mereka bisa donasi untuk kegiatan duniawi, seharusnya mereka bisa donasi untuk kegiatan berpahala, seperti menangani hewan qurban.

Dengan cara ini, insyaaAllah tidak terlalu memberatkan sohibul qurban, dan tidak mengganggu kas masjid.

Demikian, semoga bermanfaat…

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Membagikan Daging Qurban Dalam Bentuk Masak?

Bolehkah Membagikan Daging Qurban Dalam Bentuk Masak?
Assalamu’alaikum, bertanya ustad… kalau berqurban apa boleh dagingnya dibagikan matang/sudah dimasak?

Dari : Ali Ahmad

Jawaban :

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah. Wassholatu was salam ‘ala Rasulillah wa ba’d.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada pemilik qurban (shohibul qurban), untuk mengkonsumsi sebagian daging qurbannya, kemudian menyedekahkan sisanya.

Dalam surat Al-Haj Allah berfirman,

‎فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebagian hasil qurban itu dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan dan fakir. (QS. Al-Haj : 28).

Imam Qurtubi menjelaskan makna ayat ini dalam tafsirnya :

‎هذا أمر معناه الندب عند الجمهور، ويستحب للرجل أن يأكل من هديه وأضحيته، وأن يتصدق بالأكثر مع تجويزهم الصدقة بالكل، وأكل الكل

Perintah ini bermakna anjuran, menurut pendapat mayoritas ulama (Jumhur). Dianjurkan bagi seorang, untuk memakan bagian dari sembelihan hadyu atau qurbannya. Kemudian menyedekahkan mayoritas dagingnya. Atau boleh juga menyedekahkan seluruhnya atau memakan seluruhnya. (Lihat Tafsir Al-Qurtubi untuk ayat di atas).

Tidak ada bedanya disini antara membagikan daging dalam bentuk mentah atau matang. Semua itu boleh dilakukan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

‎وَأَطْعِمُوا

dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan dan fakir. (QS. Al-Haj : 28).

Dan memberikan daging qurban di sini mencakup pemberian mentah maupun setelah dimasak.

Wallahua’lam bis shawab.

📚 Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah no.12388

👤 Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Jatah Maksimal Sohibul Qurban

Jatah Maksimal Sohibul Qurban
Kalo shohibul minta jatah  selain dr 1/3 qurbannya bagaimana? Misal minta kepala/hati? Jazakallah..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah perintahkan dalam al-Quran untuk memakan sebagian dari hasil qurban, dan memberikan sebagian kepada orang yang membutuhkan maupun orang yang berkemampuan.

Allah berfirman,

‎فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

Apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan berikanlah kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta… (QS. al-Hajj: 36)

Diberikan kepada orang yang tidak meminta-minta, yaitu mereka yang mampu. Statusnya sebagai hadiah.

Dan diberikan kepada orang yang meminta, yaitu mereka yang tidak mampu, statusnya sebagai sedekah.

Dalam ayat ini, Allah ta’ala tidak menjelaskan nilai pembagiannya.

Karena itu, ulama berbeda pendapat, apakah boleh semua hasil qurban dimanfaatkan oleh sohibul qurban, tanpa ada yang disedekahkan?

Perbedaan pendapat ini disebutkan an-Nawawi dalam al-Majmu’,

‎وهل يشترط التصدق منها بشيء أم يجوز أكلها جميعا، فيه وجهان مشهوران ذكرهما المصنف بدليلهما

Apakah disyaratkan harus mensedekahkan sebagian dari hasil qurban, ataukah boleh dimakan sendiri semuanya? Ada 2 pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafiiyah. Telah disebutkan oleh penulis (penulis al-Muhadzab) masing-masing pendapat, berikut dalilnya,

‎أحدهما: يجوز أكل الجميع، قاله ابن سريج وابن القاص والإصطخري وابن الوكيل، وحكاه ابن القاص عن نص الشافعي، قالوا: وإذا أكل الجميع ففائدة الأضحية حصول الثواب بإراقة الدم بنية القربة

Pertama, sohibul qurban boleh makan semuanya. Ini pendapat Ibnu Suraij, Ibnul Qash, al-Ishthakhiri, dan Ibnul Wakil. Ibnul Qash menyebutkan ada riwayat dari Imam as-Syafii. Mereka mengatakan, “Apabila sohibul qurban makan semuanya, maka manfaat berqurban adalah mendapatkan pahala dengan ibadah menyembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.”

‎والقول الثاني وهو قول جمهور أصحابنا المتقدمين وهو الأصح عند جماهير  المصنفين، ومنهم المصنف في التنبيه يجب التصدق بشيء يطلق عليه الاسم، لأن المقصود إرفاق المساكين، فعلى هذا إن أكل الجميع لزمه الضمان

Kedua, ini pendapat jumhur ulama madzhab kami di masa silam, dan ini pendapat yang kuat menurut mayoritas penulis kitab fiqh madzhab, termasuk diantaranya adalah penulis kitab al-Muhadzab seperti yang disebutkan dalam kitab at-Tanbih, bahwa wajib untuk bersedekah dengan bagian dari hasil qurban dengan nilai yang layak untuk bisa disebut sedekah. Karena tujuan qurban adalah menyantuni orang miskin. Karena itu, jika sohibul qurban makan keseluruhan, wajib ganti rugi. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/416).

Yang dimaksud memberi ganti rugi adalah memberi ganti rugi sedekah senilai daging yang seharusnya dia ambilkan dari hasil qurban, untuk diberikan kepada fakir miskin. Mengingat dia memakan dan menghabiskan semua hasil qurbannya. Artinya qurbannya sah dan tidak perlu diulangi.

Di tempat lain, an-Nawawi lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa harus ada yang disedekahkan dengan nilai yang layak untuk bisa disebut sedekah. dan dianjurkan lebih banyak yang disedekahkan.

‎فأما الصدقة منها إذا كانت أضحية تطوع، فواجبة على الصحيح عند أصحابنا بما يقع عليه الاسم منها، ويستحب أن تكون بمعظمها

Untuk masalah mensedekahkan hasil qurban, jika itu qurban anjuran, pendapat yang kuat menurut ulama madzhab kami hukumnya wajib. Disedekahkan dengan ukuran yang layak untuk disebut sedekah. Dan dianjurkan yang disedekahkan lebih banyak. (Syarh Shahih Muslim, 13/131).

Dan kita bisa mengukur, berapa nilai pemberian hasil qurban yang layak, sehingga bisa disebut sedekah? Dengan hanya memberikan daging 1 kg kepada orang yang membutuhkan, sudah bisa disebut sedekah.

Keterangan yang lain juga disampaikan al-Buhuti – ulama madzhab hambali – bahwa sedekah dari hasil qurban itu harus, meskipun hanya sedikit, selama layak disebut sedekah.

‎فإن أكل أكثر الأضحية أو أهدى أكثرها أو أكلها كلها إلا أوقية تصدق بها جاز، … لأنه يجب الصدقة ببعضها نيئا على فقير مسلم لعموم “وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ”

Jika sohibul qurban makan sebagian besar hasil qurban, atau sebagian besar dia hadiahkan, atau dia makan semua hasil qurban, kecuali satu uqiyah yang dia sedekahkan, hukumnya boleh… karena wajib mensedekahkan sebagian hasil qurban dalam bentuk mentahan kepada orang miskin yang muslim. Berdasarkan teks dari perintah Allah, “Berikanlah kepada orang yang tidak meminta dan kepada orang yang meminta-minta.” (Kasyaf al-Qana’, 3/23).

Al-Buhuti juga menegaskan, jika sohibul qurban memakan semua hasil qurban, tanpa ada yang disedekahkan maka dia wajib mengganti dengan sedekah senilai yang layak disebut sedekah, misalnya satu uqiyah. (Kasyaf al-Qana’, 3/23)

Ulama sepakat, 1 uqiyah senilai 40 dirham. Menurut jumhur itu beratnya senilai kurang lebih 201 gr. Sementara menurut Hanafiyah, itu beratnya senilai 200,8 gr. Selisih 0,2 gr yang sebenarnya tidak signifikan.

Kita tidak hendak menyimpulkan mengenai hukum sohibul qurban makan semua hasil qurbannya. Tapi dari penjelasan mereka kita bisa menyimpulkan bahwa jatah untuk sohibul qurban, tidak ada angka tertentu. Artinya, tidak harus 1/3 dan ini juga bukan angka maksimal. Sohibul qurban bisa mendapat lebih dari itu, atau kurang dari itu. Jika sohibul qurban minta lebih dari 1/3, panitia tidak berhak untuk menolaknya, karena memang itu haknya. Meskipun semakin banyak yang disedekahkan, semakin baik.

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, December 30, 2018

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-An'am (65-70)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-An'am (65-70)
Surah Al-An'am, 65:

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Katakanlah (Muhammad): "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)".

Surah Al-An'am, 66:

وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُل لَّسْتُ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ

Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah (Muhammad): "Aku ini bukanlah penanggung jawab kamu".

Surah Al-An'am, 67:

لِّكُلِّ نَبَإٍ مُّسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ

Untuk setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.

Surah Al-An'am, 68:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu (Muhammad)  melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).

Surah Al-An'am, 69:

وَمَا عَلَى الَّذِينَ يَتَّقُونَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَيْءٍ وَلَٰكِن ذِكْرَىٰ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka; akan tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa.

Surah Al-An'am, 70:

وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَذَكِّرْ  بِهِ أَن تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ وَإِن تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَّا يُؤْخَذْ مِنْهَا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا لَهُمْ شَرَابٌ مِّنْ حَمِيمٍ وَعَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ

Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain daripada Allah. Dan jika ia hendak  menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Membagi Daging Qurban Untuk Non Muslim?

Membagi Daging Qurban Untuk Non Muslim?
Ustadz tanya, untuk daging qurban apakah boleh dibagikan kpd non muslim yang tidak mampu? Jazakallohu khoiron

Dari: Ummu Farih Azam

Jawaban:

Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillah. Wassholatu was salam ‘ala Rasulillah wa ba’d.

Hukumnya boleh, asalkan orang kafir tersebut bukan kafir harbi (kafir yang perang dengan kaum muslimin). Ada beberapa alasan yang menguatkan pernyataan ini :

✅ Pertama, Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

‎لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah : 8).

Diantara bentuk berbuat baik kepada mereka adalah, dengan membagikan kepada mereka daging qurban. Ini alasan yang pertama.

✅ Kedua, kisah Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu’anha, ketika berkonsultasi kepada Rasulullah perihal kedatangan Ibundanya yang masih musyrik, meminta pesangon kepada Asma’ sebagai bakti putrinya kepadanya. Nabi mengatakan

‎نَعم، صلِي أمَّك

Iya.. Sambunglah silaturahimmu dengan Ibumu.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Saat itu, masa perdamaian dengan kaum musyrikin. Ini artinya, hukumnya boleh membagikan harta kepada non muslim, yang tidak memerangi kaum muslimin.

✅ Ketiga, tindakan seperti ini, bisa menjadi sebab lunaknya hati mereka, sehingga mau memerima menerima Islam.

✅ Keempat, sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu pernah menyembelih kambing sebagai qurban untuk keluarganya. Kemudian beliau bertanya kepada mereka,

Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu? Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu?

Beliau melanjutkan,

Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‎مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه

Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka dia akan mewarisinya.” (HR. TIrmizi, no.1943. Dinilai shohih oleh Al-Albani. Diriwayatkan dari Mujahid).

Riwayat ini juga menjadi dalil, anjuran memprioritaskan pemberian kepada non muslim yang masih ada hubungan kerabat atau tetangga dengan kita. Karena mereka memiliki hak kekerabatan dan hak tetangga.

Syaikh Abdulaziz bin Baz –rahimahullah – ketika ditanya apakah boleh memberikan daging qurban kepada non muslim?

Beliau memjawab :

‎لا حرج؛ لقوله جل وعلا: لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ، فالكافر الذي ليس بيننا وبينه حرب كالمستأمن أو المعاهد يعطى من الأضحيَّة ومن الصدقة.

Tidak mengapa, karena Allah jalla wa ‘ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”

Maka orang kafir yang tidak ada hubungan perang antara kita dengan mereka, seperti Musta’min (yang meminta jaminan keamanan) atau Mu’ahad (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), boleh diberi daging qurban dan juga boleh diberi sedekah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 18/47)

Jadi hukumnya boleh membagikan daging qurban kepada non muslim. Namun tetap yang lebih afdhol, memprioritaskan kaum muslimin. Karena hubungan iman menjadikan mereka lebih berhak untuk diutamakan. Dan memberi daging qurban kepada mereka, membantu mereka dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahua’lam bis showab.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori (Pengajar PP. Hamalatulquran Bantul, Mahasiswa Universitas Islam Madinah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hukum Berhutang untuk Qurban

Hukum Berhutang untuk Qurban
Ada orang yg ingin berqurban tahun ini, tp dia tdk punya dana yg cukup. Urunan sapi, minimal 2,5 jt. Kambing bisa di atas itu. Bolehkah dia utang utk bs ikut qurban?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sasaran perintah berqurban adalah orang yang mampu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang memiliki kelapangan rezeki, namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad 8273, Ibnu Majah 3123, dan sanad hadits  dihasankan al-Hafizh Abu Thohir).

Bagaimana jika berutang karena tidak mampu?

Sebagian ulama secara tegas menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang.

Imam Sufyan ats-Tsauri menceritakan, bahwa Abu Hatim berutang untuk membeli seekor onta. Ketika ditanya, mengapa sampai utang? Jawab beliau, ”Saya mendengar firman Allah,

‎لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

Kalian akan mendapatkan kebaikan dari sembelihanmu itu.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/426).

Artinya, beliau meyakini, Allah akan memberi ganti dari upaya beliau dengan berutang untuk qurban.

Saran ini berlaku jika dia memiliki penghasilan dan memungkinkan untuk melunasi utangnya. Tapi jika dia tidak berpenghasilan, atau sudah punya banyak utang, sebaiknya tidak menambah beban utangnya. Meskipun untuk ibadah.

Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).

Dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga ditanya tentang hukum utang untuk qurban. Beliau mengatakan,

‎إذا كان الرجل ليس عنده قيمة الأضحية في وقت العيد لكنه يأمل أن سيحصل على قيمتها عن قُرب، كرجل موظف ليس بيده شيء في وقت العيد، لكن يعلم إذا تسَلَّم راتبه سهل عليه تسليم القيمة فإنه في هذه الحال لا حرج عليه أن يستدين، وأما من لا يأمل الحصول على قيمتها من قرب فلا ينبغي أن يستدين للأضحية

Ketika seseorang tidak memiliki dana untuk qurban di hari ‘id, namun dia berharap akan mendapatkan uang dalam waktu dekat, seperti pegawai, ketika di hari ‘id dia tidak memiliki apapun. Namun dia yakin, setelah terima gaji, dia bisa segera serahkan uang qurban, maka dalam kondisi ini, dia boleh berutang. Sementara orang yang tidak memiliki harapan untuk bisa mendapat uang pelunasan qurban dalam waktu dekat, tidak selayaknya dia berutang.

Beliau menyebutkan alasannya,

‎أما إذا كان لا يأمل الوفاء عن قريب فإننا لا نستحب له أن يستقرض ليضحي؛ لأن هذا يستلزم إشغال ذمته بالدين ومنّ الناس عليه، ولا يدري هل يستطيع الوفاء أو لا يستطيع

Jika tidak ada harapan untuk melunasinya dalam waktu dekat, kami tidak menganjurkannya untuk berutang agar bisa berqurban. Karena semacam ini berarti dia membebani dirinya dengan utang, untuk diberikan kepada orang lain. Sementara dia tidak tahu, apakah dia mampu melunasinya ataukah tidak. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25/110)

Kecuali jika di suatu masyarakat, kegiatan qurban ini tidak digalakkan. Karena mungkin rata-rata mereka tidak mampu, atau mereka terlalu pelit sehingga keberatan untuk berqurban, maka dia dianjurkan untuk utang, apapun keadaannya, dalam rangka menghidupkan sunah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk berqurban.

Ini sebagaimana yang disarankan Imam Ahmad, bagi orang yang tidak memiliki biaya aqiqah, agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran. Imam Ahmad mengatakan,

‎إذا لم يكن عنده ما يعق فاستقرض رجوت الله أن يخلف عليه إحياء للسنة

Jika dia tidak memiliki biaya untuk aqiqah, hendaknya dia berutang. Saya berharap agar Allah menggantinya karena telah menghidupkan sunah.” (al-Mughni, 11/120).

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Menerima Qurban dari Non Muslim

Menerima Qurban dari Non Muslim
Dua hari yg lalu saya datang ke lapak pedagang kambing di kawasan Jakarta Barat. Saat melihat lihat kambingnya si pedagang berkata sambil menunjuk ke arah sekelompok kambing yg dipisahkan dari yg lain: “… itu ada 22 ekor yg sudah dipesan oleh gereja… mereka akan membagikannya ke berbagai musholla nanti…”

Nah lho … bagaimana ini? Bagaimana hukumnya musholla yg menerima kambing tersebut? Jelas itu bukan hewan qurban; tetapi kalau nanti diumumkan “nama” pemilik kambingnya apakah itu tidak berarti membantu syiar agama nasrani? Juga bagaimana ucapan si jagal nanti pada saat menyembelihnya (kalau dia diberitahu panitia bahwa itu kambing gereja)? Apakah seharusnya musholla yg bersangkutan menolak pemberian tersebut?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah menegaskan dalam al-Quran, amalan apapun yang dilakukan orang kafir tidak akan diterima, sampai mereka bertaubat dan masuk islam.

Allah berfirman,

‎وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ

“Tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka infak mereka melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya..” (QS. at-Taubah: 54)

Infak adalah amal yang murni sosial. Meskipun demikian, ketika yang melakukannya orang kafir, tidak diterima oleh Allah Ta’ala.  Mengapa Allah tidak menerimanya?

Bagi kita selaku hamba yang beriman kepada al-Quran, kita meyakini bahwa Allah tidak menerima amal orang kafir, karena Allah sendiri yang menyebutkannya dalam al-Quran. Yang menerima amal adalah Allah, yang menolak amal juga Allah. Ketika Allah menegaskan bahwa Dia tidak menerima amal orang kafir, kita wajib menerima ketentuan ini.

Karena itu, qurban dari orang kafir tidak sah dan tidak diterima. Untuk itu, qurban mereka tidak boleh digabungkan dengan qurban kaum muslimin. Misalnya, ikut urunan qurban sapi.

Panitia Menerima Hewan Qurban dari Kafir

Kita sebut hewan qurban karena hewan ini diserahkan pada waktu idul qurban. Meskipun hakekatnya tidak bisa disebut qurban, karena amal mereka tidak diterima oleh Allah. Yang menjadi pertanyaan, apa statusnya orang kafir yang menyerahkan hewan qurbannya kepada seorang muslim?

Jawabannya, statusnya hadiah. Hadiah dari orang kafir kepada kaum muslimin.

Sehingga kajian mengenai hukum menerima hewan qurban dari orang kafir, kembali kepada hukum menerima hadiah dari orang kafir.

Kita akan simak beberapa riwayat berikut untuk menyimpulkan bagaimana hukum menerima hadiah dari orang kafir,

✅ Hadis dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik, beliau bercerita,

‎جَاءَ مُلاعِبُ الْأَسِنَّةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ ، فَعَرَضَ عَلَيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلامَ ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ

Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Rasulullah dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Rasulullah lantas bersabda, “Sungguh aku tidak menerima hadiah yang orang musyrik.” (HR. al-Baghawi, 3/151).

✅ Hadis dari Irak bin Malik, bahwa Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

‎أَن مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم- أَحَبَّ رَجُلٍ فِى النَّاسِ إِلَىَّ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا تَنَبَّأَ وَخَرَجَ إِلَى الْمَدِينَةِ شَهِدَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ الْمَوْسِمَ وَهُوَ كَافِرٌ فَوَجَدَ حُلَّةً لِذِى يَزَنَ تُبَاعُ فَاشْتَرَاهَا بِخَمْسِينَ دِينَاراً لِيُهْدِيَهَا لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Sungguh Muhammad adalah manusia yang paling aku cintai di masa jahiliyyah”. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi yang pergi ke Madinah, Hakim bin Hizam berjumpa dengan musim haji dalam kondisi masih kafir. Saat itu Hakim mendapatkan satu stel pakaian yang dijual. Hakim lantas membelinya dengan harga 50 dinar untuk dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‎فَقَدِمَ بِهَا عَلَيْهِ الْمَدِينَةَ فَأَرَادَهُ عَلَى قَبْضِهَا هَدِيَّةً فَأَبَى. قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ « إِنَّا لاَ نَقْبَلُ شَيْئاً مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَلَكِنْ إِنْ شِئْتَ أَخَذْنَاهَا بِالثَّمَنِ ». فَأَعْطَيْتُهُ حِينَ أَبِى عَلَىَّ الْهَدِيَّةَ.

Akhirnya Hakim tiba di Madinah dengan membawa satu stel pakaian tersebut. Hakim menyerahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hadiah namun beliau menolaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sungguh kami tidak menerima sedikit pun dari orang kafir. Akan tetapi jika engkau mau pakaian tersebut akan kubeli”. Karena beliau menolak untuk menerimanya sebagai hadiah aku pun lantas memberikannya sebagai objek jual beli. (HR Ahmad 15323 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

✅ Hadis dari Iyadh bin Himar, dia menceritakan

Aku bermaksud memberi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor onta betina sebagai hadiah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

‎” أَسْلَمْتَ؟”. فَقُلْتُ لاَ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- “إِنِّى نُهِيتُ عَنْ زَبْدِ الْمُشْرِكِينَ “

“Apakah kamu sudah masuk Islam?”.

Belum”, jawabku.

Nabi bersabda, “Sungguh aku dilarang menerima hadiah dari orang musyrik” (HR. Abu Daud 3059, Tirmidzi 1672 dan dishahihkan al-Albani).

Ketiga hadis di atas secara tegas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak hadiah dari non muslim. Namun terdapat hadis lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari orang kafir.

Hadis dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

‎غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ ، وَكَسَاهُ بُرْدًا ، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 1481).

Ada sejumlah pendapat dalam memahami dua jenis hadis ini.

Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari non muslim adalah dalam rangka mengambil simpati hatinya agar tidak lari dari Islam (al-Munakhkhalah an-Nuniyyah, Murod Syukri, hlm. 202-203).

Karena itu, terlarang menerima hadiah dari non muslim jika tujuannya;

♻ Sekedar menjalin keakraban tanpa ada unsur dakwah.

♻ Ada latar belakang balas budi terkait masalah agama. Ketika mereka memberikan hadiah kepada kaum muslimin pada waktu hari raya islam, mereka berharap agar pada saat hari raya mereka, kaum muslimin juga turut mendukung kegiatan keagamaan mereka.

Termasuk mereka memberi hadiah bersyarat, untuk bisa menyeret kaum muslimin secara bertahap agar berpindah agama.

Jika unsur ini ada maka terlarang menerima hadiah dari non muslim. Sebaliknya, jika unsur ini tidak ada, bahkan menerima hadiah dari mereka bisa membuat mereka semakin tertarik dengan islam, tidak masalah menerimanya.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ada pertanyaan mengenai hukum menerima hadiah hewan hidup dari orang non muslim untuk disembelih saat idul adha. Jawaban fatwa menyatakan,

‎فلا مانع من قبول الهدية من الكفار بأنواعهم سواء كانت الهدية شاة أضحية أو غيرها مما أباح الله الانتفاع به بشرط ألا يكون ذلك على حساب دين المسلم، وقد كان النبي- صلى الله عليه وسلم- وصحابته الكرام يقبلون الهدية من الكفار وربما أهدوا للكفار أيضا

Tidak masalah menerima hadiah dari orang kafir dalam bentuk apapun, baik berupa kambing qurban atau yang lainnya, yang Allah bolehkan untuk dimanfaatkan. Dengan syarat, jangan sampai ada latar belakang balas budi agama. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, mereka menerima hadiah dari orang kafir, dan terkadang mereka juga memberikan hadiah kepada orang kafir. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 116210)

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Apakah Berdosa, Bila Mampu Qurban Tapi Tidak Berqurban?

Apakah Berdosa, Bila Mampu Qurban Tapi Tidak Berqurban?
Assalamualaikum...

Bertanya Ustadz, orang yang mampu qurban tetapi tidak mau qurban, apa hukumnya?…

Dari : Atiek Hartono.

Jawaban :

Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillah. Wassholatu was salam ‘ala Rasulillah wa ba’d.

Hukum berqurban adalah sunah muakkadah menurut pendapat yang kuat (rajih). Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama (jumhur). Sehingga orang yang meninggalkannya tidak berdosa. Hanya saja, para ulama mewanti-wanti kepada mereka yang mampu kemudian tidak berqurban, bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang sangat makruh.

Sebagian ulama berpandangan wajib untuk yang berkemampuan. Mereka berdalil dengan hadis,

‎مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, makan jangan sekali-kali mendekat ke tempat sholat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi.

Namun pendapat kedua ini dipandang lemah karena :

1. Hadis di atas dinilai lemah (dha’if) oleh para ulama hadis. Karena diantara perawinya terdapat Abdullah bin ‘Ayyas, yang dinilai sebagai perawi yang lemah.

Sebagaimana keterangan dari Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah, “Sanad hadis ini lemah. Abdullah bin ‘Ayyas (salah seorang rawinya) dinilai lemah. Dia juga mengalami kekacauan dalam periwayatan hadis ini. Keterangan selanjutnya akan dipaparkan di pembahasan takhrij.” Kemudian beliau melanjutkan, “Syaikh Albani menilai hadis ini hasan dalam Takhrij Musykilah al Faqr. Namun beliau keliru dalam penilaian tersebut.” (Ta’liq Musnad Imam Ahmad 2/321).

2. Terdapat riwayat shahih, bahwa Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat lainnya tidak berqurban. Karena mereka khawatir kalau berqurban dianggap suatu yang wajib.

Imam Thahawi menyatakan,

‎وروى الشعبي عن أبي سريحة قال رأيت أبا بكر وعمر ـ رضي الله عنهما ـ وما يضحيان كراهة أن يقتدى بهما.

Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Suraihah, beliau berkata, “Saya melihat Abu Bakr dan Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- tidak berqurban. Karena tidak ingin orang mengikutinya (pent. menganggapnya wajib).” (Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama 3/221).

Abu Mas’ud al Anshori pernah mengatakan

‎إني لأدع الأضحى وأنا موسر مخافة أن يرى جيراني أنه حتم علي.

Sungguh saya pernah tidak berqurban padahal kondisi saya mampu. Karena saya khawatir tetanggaku akan berpandangan bahwa berqurban itu kewajiban. (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Ibnu Umar menegaskan,

‎ليست بحتم ـ ولكن سنة ومعروف

Berqurban bukan sebuah kewajiban. Namun hanya sunah yang ma’ruf. (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Oleh karenanya yang lebih tepat, hukum berqurban adalah sunah mu-akkadah. Sementara makna sunah dari sudut pandang fikih adalah, perbuatan yang bila dikerjakan berpahala, bila ditinggalkan tidak berdosa. Sehingga meninggalkannya tidak berdosa meskipun kondisinya mampu. Hanya saja hukumnya sangat makruh.

Wallahua’lam bis showab.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori (Pengajar PP. Hamalatulquran Bantul, Mahasiswa Universitas Islam Madinah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Qurban dari Orang yang Meninggalkan Shalat, Apakah Batal?

Qurban dari Orang yang Meninggalkan Shalat, Apakah Batal?
Ada seseorang yg (maaf) tidak melaksanakan sholat wajib 5 waktu, tapi dia ikut berqurban. bagaimana tinjauan syariat atas hal ini?

Dari: Tri Biyantoko via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Para ulama menegaskan, tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik, dari pada meninggalkan shalat.

Kita simak dialog dengan penduduk neraka ketika ditanya, sebab mereka masuk neraka.

‎مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa yang menyebabkan kalian masuk ke Saqar (neraka). Mereka menjawab, “dulu kami tidak shalat” ( ) dan kami tidak mau memberi makanan kepada orang miskin… (QS. Al-Muddatsir: 42 – 44)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut meninggalkan shalat sebagai perbuatan kekufuran.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‎إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim 82).

Dalam hadis lain, dari sahabat Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. (HR. Ahmad 22937, Tirmidzi 2621; dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Masih banyak dalil lain yang menunjukkan betapa bahayanya orang yang meninggalkan shalat. Hingga para ulama menyebut dosa ini sebagai dosa terbesar setelah syirik. Kita sebutkan diantaranya,

Keterangan Ibnu Hazm,

‎لا ذنب بعد الشرك أعظم من ترك الصلاة حتى يخرج وقتها، وقتل مؤمن بغير حق

Tidak ada dosa – setelah syirik – yang lebih besar dari pada meninggalkan shalat hingga habis waktunya, dan membunuh orang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan.

Keterangan Ibrahim an-Nakhai. Beliau mengatakan,

‎من ترك الصلاة فقد كفر

Orang yang meninggalkan shalat, berarti telah kafir.

Keterangan Imam Ishaq bin Rahuyah,

‎صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم أن تارك الصلاة عمداً من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, dia kafir. Demikian yang dipahami para ulama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengna sengaja, tanpa udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir. (Ta’dzim Qadri as-Shalah, 2/929)

Berangkat dari berbagai dalil dan keterangan di atas, para ulama menilai bahwa amal ibadah apapun yang dikerjakan seseorang, sementara dia meninggalkan shalat, maka tidak dinilai dalam islam. Dengan kata lain, meninggalkan shalat merupakan salah satu penyebab amal ibadah seseorang tidak diterima oleh Allah.

Dr. Soleh al-fauzan mengatakan,

‎أما الصيام مع ترك الصلاة فإنه لا يجدي ولا ينفع ولا يصح مع ترك الصلاة ، ولو عمل الإنسان مهما عمل من الأعمال الأخرى من الطاعات فإنه لا يجديه ذلك مادام أنه لا يصلي ؛ لأن الذي لا يصلي كافر ، والكافر لا يقبل منه عمل

Puasa namun meninggalkan shalat, tidak ada nilainya, tidak manfaat, dan puasanya tidak sah, selama dia meninggalkan shalat. Jika seseorang beramal, amal ketaatan apapun, statusnya tidak ada nilainya, selama dia tidak shalat. Karena orang yang tidak shalat, kafir. Sementara orang kafir, amalnya tidak diterima. (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, 39/16)

Keterangan lain, disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,

‎الذي يصوم ولا يصلى لا يقبل منه صوم ، لأنه كافر مرتد ، ولا تقبل منه زكاة ولا صدقة ولا أي عمل صالح

Orang yang puasa, sementara tidak shalat, puasanya tidak diterima, karena dia kafir, murtad. Tidak diterima zakatnya, sedekahnya, maupun amal soleh lainnya.

Selanjutnya, Imam Ibnu Utsaimin membawakan firman Allah,

‎وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

Tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. (QS. At-Taubah: 54).

Dalam ayat itu dinyatakan, salah satu penyebab amal dia tidak diterima adalah karena meninggalkan shalat. Allah sebut, “mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas”. Artinya, shalatnya bolong-bolong.

(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Ibnu Utsaimin, 124/32).

Sebagai nasehat bagi mereka yang masih enggan shalat…

Kami tidak tahu, dengan cara apalagi kami harus mengingatkan anda untuk shalat. Sementara ayat dan hadis tentang bahaya meninggalkan shalat, tidak lagi bisa menembus relung hati anda. Yang dinilai bukan status agama di KTP anda, tapi apa yang anda kerjakan.

Kami hanya bisa mengatakan kepada anda, segera bertaubat. Kecuali jika ingin merelakan semua amal anda tidak diterima dan tidak ada nilainya.

Termasuk ketika anda hendak berqurban. Segera bertaubat, agar qurban anda tidak sia-sia.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Qurban ke Suriah dan Palestina, Apakah Tidak Sah?

Qurban ke Suriah dan Palestina, Apakah Tidak Sah?
Bagaimana hukumnya orang yang berqurban lewat lembaga kemanusiaan yang tujuannya buat qurban disuriah/Palestina dimana kita hanya mentrasfer uang kemudian uang tersebut dibelikan hewan qurban oleh lembaga kemanusiaan tersebut?

Dari Agus Kurniawan via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Para ulama sepakat bahwa yang lebih sesuai sunah, penyembelihan hewan qurban dilakukan di tempat dimana sohibul qurban berada. Sehingga dia bisa melakukan banyak sunah, seperti menyembelih sendiri, memakan sebagian dagingnya, dan membagikannya kepada sebagian orang miskin di sekitarnya.

Dr. Wahbah Zuhaili mengatakan,

‎يستحب لمريد التضحية: أن يذبح بنفسه، إن قدر عليه، لأنه قربة، فمباشرتها بنفسه أفضل من توليتها غيره، كسائر القربات. بدليل أن النبي صلّى الله عليه وسلم ساق مئة بدنة هدية للحرم، فنحر منها نيفا وستين بيده الشريفة، ثم أعطى المُدية سيدنا علياً رضي الله عنه ، فنحر الباقي

Dianjurkan bagi orang yang hendak berqurban untuk menyembelih sendiri jika dia mampu, karena ini termasuk ibadah. Menangani sendiri lebih afdhal dari pada dia wakilkan kepada orang lain, sebagaimana amal ibadah lainnya. Dengan dalil, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mempersembahkan hadiah untuk tanah haram dengan 100 onta, beliau sembelih sendiri dengan tangannya yang mulia sebanyak 60 lebih onta. Kemudian pisau diserahkan ke sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu, dan beliau menyembelih sisanyna.

Selanjutnya, az-Zuhaili mengatakan,

‎فإن لم يكن المضحي يحسن الذبح أناب عنه غيره مسلماً… ويستحب أن يحضر المضحي الذبح، لقول النبي صلّى الله عليه وسلم لفاطمة: قومي إلى أضحيتك، فاشهديها…

Jika tidak bisa menyembelih sendiri, bisa dia wakilkan kepada seorang muslim yang bisa menyembelih…. Dan dianjurkan untuk melihat proses penyembelihan. Berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha, ‘Hai Fatimah, datangi hewan qurbanmu dan saksikan penyembelihannya.’ (al-Fiqh al-Islami, 4/273 – 274)

Qurban di Luar Daerah

Pertimbangan terbesar masalah qurban di luar daerah adalah masalah pemerataan daging hewan qurban. Kita menilai ada semangat positif yang diberikan kaum muslimin. Kesadaran untuk berbagi dan memasyarakat, sangat nampak dari semangatnya.

Sebenarnya ada 2 cara yang bisa dilakukan untuk masalah pemerataan hasil qurban,

✅ Hewan qurban disembelih di tempat sohibul qurban, selanjutnya baru dibagikan ke berbagai daerah yang membutuhkan. Seperti proyek qurban kaleng.

Dengan cara ini, sunah menyembelih bisa dilaksanakan, dan penyebaran hasil qurban bisa diwujudkan. Ini kelebihannya, hanya saja, cara ini tidak praktis dan membutuhkan biaya besar.

✅ Mentransfer sejumlah uang kepada panitia, kemudian dibelikan hewan qurban di lokasi. Selanjutnya, ketika idul adha disembelih dan dibagikan ke masyarakat setempat.
Cara ini sangat praktis, tapi ada banyak sunah yang hilang.

Karena itulah, terkait hukum qurban di luar daerah, ulama berbeda pendapat. Berikut rincian yang disebutkan Dr. az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami (4/282),

1. Hanafiyah:

makruh memindahkan qurban ke luar daerah, sebagaimana zakat. Kecuali jika dikirim ke kerabatnya, atau ke derah yang lebih membutuhkan dari pada warga kampungnya. Jika dikirim ke selain mereka, qurban sah, namun makruh.

2. Malikiyah:

tidak boleh memindahkan hewan qurban sejauh perjalanan safar atau lebih. Kecuali jika penduduk daerah tersebut jauh lebih membutuhkan dari pada penduduk tempat sohibul qurban berada. Maka disyariatkan untuk mengirim sebagian besar hewan qurban ke mereka, dan disisakan lebih sedikit ke penduduk domisili sohibul qurban.

3. Syafi'iyah dan Hambali:

boleh dipindahkan jika kurang dari jarak safar, dan terlarang untuk dipindahkan ke daerah lain sejauh jarak yang membolehkan qashar (jarak safar), namun qurban sah.

Memahami perbedaan di atas, sebagian ulama muashirin (kontemporer) memboleh mengirim qurban ke daerah yang lebih membutuhkan, karena pertimbangan maslahat yang lebih besar. Seperti daerah konflik, yang di sana banyak kaum muslimin yang menjadi korban peperangan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Dr. Abdullah bin Jibrin.

Beliau ditanya tentang hukum mengirim hewan qurban ke luar negeri, jawaban yang beliau sampaikan,

‎إن كان البلد غنيًا ولا يوجد فيه فقراء ، وإذا أعطيت بعضهم خزنه أيامًا ولديهم اللحوم متوفرة طوال السنة ، جاز إرسالها لمن يحتاجها من البلاد الفقيرة الذين يعوزهم اللحم ، ولا يوجد عندهم إلا نادرًا، ولابد من تحقق ذبحه في أيام الذبح، وتحقق ذبح السن المجزئة السالمة من العيوب ، وتحقق أمانة من يتولى ذلك ، والله أعلم

Jika negara asal sudah cukup kaya dan tidak ada orang miskin, bahkan ketika qurban ini dibagikan di negara kaya tersebut, dagingnya akan disimpan berhari-hari, dan mereka memiliki banyak daging sepanjang tahun, maka boleh mengirim hewan qurban ke negara miskin yang lebih membutuhkan, yang kekurangan daging, atau mereka jarang mendapatkan daging. Dan harus diperhatikan kepastian hewan ini disembelih tepat pada hari qurban, dipastikan usia hewan qurban, yang terbebas dari cacat, serta dipastikan orang yang menanganinya adalah orang yang amanah. Allahu a’lam. (Fatwa Islam, no. 175475)

InsyaaAlah ini yang lebih mendekati. Karena berqurban adalah ibadah maliyah, ibadah yang inti pelaksanaannya berupa harta. Sementara dalam ibadah maliyah, tidak disyaratkan harus ditangani sendiri oleh pemiliknya.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Orang Kafir ikut Urunan Qurban Sapi

Orang Kafir ikut Urunan Qurban Sapi
Bentar lagi idul adha tadz, mau tanya nih.. bolehkah orang kafir ikut iuran qurban sapi? sukron

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dijelaskan oleh al-Kasani – ulama madzhab Hanafiyah – bahwa dalam 1 sembelihan yang diadakan dari hasil urunan, semua peserta memiliki niat yang sama yaitu ibadah. Meskipun tujuan mereka berbeda-beda.

Misalnya, ada 7 orang urunan sapi, dari ketujuh itu ada yang niatnya
  1. Untuk qurban
  2. Untuk aqiqah
  3. Untuk kafarah dam, karena melewati miqat bagi orang yang haji
  4. Untuk hadyu, yaitu sembelihan karena melakukan haji tamattu’. Dan ini wajib.
  5. Untuk melaksanakan nadzar
  6. Untuk hadyu yang sunah
  7. Untuk hadyu karena melakukan haji qiran.
Menyembelih seekor sapi dengan aneka niat seperti di atas, hukumnya sah. Karena semuanya bertujuan untuk ibadah.

Berbeda jika ada salah satu anggota yang niatnya bukan untuk ibadah. Karena tujuannya hanya untuk mengambil dagingnya. Misalnya, ada yang niatnya mau jual daging atau untuk makan-makan keluarga, dst. Jika tujuannya untuk semacam ini, tidak boleh digabungkan dengan mereka yang berniat untuk qurban. Ini jika yang ikut urunan semuanya muslim. Apalagi jika yang ikut urunan adalah orang non-muslim, yang jelas tujuannya bukan untuk ibadah kepada Allah.

Kita lihat lebih dekat pernyataan al-Kasani,

‎ألاّ يشارك المضحّي فيما يحتمل الشّركة من لا يريد القربة رأساً ، فإن شارك لم يَـجُز عن الأضحيّة

Syarat ketiga, orang yang tidak punya keinginan untuk beribadah sama sekali, tidak boleh ikut bergabung bersama orang yang berqurban. Jika dia ikut, maka qurbannya tidak batal.

Karena sisi ibadah untuk kegiatan qurban dan semua jenis ibadah di atas adalah pada tindakan penyembelihan (menumpahkan darah). Sementara menyembelih seekor onta atau sapi, tidak bisa dibagi-bagi. Karena ini satu sembelihan. Jika dalam penyembelihan ini ada salah satu atau lebih yang tidak diniatkan untuk ibadah, maka yang lain statusnya bukan ibadah. Selanjutnya, al-Kasani memberi contoh, 1 sembelihan untuk banyak niat ibadah. Seperti kasus di atas.

Kemudian al-Kasani menjelaskan alasannya,

‎أن القربة في إراقة الدم وإنها لا تتجزأ لأنها ذبح واحد فإن لم يقع قربة من البعض لا يقع قربة من الباقين

Sisi ibadah adalah dalam bentuk penyembelihan (penumpahkan darah). Dan penyembelihan itu tidak bisa dibagi, karena hanya bisa dilakukan sekali. Sehingga, jika salah satu tidak ditujukan untuk ibadah, maka yang lain tidak berstatus sebagai ibadah. (Bada’i as-Shana’i, 5/71).

Berbeda dengan madzhab Syafi’i. Dalam Madzhab, dalam urunan sapi, tidak disyaratkan semuanya harus diniatkan untuk ibadah. Orang yang niatnya bukan untuk ibadah, seperti untuk dijual dagingnya atau dimakan, boleh ikut bergabung dengan mereka yang berqurban. Karena status ibadah, niatnya kembali kepada masing-masing yang ikut urunan, dan bukan niat yang melekat pada hewan.

Sehingga, ketika salah satu tidak berniat ibadah, ini tidak mempengaruhi keabsahan lainnya. (Bada’i as-Shana’i, 5/71).

Dan insyaaAllah yang lebih mendekati adalah pendapat yang mengharuskan kesamaan niat dalam penyembelihan. Karena itulah sisi ibadah orang berqurban, dan bukan sebatas dagingnya.

Allah berfirman,

‎لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Yang sampai kepada Allah bukanlah dagingnya, bukan pula darahnya, namun yang sampai kepada-Nya adalah semangat taqwa kalian. (QS. al-Hajj: 37).

Karena dalam berqurban, kita mempersembahkan kegiatan menyembelih itu untuk Allah, meskipun sama sekali tidak mengambil dagingnya. Sehingga yang lain, harus ditujukan untuk itu.  Sehingga non-muslim tidak boleh ikut urunan qurban sapi. Mereka tidak mungkin ikut gabung qurban dalam rangka beribadah kepada Allah.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Nabung Qurban Sejak Sekarang!

Nabung Qurban Sejak Sekarang!
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Semoga artikel ini tidak telat. Karena waktu kita tinggal beberapa minggu lagi. insyaaAllah bisa terkejar bagi yang memiliki niat yang tulus.

Idul Adha, menjadi kesempatan istimewa bagi kaum muslimin. Di hari itu, mereka disyariatkan mengerjakan ibadah tahunan, menyembelih qurban.

Mengapa ini istimewa?

Karena berqurban, merupakan syiar semua penganut agama. Menyembelih hewan, dalam rangka mendekatkan diri kepada tuhannya.

Ketika orang musyrikin memberikan sesajian dengan menyembelih binatang untuk sesembahan mereka, umat islam melakukan amal tandingannya, menyembelih qurban untuk mengagungkan Allah.

Sama-sama menyembelih, namun yang satu mengantarkan pelakunya menuju surga, sementara satunya mengantarkan pelakunya untuk kekal di neraka.

Untuk itulah, sebagai wujud rasa syukur akan janji surga, Allah perintahkan kaum muslimin untuk shalat dan menyembelih qurban. Allah berfirman,

‎إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu telaga al-Kautsar. Karena itu kerjakanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah qurban.” (QS. al-Kautsar: 1 – 2).

Menurut 3 ulama tafsir zaman tabiin, Qatadah, Atha’, dan Ikrimah – ahli tafsir murid Ibnu Abbas –, makna perintah shalat dalam ayat itu adalah shalat id, dan perintah menyembelih adalah menyembelih qurban. (Tafsir al-Qurthubi, 20/218).

Berdasarkan tafsir di atas, kesempatan bagi kita untuk bisa menjalankan perintah dalam ayat ini hanyalah ketika idul adha.

Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya selalu berqurban.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang memiliki kelapangan rezeki, namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad 8273, Ibnu Majah 3123, dan sanad hadits  dihasankan al-Hafizh Abu Thohir).

Mulai Menabung dari Sekarang

Anda tentu tidak ingin ketinggalan untuk turut mengamalkan ayat di atas. Berqurban di hari Idul Adha merupakan amal paling mulia.

Saatnya anda menyisihkan dana untuk bisa membeli hewan qurban. Kurangi pengeluaran yang tidak mendesak. Saatnya merencanakan qurban di hari Idul Adha.

Ketika kita telah bersiap untuk berqurban sejak sekarang. Atau bahkan kita sudah merencanakan untuk membeli hewan qurban, berarti kita telah siaga untuk beramal soleh.

Di saat itulah, kita bisa berharap, semoga Allah memberikan pahala untuk kita sejak sekarang.

Pahala karena siaga beramal…

Pahala karena merencanakan kebaikan.

Sebagaimana orang yang menunggu iqamat shalat di masjid terhitung mendapatkan shalat, karena dia siaga untuk melaksanakan shalat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ ، لاَ يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ الصَّلاَةُ

Kalian akan senantiasa terhitung mengerjakan shalat, selama shalat yang menghalanginya untuk tetap di masjid. Tidak ada yang menghalanginya untuk pulang menemui istrinya, selain shalat. (HR. Bukhari 659 & Muslim 1542).

Iringi dengan Doa

Jangan lupa iringi upaya anda dengan doa. Terutama bagi anda yang telah memiliki tekad untuk berqurban meskipun dengan keterbatasan ekonomi. Kita yang lemah tidak bisa beramal tanpa pertolongan dari Allah.

Salah satu doa yang bisa anda rutinkan,

‎اللهم أَعِنِّي على ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan beribadah sebaik mungkin kepada-Mu. (HR. Ahmad 22119, Abu Daud 1524 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Semoga Allah memudahkan kita untuk bisa menjalankan ibadah qurban.

Allahu  a’lam.

👤 Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive