Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Monday, December 10, 2018

Menyentuh Kemaluan (Dzakar), Apakah Membatalkan Wudhu?

Menyentuh Kemaluan (Dzakar), Apakah Membatalkan Wudhu?
Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” ( HR. Abu Dawud no. 154, dinyatakan sahih oleh al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata al-Imam al-Bukhari rahimahullah, “Hadits ini paling sahih dalam bab ini.” Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)

Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Siapa yang menyentuh kemaluannya, janganlah ia shalat sampai berwudhu.”

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hadits sahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.” (al-Jami’ush Shahih, 1/520)

Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

وَهَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْهُ

Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh) nya?” (HR. at-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah, “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan sahih sanadnya dalam al-Misykat)

Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu, sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara zahirnya, dalam hal ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

◾Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.

Ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, az-Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, al-Laits, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur, dan selain mereka.

Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; al- Mughni 1/117; al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)

◾Berpegang dengan hadits kedua, menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu.

Di antara yang berpegang dengan hadits ini ialah ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, al-Hasan al-Bashri, Rabi’ah, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, serta selain. (Sunan at-Tirmidzi, 1/57; al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)

◾Dikumpulkannya dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut.

Di antara yang berpendapat demikian ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Mereka menyatakan, apabila menyentuhnya dengan syahwat [5], hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah; dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat, tidak mengapa hanya saja disenangi baginya berwudhu[6], dengan (dalil) hadits Thalaq.

Pendapat inilah yang penulis pilih sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat yang banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi, seperti al-Imam ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; ad-Darari al-Mudhiyyah hlm. 36), dan yang lainnya.

Namun, penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 'Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu’, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain.

Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Sebab, biasanya menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi oleh syahwat. Ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah zakar itu bagian dari (tubuh) mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh mazhab Hanafi untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun, hadits ini adalah dalil bagi yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidak membatalkan wudhu.

Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat, dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian, terkumpullah dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hlm. 103)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

Apabila seseorang menyentuh dzakarnya, disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. 

Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara zahir dalam hadits. Aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya, namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/234)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari hafidzahullah

----------
Catatan:

[5] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.

[6] Juga disenangi wudhu disini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

----------
📋 www.asysyariah.com/pembatal-pembatal-wudhu-bagian-2/

📝 *Selasa, 27 Ramadhan 1439 H / 12 Juni 2018 M*
🌏🔻 Situs Blog: https://ittibaurasulillah.blogspot.co.id

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive