Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Sunday, July 28, 2019

Tadabur Al-Qur'an, Surah Yaasin (6-11)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Yaasin (6-11)
Surah Yaasin, 6:

لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ

Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.

Surah Yaasin, 7:

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.

Surah Yaasin, 8:

اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ

Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.

Surah Yaasin, 9:

وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ

Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.

Surah Yaasin, 10:

وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga.

Surah Yaasin, 11:

اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ

Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Kaya Tapi Tidak Berqurban, Berdosa?

Kaya Tapi Tidak Berqurban, Berdosa?
Assalamualaikum,

Bertanya Ustadz, orang yang mampu qurban tetapi tidak mau qurban, apa hukumnya?

Dari : Atiek Hartono.

Jawaban :

Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillah. Wassholatu was salam ‘ala Rasulillah wa ba’d.

Hukum berqurban adalah sunah muakkadah menurut pendapat yang kuat (rajih). Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama (jumhur). Sehingga orang yang meninggalkannya tidak berdosa. Hanya saja, para ulama mewanti-wanti kepada mereka yang mampu kemudian tidak berqurban, bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang sangat makruh.

Sebagian ulama berpandangan wajib untuk yang berkemampuan. Mereka berdalil dengan hadis,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, makan jangan sekali-kali mendekat ke tempat sholat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi.

Namun pendapat kedua ini dipandang lemah karena :

[1] hadis di atas dinilai lemah (dha’if) oleh para ulama hadis. Karena diantara perawinya terdapat Abdullah bin ‘Ayyas, yang dinilai sebagai perawi yang lemah.

Sebagaimana keterangan dari Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah, “Sanad hadis ini lemah. Abdullah bin ‘Ayyas (salah seorang rawinya) dinilai lemah. Dia juga mengalami kekacauan dalam periwayatan hadis ini. Keterangan selanjutnya akan dipaparkan di pembahasan takhrij.” Kemudian beliau melanjutkan, “Syaikh Albani menilai hadis ini hasan dalam Takhrij Musykilah al Faqr. Namun beliau keliru dalam penilaian tersebut.”

(Ta’liq Musnad Imam Ahmad 2/321).

[2] terdapat riwayat shahih, bahwa Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat lainnya tidak berqurban. Karena mereka khawatir kalau berqurban dianggap suatu yang wajib.

Imam Thahawi menyatakan,

وروى الشعبي عن أبي سريحة قال رأيت أبا بكر وعمر ـ رضي الله عنهما ـ وما يضحيان كراهة أن يقتدى بهما.

Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Suraihah, beliau berkata, “Saya melihat Abu Bakr dan Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- tidak berqurban. Karena tidak ingin orang mengikutinya (pent. menganggapnya wajib).” (Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama 3/221).

Abu Mas’ud al Anshori pernah mengatakan

إني لأدع الأضحى وأنا موسر مخافة أن يرى جيراني أنه حتم علي.

Sungguh saya pernah tidak berqurban padahal kondisi saya mampu. Karena saya khawatir tetanggaku akan berpandangan bahwa berqurban itu kewajiban. (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Ibnu Umar menegaskan,

ليست بحتم ـ ولكن سنة ومعروف

Berqurban bukan sebuah kewajiban. Namun hanya sunah yang ma’ruf. (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Oleh karenanya yang lebih tepat, hukum berqurban adalah sunah mu-akkadah. Sementara makna sunah dari sudut pandang fikih adalah, perbuatan yang bila dikerjakan berpahala, bila ditinggalkan tidak berdosa. Sehingga meninggalkannya tidak berdosa meskipun kondisinya mampu. Hanya saja hukumnya sangat makruh.

Wallahua’lam bis showab.

👤 Dijawab oleh ustadz Ahmad Anshori (Pengasuh PP. Hamalatul Quran, Mahasiswa Universitas Islam Madinah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hukum Mengulang Sembelihan Dua Kali, Sembelihan Pertama Hewan Tidak Mati

Hukum Mengulang Sembelihan Dua Kali, Sembelihan Pertama Hewan Tidak Mati
Assalamualaikum admin, apa hukum menyembelih hewan 2 kali, karena sembelihan pertama tidak mati, sebab salah satu dari dua jalurnya tidak putus, terus disembelih lagi ?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam, bismillah walhamdulillah wassholatu wassalamu ala Rasulillah, amma ba’du.

Saudara-saudari yang kami cintai karena Allah ﷻ, perlu kita ketahui bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan kita agar melakukan proses sembelihan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana sabda beliau ﷺ:

وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح واليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته

Dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu, dan senangkanlah hewan sembelihanmu” (HR. Muslim: 3615).

Sehingga, perintah beliau pada dasarnya merupakan kewajiban yang harus kita taati. Di antara syarat sah sembelihan adalah dengan menumpahkan darahnya yaitu memotong urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda:

ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر

Setiap yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah, kecuali yang disembelih dengan menggunakan gigi dan kuku” (HR. Bukhari: 2308).

Urat yang terdapat pada leher hewan ada 4 jenis: Tenggorokan (Saluran Pernafasan), Kerongkongan (Saluran pencernaan), dan 2 urat besar di sisi samping leher. Sehingga Para Ulama sepakat jika salah satu dari 4 urat tersebut tidak ada yang terpotong maka sembelihan tidak sah dan dagingnya tidak halal dimakan, sebagaima perkataan syaikh Utsaimin rahimahullah:

فإن لم يقطع االودجين, ولا المريئ, ولا الحلقوم تكون الذبيحة حراما بإجماع العلماء, لأنه ما حصل المقصود من إنهار الدم

Maka jika 2 urat besar di sisi leher tidak terpotong, begitu juga kerongkongan dan tenggorokan semuanya tidak terpotong, maka hukum daging sembelihannya menjadi haram sesuai dengan kesepakatan para ulama; karena maksud dari menumpahkan darah di sini tidak tercapai“. (As-syarhul Mumti’: 7/457).

Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai batasan minimal pada urat leher yang harus terpotong saat melakukan proses penyembelihan:

ويرى الحنفية الاكتفاء بقطع الثلاث منها, ويرى المالكية صحة قطع الحلقوم والودجين دون المريء, ويرى الشافعية والحنابلة صحة قطع الحلقوم والمريء

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa dicukupkan dengan memotong 3 urat/saluran dari 4 saluran tersebut, dan ulama mazhab Maliki berpendapat sahnya sembelihan dengan memotong tenggorokan (saluran pernafasan) dan 2 urat di sisi leher tanpa harus memotong kerongkongan (Saluran makanan/minuman, dan Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa sah nya sembelihan dengan memotong Tenggorokan dan Kerongkongan.” (Al-Fiqh Al-Muyassar: 4/18).

Sehingga sebaik-baik sembelihan adalah yang memotong 4 urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut seluruhnya, karena terbebas dari perselisihan pendapat para ulama (As-Syarhul Mumti’: 7/457). Dan Hendaklah dilakukan dengan kuat dan cepat, yaitu satu kali proses penyembelihan.

أن يمر السكين أو الآلة بقوة وسرعة ليكون أسرع, ولأن فيه إراحة للذبيح لقوله صلى الله عليه وسلم: (إذا ذبح أحدكم فليجهز)

Dan Hendaklah ia mengayunkan pisau atau alat sembelih secara kuat dan cepat agar mempercepat proses sembelihan, dan supaya menenangkan hewan sembelihan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ (Jika seseorang di antara kalian menyembelih hendaklah ia mempercepat proses sembelihan).“ (HR. Ahmad: 5864) (Al-Fiqh Al Muyassar: 4/21).

Namun, pada sebagian kasus karena kurang hati-hati dalam menyembelih, atau pisau/golok yang digunakan tidak tajam, maka setelah proses penyembelihan ternyata urat-urat leher yang seharusnya putus malah tidak putus, sehingga membutuhkan penyembelihan untuk kedua kalinya, dalam hal ini Imam An-Nawawi berkata:

قال أصحابنا: ولو ترك من الحلقوم والمريء شيئا ومات الحيوان فهو ميتة, وكذا لو انتهى إلى حركة المذبوح فقطع بعد ذلك المتروك فهو ميتة

Para Ulama dari Mazhab Syafi’I berkata: dan jika tertinggal sesuatu dari tenggorokan dan kerongkongan (tidak terputus sempurna) dan hewan tersebut mati, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram), dan begitu juga apabila proses sembelihan seperti ini (tidak memutus tenggorokan dan kerongkongan secara sempurna) namun hewan tersebut hampir mati kemudian diulangi menggorok tenggorokan dan kerongkongan yang tersisa setelah itu, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram).“ (Al-Majmu’: 10/123).

Kemudian Para Ulama Mazhab Syafi’I menjelaskan, bahwa hewan sembelihan yang halal dagingnya adalah apabila ketika awal melakukan sembelihan hewan tersebut masih segar-bugar yang mereka istilahkan “hayah mustaqirroh” yaitu dalam keadaan hidup yang tidak terlihat tanda-tanda akan segera mati (lihat: Al-Majmu’: 10/119-126)

Sehingga dengan demikian, Menyembelih hewan sebanyak 2 kali perlu dilihat keadaannya secara rinci:

1. Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun hewan tersebut terlihat kesakitan dan mendekati kematiannya, kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya maka hukum dagingnya haram dimakan

2. Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun masih terlihat segar-bugar (tidak ada tanda-tanda akan mati), kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya, maka hukumnya sah dan dagingnya halal.

Namun jika sembelihan untuk yang kedua kalinya dilakukan segera, tanpa jeda waktu yang cukup lama, maka hal ini diperbolehkan, sebagimana yang dikatakan oleh Syaikh Abu Abdillah al-Malikiy:

فإن عاد عن قرب أكلت سواء رفع اضطرارا أو اختيارا

JIka melakukan sembelihan untuk kedua kalinya dalam waktu yang dekat (segera), apakah karena terpaksa ataupun sengaja, maka daging hewan tersebut boleh dimakan” (Minahul Jalil: 2/408)

Wallahu A’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc., M.Kom (Alumni Lipia, Fakultas Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Monday, July 22, 2019

4 Ciri Orang Yang Diberkahi Allah

4 Ciri Orang Yang Diberkahi Allah
Allah Ta’ala berfirman menceritakan perkataan Nabi ‘Isa Alaihissalaam:

(وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ)

Dan Dia (Allah) menjadikanku sebagai orang yang diberkahi dimanapun aku berada.” (QS. Maryam: 31)

Orang yang diberkahi Allah Ta’ala ialah siapa saja yg memiliki sifat dan kriteria berikut ini:
1. Mengajarkan kebaikan.
2. Menyeru kepada Allah.
3. Mengingatkan tentang Allah.
4. Memotivasi agar senantiasa berbuat ketaatan kepada Allah.

Maka, barangsiapa yang tidak ada pada dirinya 4 sifat dan kriteria tersebut, berarti ia bukanlah termasuk orang yang diberkahi.

Dan Allah Ta’ala telah menghilangkan keberkahan dari perjumpaan dan perkumpulannya serta dari orang yang berjumpa dan berkumpul (berduduk-duduk) dengannya.

Hilangnya keberkahan ini disebabkan orang yang tidak diberkahi Allah tersebut akan menyia-nyiakan waktu (umur) dan merusak hati (kita).

(Sumber: Risalatu Ibnil Qoyyim ilaa Ahadi Ikhwaanihi, hal.3) (92)

Oleh Ustadz Muhammad Wasitho, MA,

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Jamaah Haji Tidak Boleh Berqurban di Tanah Air?

Jamaah Haji Tidak Boleh Berqurban di Tanah Air?
Apakah jamaah haji juga dianjurkan berqurban di tanah air.. krn di sana mereka jg menyembelih kambing..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelum kita membahas qurban bagi jamaah haji, ada bagian yang perlu kita pahami, bahwa ketika idul adha, ada 2 sembelihan yang dilakukan kaum muslimin,

[1] Berqurban (al-Udhiyah). Kegiatan ini dilakukan oleh kaum muslimin sedunia. Sesuai dengan aturan sebagaimana yang telah dipahami.

[2] al-Hadyu adalah sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah suci Mekah dalam rangka beribadah kepada Allah. Dagingnya dibagikan ke fakir miskin di sekitar kota Mekah. Tidak semua jamaah haji disyariatkan menyembelih hadyu. Diantara yang diwajibkan menyembelih hadyu adalah jamaah haji tamattu’ atau qiran. Seperti jamaah haji Indonesia, yang umumnya mengikuti program tamattu’.

Ulama berbeda pendapat, apakah jamaah haji disyariatkan untuk berqurban ataukah tidak?

Pendapat pertama, jamaah haji, meskipun diwajibkan menyembelih hadyu, dia juga boleh berqurban. Baik qurbannya disembelih di tanah haram atau di tanah air. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.

An-Nawawi menyebutkan,

قال الشافعي رحمه الله في كتاب الضحايا من البويطي الاضحية سنة على كل من وجد السبيل من المسلمين من أهل المدائن والقرى وأهل السفر والحضر والحاج بمنى وغيرهم من كان معه هدى ومن لم يكن معه هدى

Imam as-Syafii mengatakan dalam Bab ad-Dhahaya dalam kitab Mukhtashar al-Buthi, ‘Berqurban itu sunah bagi mereka yang memiliki kelonggaran diantara kaum muslimin, baik dia tinggal di perkotaan, desa, yang sedang safar maupun tidak safar, para jamaah haji di Mina maupun di tempat lainnya yang menyembelih al-Hadyu atau yang tidak menyembelih hadyu.‘ (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).

Pendapat kedua, jamaah haji tidak disyariatkan untuk berqurban.

Semua kaum muslimin disyariatkan berqurban kecuali jamaah haji. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan pandapat al-Abdari dari kalangan Syafiiyah.

An-Nawawi mengatakan,

وأما قول العبدري الاضحية سنة مؤكدة على كل من قدر عليها من المسلمين من أهل الامصار والقرى والمسافرين الا الحاج

Adapun pendapat al-Abdari, berqurban hukumnya sunah muakkad bagi setiap muslim yang memilki kemampuan, yang tinggal di perkotaan, pedesaan, maupun musafir, kecuali jamaah haji. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).

Sementara pendapat Imam Malik dinyatakan dalam al-Mudawwanah.

Syahnun bertanya kepada Ibnul Qasim,

قلت: أرأيت المسافر هل عليه أن يضحي في قول مالك؟ قال: قال مالك: المسافر والحاضر في الضحايا واحد.
قلت: أفعلى أهل منى أن يضحوا في قول مالك؟ قال: قال لي مالك: ليس على الحاج أضحية وإن كان من ساكني منى بعد أن يكون حاجا.
قلت: فالناس كلهم عليهم الأضاحي في قول مالك إلا الحاج؟ قال: نعم

Syahnun: “Apakah musafir juga disyariatkan untuk berqurban menurut Imam Malik?”

Ibnul Qasim: “Imam Malik mengatakan, musafir dan bukan musafir, hukum berqurban statusnya sama.”

Syahnun: “Apakah penduduk Mina juga berqurban, menurut Imam Malik?”

Ibnul Qoasim: “Imam Malik berkata kepadaku, ‘Jamaah haji tidak disyariatkan berqurban, meskipun dia penduduk Mina, setelah dia menjadi jamaah haji.”

Syahnun: “Semua orang disyariatkan berqurban menurut Imam Malik, kecuali jamaah haji?”

Ibnul Qoasim: “Benar.” (al-Mudawwanah, 1/550).

Dan ada hadis yang bisa kita jadikan acuan untuk menentukan pendapat yang lebih kuat,

Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita pengalamannya melaksanakan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengalami haid di daerah Sarof. Beliau bercerita ketika di Mina,

فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Ketika kami di Mina, saya diberi daging sapi. Saya bertanya, ‘Ini apa?’ Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban sapi atas nama para istri-istrinya.” (HR. Bukhari 5548 & Ahmad 24109).

Karena itu, insyaaAllah pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat jumhur ulama.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyaria)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Viral Aplikasi Face App - Jadi Muslim Jangan Latah..!!

Viral Aplikasi Face App - Jadi Muslim Jangan Latah..!!
Hari-hari dunia medsos kembali dihebohkan dg aplikasi Face App yg mengedit foto seorang ke masa muda dan kecilnya, juga mengedit foto masa tuanya.

Karuan, banyak yg latah ikut-ikutan memviralkan tanpa memikirkan terlebih dahulu rambu-rambu agama dalam masalah ini.

Sebagai seorang muslim, hendaknya kita tidak gampang latah ikut-ikutan pada sesuatu yg viral musiman, tetapi hendaknya kita memiliki prinsip dalam hidup ini sehingga melangkah di garis yg lurus tidak belok ke kanan dan kiri yg menyebabkan terjerumus dalam kesesatan.

Saudaraku, sebelum anda latah ikut-ikutan dg mengedit foto dg aplikasi face app ini, coba renungkanlah beberapa dampak buruknya. Imam Syathibi berkata: "Memikirkan buah suatu perbuatan adalah sangat penting dalam pandangan syari'at, baik perbuatan tersebut benar atau salah, sebab seorang alim tidak bisa menghukumi secara benar tentang suatu perbuatan kecuali setelah melihat buah yang dihasilkan dari perbuatan tersebut berupa kebaikan atau keburukan". (Al Muwafaqot 5/177)

Berdasarkan kajian sederhana saya dengan ilmu yg sedikit ini, setidaknya ada 5 dampak buruk dari apliasi face app ini:

1. Mengubah Ciptaan Alloh

Sesungguhnya Alloh telah memuliakan manusia. (QS. Al-Isra: 70)

Maka, tidak boleh bagi manusia untuk mengubah ciptaan Alloh dan bentuk yang telah ditetapkan. Allah berfirman menceritakan perkataan Iblis:

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

"Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata." (QS. An-Nisa: 119)

Syaikh al-Albani berkata: "Ayat ini merupakan sebuah nash tegas yang menunjukkan bahwa mengubah ciptaan Alloh tanpa izin dari syar` adalah sebuah ketaatan kepada setan dan kemaksiatan kepada Ar-Rahman". (Adab Zifaf hlm. 136).

Syeikh Syeikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya tentang masalah aplikasi face app yg lagi viral lagi saat ini, beliau menjawab dg tegas: "Hukumnya haram, tidak boleh, ini termasuk tipu daya Iblis yg berjanji memerintahkan anak Adam untuk merubah ciptaan Allah".

2. Unsur penipuan

Aplikasi face app ini mengandung unsur penipuan karena tidak menunjukkan wajah asli seseorang, baik lebih muda atau tua. Dan ini sangat berbahaya bagi identitas seorang. Nabi bersabda:

من غشنا فليس منا

"Siapa yg menipu kami maka dia bukan termasuk golongan kami". (HR. Muslim)

3. Menyebabkan Panjang Angan-angan

Aplikasi ini membuat manusia larut dan panjang angan-angan seakan akan hidup lama sampai tua di dunia. Ini merupakan tipu daya setan yang semu dan menipu. Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

إنَّمَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ اثْنَتَيْنِ:طُولَ الأَمَلِ، وَاتِّبَاعَ الْهَوَى، فَإِنَّ طُولَ الأَمَلِ يُنْسِي الآخِرَةَ، وَإِنَّ اتِّبَاعَ الْهَوَى يَصُدُّ، عَنِ الْحَقّ

Saya khawatirkan pada kalian dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Adapun panjang angan-angan, maka itu dapat melalaikan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu maka menghalangi dari menerima kebenaran.”

Hendaknya bagi kita sering mengingat kematian karena hal itu akan menyadarkan kita dari kelalaian dan membangunkan kita dari senda gurau dan permainan. Nabi bersabda mengingatkan kita semua:

«أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ». يَعْنِى الْمَوْتَ.

Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian“. (HR at-Tirmidzi dan disahihkan di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi)

Dengan ingat mati kita akan semangat beribadah sebagai bekal berjumpa denganNya dan segera bertaubat dari dosa dan tidak menunda2 karena kita tidak tahu kapan maut menjemput kita.

4. Perbuatan Sia-sia

Hendaknya bagi seorang meninggalkan hal2 yg tidak bermanfaat baginya dan hendaknya menyibukkan dg hal2 yg bermanfaat. Dan aplikasi face app ini termasuk hal yg sia2 yg tidak ada manfaatnya bagi agama dan dunia seorang hamba.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ. حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا

"Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." (Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Tirmidzi 2317 dan selainnya)

Hasan Al-Bashri berkata: “Termasuk tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba tatkala menjadikan kesibukannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”. (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/291).

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Pokok bagusnya ketenangan jiwa adalah dengan menyibukkan diri dalam perkara yang bermanfaat. Dan sumber hancurnya jiwa adalah dengan tenggelam dalam perkara yang tidak bermanfaat”. (Al Fawaid hlm. 177)

Syaikh Shalih al-Fauzan pernah mengatakan: “Jika Allah memuliakan seorang hamba, maka Allah akan menyibukkannya dengan ketaatan kepadaNya”. (Syarh Aqidah Ath Thohawiyyah hlm. 122)

5. Lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya

Al-Hafizh Ibnul Qoyyim berkata: "Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya.

Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syariat Islam memerintahkan atau memperbolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya". (Madarij Salikin 1/496)

Jika kita terapkan kaidah ini, niscaya akan kita dapati bahwa bahwa face app banyak mafsadatnya daripada manfaatnya, sebagaimana penjelasan di atas, ditambah lagi jadi ajang mempermainkan wajah orang dan ajang ledekan dan saling hina dan merendahkan.

Walaupun terkadang hanya candaan, tapi ingat canda ada batasan dan rambu-rambunya, salah satunya tidak boleh untuk merendahkan, membuat sakit hati saudara kita dan tidak mengandung unsur dusta yg semua itu tidak terpenuhi dalam face app ini. Ingat juga bahwa tidak semua orang mau dicandaain seperti itu.

Berdasarkan kajian singkat di atas, maka tidak boleh menggunakan aplikasi face app ini dan hendaknya bagi kita tidak latah ikut-ikutan dg viral musiman. Jadilah muslim sejati yg memegang prinsip dan berjalan di atas cahaya ilmu.

Ditulis oleh: Ustadz Abu Ubaidah As Sidawi

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Friday, July 19, 2019

Ada apa, antara Adzan dan Iqomah?

Ada apa, antara Adzan dan Iqomah?
Ada hadis shahih yang menjelaskan bahwa saat-saat antara azan dan iqomah adalah waktu mustajab untuk berdoa.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ فَادْعُوا

Sungguh berdo’a antara adzan dan iqomah tidak tertolak, maka pergunakanlah untuk berdo’a.” (HR. Ahmad).

Memilih waktu yang tepat dalam berdoa, adalah diantara penyebab terkabulnya doa. Salah satu waktu tersebut adalah, antara azan dan iqomah; yakni sesudah azan, sampai sebelum iqomat.

(Lihat keterangan ini di : https://www.binbaz.org.sa/noor/9485)

Mengingat antara azan dan iqomah adalah waktu yang sangat terbatas, maka prioritaskanlah ibadah yang dianjurkan oleh dalil untuk dilakukan pada saat itu, seperti  saat- saat antara azan dan iqomah, syariat menganjurkan berdoa dan sholat sunah rawatib. Bila waktu mencukupi, maka bisa dipergunakan untuk melakukan ibadah lain, seperti membaca Alquran dan yang lainnya.

Inilah kaidah penting dalam beribadah, mendahulukan amalan ibadah yang terbatas waktunya daripada ibadah yang leluasa waktunya.

Dengan mengetahui kaidah ini, insyaallah seorang akan proposional dalam beribadah kepada Allah.

Syaikh Sulaiman bin Muhammad An-Najran menjelaskan dalam buku beliau “Al-Mufadholah Fil ‘Ibadaat’’,

أداء العبادات في وقتها المحدد مع حصول الكراهة بل مع الوقوع في المحظور أفضل وأولى من أدائها خارج وقتها مع انعدام الكراهة أو المحظور, لأن الوقت أهم الشروط في العبادات

Menunaikan ibadah pada waktunya yang sudah ditentukan, meski bersamaan dengan itu harus menerjang yang makruh atau bahkan yang terlarang, adalah lebih afdhol dan lebih utama daripada menunaikannya di luar waktunya, meski tanpa terterjang tindakan yang makruh atau terlarang. Karena waktu adalah syarat terpenting dalam ibadah. (Al-Mufadholah Fil ‘Ibadaat, hal. 989)

Terlebih bila tak harus menerjang yang makruh atau terlarang saat mengerjakan ibadah pada waktu yang ditentukan syariat, tentu lebih afdhol.

Oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc (Pengasuh PP. Hamalatul Quran DIY)
Read more: https://konsultasisyariah.com/31498-antara-azan-dan-iqomah-waktu-mustajab-berdoa.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Dido'akan Malaikat, Mau?

Dido'akan Malaikat, Mau?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

Sesungguhnya doa seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya.

Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”

(HR. Muslim, no. 2733)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Benarkah Puasa Arafah Bisa Menghapus Semua Dosa?

Benarkah Puasa Arafah Bisa Menghapus Semua Dosa?
Tentang Puasa Arafah, Begini Penjelasannya!

Diantara ibadah yang utama dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)

Dalam hadis dari sahabat Abu Qatadah dinyatakan, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa arafah dan puasa Asyuro, beliau menjawab,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Puasa satu hari Arafah (9 Dzulhijjah), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Dan puasa hari ‘Asyura’ (10 Muharram), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.”  (HR. Muslim, no 1162).

Dari keterangan hadis ini kita mengetahui, puasa arafah memiliki keutamaan dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudahnya.

Namun pertanyaannya, apakah hal ini berlaku untuk seluruh dosa, sehingga seorang tidak perlu istighfar dan taubat?

Atau bila perlu seorang bisa beralasan dengan puasa Arafah untuk melegalkan maksiat yang dia lakukan?

Mari kita simak penjelasan Imam Nawawi berikut, ketika menjelaskan hadis di atas,

معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر…. فإن لم تكن صغائر يرجى التخفيف من الكبائر، فإن لم يكن رفعت درجاته

Makna hadis ini, puasa arafah akan menghapus dosa selama dua tahun (yakni 1 tahun sebelum dan sesudahnya, pent) bagi orang yang melakukan puasa ini, para ulama mengatakan, ”Maksudnya dosa-dosa yang terhapus itu adalah dosa kecil.

Bila dia tidak memiliki dosa kecil, diharapkan puasa ini menjadi penyebab meringankan dosa besar yang dia lakukan. Apabila tidak memiliki dosa besar, puasa ini akan menjadi penyebab naiknya derajat dia.  (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 8/51)

Jadi, pembaca sekalian yang dimuliakan Allah.. dosa yang terampuni dengan sebab puasa arafah dan amal sholih lainnya, hanya dosa kecil saja. Tidak berlaku untuk dosa besar.

Maka tidak benar beralasan dengan puasa arofah, untuk menghibur diri supaya merasa aman/legal melakukan dosa besar. Karena dosa yang disinggung dalam hadis, yang terhapus dengan sebab puasa arafah, maksudnya adalah dosa kecil saja. Dosa besar, hanya terampuni dengan bertaubat yang jujur kepada Allah, yakni memohon ampunan, penyesalan, serta tekad untuk tidak mengulangi.

Justru terus-menerus melakukan dosa, tanpa ada upaya bertaubat, adalah penyebab dosa itu semakin besar di sisi Allah. Tidak ada situasi aman untuk orang-orang yang seperti ini anggapannya. Bahkan dosa kecil saja, yang dilakukan terus-menerus, bisa menjadi dosa besar, apalagi dosa besar yang dilakukan secara kontinyu dan tidak ada rasa menyesal yang mendorongnya untuk bertaubat.

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,

لا كبيرة مع الاستغفار، ولا صغيرة مع الإصرار

Tidak ada dosa besar bila disertai istighfar. Dan tidak ada istilah dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.

Syarat Terhapusnya Dosa Kecil dengan Amal Sholih

Tidak cukup dengan melakukan amal sholih kemudian dosa kecil otomatis terhapus. Ada syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan fadilah ini. Yaitu, meninggalkan dosa-dosa besar.

Selama dia masih konsisten melakukan dosa besar, tidak ada upaya untuk bertaubat, masih enjoy dengan dosa besar yang dia lakukan, maka amal shalihnya tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil.

Karena Allah ta’ala berfirman,

إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا ﴿٣١﴾

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk kalian, maka Kami akan menghapus semua dosa kecil kalian. Dan Kami  akan masukkan kalian ke surga. (QS. An-Nisa : 31).

Nabi kita –shallalllahu’alaihi wa sallam– juga bersabda,

الصلوات الخمس والجمعة الى الجمعة ورمضان الى رمضان مكفرات لما بينهما اذا اجتنبت الكبائر

Shalat lima waktu, dari satu (shalat) Jum’at ke Jumat  berikutnya, dari ramadhan ke ramadhan berikutnya, bisa menjadi penghapus dosa,  yang ada diantara keduanya, bila dosa-dosa besar dijauhi. (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, hadis Abi Hurairah)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa dosa-dosa kecil akan terhapus, apabila dosa-dosa besar ditinggalkan. Hal ini menekankan bahwa meninggalkan dosa besar adalah syarat terhapusnya dosa kecil. Artinya, amal-amal sholih tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa kecil, selama dosa besar belum ditinggalkan dan belum ditaubati.

Ibnul Qoyyim memaparkan, ketika membantah anggapan sebagian orang, bahwa puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa; baik besar maupun kecil,

وكاغترار بعضهم على صوم يوم عاشوراء أو يوم عرفة، حتى يقول بعضهم يوم عاشوراء يكفر ذنوب العام كلها ويبقى صوم عرفة زيادة في الأجر، ولم يدر هذا المغتر أن صوم رمضان والصلوات الخمس أعظم وأجل من صيام يوم عرفة ويوم عاشوراء، وهي إنما تكفر ما بينهما إذا اجتنبت الكبائر… فكيف يكفر صوم تطوع كل كبيرة عملها العبد وهو مصر عليها غير تائب منها, هذا محال..

Seperti terpedayanya sebagian orang dengan puasa asyuro dan puasa arafah. Sampai ada sebagian mereka mengatakan, puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa selama satu tahun. Tinggal puasa arafah berfungsi sebagai penambah pahala… Dia yang sedang terpedaya ini tidak menyadari, bahwa puasa ramadhan dan sholat lima waktu itu lebih agung dan lebih mulia dari puasa arafah dan asyuro (karena ibadah yang wajib lebih utama daripada yang sunah, pent).

Itu pun hanya berfungsi menghapus dosa kecil, jika dosa-dosa besar ditinggalkan.

Lantas bagaimana bisa dikatakan, puasa sunah sehari dapat menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan oleh seorang hamba, sementara dia masih terus-menerus melakukan dosa besar itu. Ini mustahil..! (Al-Jawab Al-Kafi hal. 55)

Syaikh Abdulmuhsin Al-‘Abbad -hafidzohullah- (pakar hadis Madinah saat ini), di saat menerangkan hadis tentang puasa arafah dapat menghapus dosa satu tahun sesudah dan sebelumnya, beliau menerangkan senada,

ومعناه: إذا كانت الكبيرة لم تجتنب ، أو كان مصراً عليها ، فإنه لا يحصل معها التكفير

Maknanya adalah, selama dosa besar tidak dijauhi atau dia masih terus-menerus melakukannya, maka pengampunan dosa-dosa kecil ini tidak akan dia dapatkan.

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori Lc, ( Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta )

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Thursday, July 18, 2019

Bagaimana Asal Usul Hijr Ismail?

Bagaimana Asal Usul Hijr Ismail?
Mengapa dinamakan Hijr Ismail? Apakah ada hubungannnya dengan Nabi Ismail?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Masyarakat kita menyebut bangunan tembok setengah lingkarang setinggi pundak dengan nama Hijr Ismail. Meskipun sebenarnya ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena bangunan ini ada setelah pemugaran yang dilakukan oleh masyarakat Quraisy, sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus jadi nabi.

Ketika peristiwa Fathu Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh A’isyah mengenai bentuk Ka’bah. A’isyah bercerita,

سَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ قَالَ « نَعَمْ » . قُلْتُ فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوهُ فِى الْبَيْتِ قَالَ ” إِنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ “

Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  tembok Hijr, apakah itu bagian dari Ka’bah?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya.”

Saya bertanya lagi, ‘Mengapa tidak mereka masukkan jadi satu dengan bangunan Ka’bah?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Masyarakatmu kekurangan dana.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan keinginannya,

وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ أَنْ أُدْخِلَ الْجَدْرَ فِى الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالأَرْضِ

Andai bukan karena kaummu baru saja keluar dari masa Jahiliyah, sehingga saya khawatir jiwa mereka menolak, niscaya akan aku gabungkan tembok setengah lingkaran itu jadi satu dengan ka’bah, dan pintunya saya buat di bawah sama dengan tanah. (HR. Bukhari 1584 dan Muslim 3313).

Hadis ini sangat tegas menunjukkan bahwa bangunan tembok setengah lingkaran itu tidak ada kaitannya dengan Ismail.

Bagaimana Kisah Selengkapnya?

Ibnu Katsir membawakan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 35 tahun, terjadi banjir hingga bangunan Ka’bah rusak. Tinggal puing-puing dan sisa-sisa tembok. Akhirnya orang Quraisy berencana untuk merenovasi ka’bah. Mereka siapkan bahan, peralatan, termasuk tenaganya dan tukang.

Secara ekonomi, sebenarnya orang musyrikin Quraisy cukup mapan. Sehingga mereka mampu untuk merenovasi ka’bah seperti bangunan sebelumnnya.  Namun untuk Ka’bah, mereka punya standar yang berbeda dengan umumnya bangunan lainnya.

Sebelum renovasi Ka’bah dilakukan, ada tokoh Quraisy dari bani Makhzum, yaitu Abu Wahb bin Abid bin imran.

Dia memberi peringatan kepada masyarakat Quraisy,

يا معشر قريش لا تدخلوا في بنيانها من كسبكم إلا طيباً، لا يدخل فيها مهر بغي، ولا بيع ربا، ولا مظلمة أحد من الناس

Wahai orang Quraisy, jangan sampai melibatkan modal untuk pembangunan ka’bah kecuali yang halal. Jangan melibatkan upah pelacur, hasil transaksi riba, atau uang kedzaliman dari orang lain.”

Abu Wahb ini adalah paman Abdullah, ayahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tepatnya paman dari ibu. Dan dikenal sebagai orang terhormat di kalangan Quraisy. (Sirah Ibnu Katsir, 1/275).

Karena mereka hanya membatasi dari harta yang halal, maka dana mereka terbatas. Menyebabkan  mereka tidak bisa membangun Ka’bah utuh seperti sebelumnya. Mereka bangun sesuai ketersediaan dana, dan bagian sisanya ditaruh luar, hanya diberi tanda tembok setinggi pundak, untuk pembatas agar tidak dilewati orang yang thawaf.

Untuk itu, jika ada orang yang thawaf dan melintasi Hijr, maka thawafnya batal. Karena dia tidak mengelilingi Ka’bah dengan sempurna.

Benarkah Ada Kuburan Ismail di Hijr?

Ada sebagian orang yang berpendapat demikian. Namun pendapat ini tidak benar, karena tidak ada riwayat yang otentik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan hal itu. Sementara riwayat mauquf (pernyataan sahabat) statusnya sanngat lemah, sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil.

(Penjelasan dari kitab Tahdzir as-Sajid, hlm. 74-76)

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, July 17, 2019

Apakah Thawaf Disambung Dengan Sa’i?

Apakah Thawaf Disambung Dengan Sa’i?
Bismillah, ustadz. Apakah dalam tata cara haji tammatu setelah melaksanakan thawaf wada langsung disambung dengan sa’i? Dikarenakan ada KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) di kota saya yang melaksanakan seperti itu. Apakah ada dalilnya? Jazakallah khairan.

(Endang)

Jawab:
Sa’i hanya ada 2 macam: Sa’i haji dan sa’i umrah, dan tidak ada yang ketiga.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ).البقرة:158)

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai di antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Qs. 2: 158)

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:

لا يجوز التطوع بالسعي ، لأن السعي إنما يُشرع في النُّسك ، الحج والعمرة

Tidak boleh mengamalkan amalan sa’i yang tathawwu’ (bersifat dianjurkan), karena sa’i hanya disyari’atkan ketika haji dan umrah.” (Fatawa Arkanil Islam hal:540-541).

Dan orang yang berhaji tamattu’ maka dia melakukan kedua jenis sa’i ini.

Dalilnya hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary di dalam shahihnya secara mu’allaq majzum bihi:

عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه سئل عن متعة الحج، فقال: أهل المهاجرون والأنصار وأزواج النبي صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع وأهللنا، فلما قدمنا مكة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اجعلوا إهلالكم بالحج عمرة إلا من قلد الهدي، فطفنا بالبيت وبالصفا والمروة، وأتينا النساء ولبسنا الثياب وقال: من قلد الهدي، فإنه لا يحل حتى يبلغ الهدى محله، ثم أُمرنا عشية التروية أن نهل بالحج، فإذا فرغنا من المناسك جئنا فطفنا بالبيت وبالصفا والمروة

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau ditanya tentang haji tamattu’, maka beliau berkata: Orang-orang Muhajirin dan Anshar serta para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berniat haji pada waktu haji wada’, demikian pula kami. Ketika sampai Mekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jadikanlah niat haji kalian niat umrah, kecuali orang yang membawa sembelihan. Maka kami thawaf di ka’bah dan sai di shafa dan marwah kemudian mendatangi istri kami dan memakai pakaian. Kemudian beliau berkata: Barangsiapa yang membawa sembelihan maka tidak boleh tahallul sampai waktu penyembelihan (yaitu tanggal 1o dzulhijjah). Kemudian kami pada hari tarwiyyah (tanggal 8 dzulhijjah) kami diperintah untuk niat haji, dan ketika kami sudah menyelesaikan manasik, kamipun thawaf di ka’bah dan sa’i di shafa dan marwah.”

Adapun sa’i khusus setelah thawaf wada’ maka ini tidak ada dalilnya.

Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz:

فإن كان في خارج مكة كأهل جدة وأهل الطائف والمدينة وأشباههم فليس له النفير حتى يودع البيت بطواف سبعة أشواط حول الكعبة فقط ليس فيه سعي ؛ لأن الوداع ليس فيه سعي بل طواف فقط

Apabila dia berasal dari luar Mekah, seperti penduduk Jeddah, Thaif, Madinah dan yang semisalnya maka mereka tidak boleh pergi kecuali setelah thawaf wada’ 7 kali putaran, tanpa sa’i, karena thawaf wada’ tidak ada sa’i, akan tetapi hanya thawaf saja.” (Majmu’ Fatawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 17/398).

Kecuali kalau mereka mengakhirkan thawaf ifadhah sampai mau pulang dan menggabungkannya dengan thawaf wada’ kemudian melakukan sa’i haji setelahnya maka tidak mengapa, dan tidak harus thawaf wada’ kembali.

Berkata Lajnah Daimah:

إذا لم يطف الحاج طواف الإفاضة إلا عند انصرافه من مكة ، واكتفى به عن طواف الوداع كفاه حتى لو وقع بعده سعي، كما لو كان متمتعا، وإن طاف طوافا ثانيا للوداع فذلك خير وأفضل.

Apabila orang yang berhaji belum thawaf ifadhah kecuali ketika mau meninggalkan Mekah, dan mencukupkan dengannya tanpa thawaf wada’ maka itu sudah cukup meskipun setelah itu melakukan sa’I (haji), seperti orang yang tamattu’. Namun apabila dia thawaf wada’ setelah itu maka itu lebih baik dan lebih utama.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 11/300-301)

Wallahu al’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Abdullah Roy, Lc.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Monday, July 15, 2019

Puasa Ayyamul Bidh Yuk...

Puasa Ayyamul Bidh
Ladang Pahala untukmu Para Penuntut Ilmu: Puasa Ayyamul Bidh. Janganlah di sia-siakan!

Keutamaan & Dalil puasa ayyamul bidh disebutkan dalam hadits berikut.

Dari Ibnu Milhan Al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud, no. 2449; An-Nasa’i, no. 2434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berwasiat kepada 3 orang Sahabat Beliau supaya puasa 3 hari setiap bulan, yaitu; Abu Hurairah, Abu Darda' dan Abu Dzar Radhiyallahu 'Anhum.
[HR. Bukhari, Muslim, dll]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Puasa pada 3 hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979)

Dia juga berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
‘Puasalah 3 hari dari tiap bulan. Sesungguhnya amal kebaikan itu ganjarannya 10 kali lipat, sehingga ia seperti puasa sepanjang masa.’” (HR. Bukhari no. 1976)

Faedah & Manfaat Puasa Tiga Hari Setiap Bulan:

1. Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Melakukan puasa tiga hari setiap bulannya seperti melakukan puasa sepanjang tahun karena pahala satu kebaikan adalah sepuluh kebaikan semisal. Berarti puasa tiga hari setiap bulan sama dengan puasa sebanyak tiga puluh hari setiap bulan. Jadi seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.

3. Memberikan istirahat pada anggota badan setiap bulannya.

Wallahu a'lam

🌐Sumber: @azharbinseff_official

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, July 14, 2019

Raudhah

Raudhah - Taman Surga
Sebenarnya ada apa di Raudhah? Mengapa org berjubel ngantri d Raudhah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan Raudhah. Diantaranya,

[1] Hadis dari Abdullah bin Zaid al-Mazinni radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ بَيْتِى وَمِنْبَرِى رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ

Antara rumahku dan mimbarku adalah salah satu taman surga.” (HR. Bukhari 1195 & Muslim 3434).

[2] Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang semisal, hanya ada tambahan redaksi,

وَمِنْبَرِى عَلَى حَوْضِى

Dan mimbarku di atas telagaku..” (HR. Bukhari 1196 & Muslim 3436)

[3] Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْبَرِي هَذَا عَلَى تُرْعَةٍ مِنْ تُرَعِ الْجَنَّةِ

Mimbarku ini merupakan salah satu tur’ah surga.” (HR. Ahmad 9812 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Sahl bin Sa’d pernah mengatakan,

كُنَّا نَقُولُ الـمِنْبَر عَلَى تُرعَةٍ مِن تُرَعِ الجَنَّة قَال سَهلٌ: هَل تَدْرُونَ مَا التُّرعَة؟ هُوَ البَابُ

Kami meyakini bahwa mimbar itu berada di atas tur’ah surga. Sahl bertanya, “Tahukah kalian, apa itu tur’ah?” Tur’ah artinya pintu. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 5888)

[4] Hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ قَوَائِمَ مِنْبَرِى هَذَا رَوَاتِبُ فِى الْجَنَّةِ

Sesungguhnya kaki-kaki mimbarku ini adalah salah satu kedudukan yang tinggi di surga.” (HR. Nasai 704 dan dishahihkan al-Albani).

Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis ini.

Ibnu Abdil Bar mengatakan,

اختلف العلماء في تأويل قوله ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة فقال منهم قائلون ترفع تلك البقعة يوم القيامة فتجعل روضة من الجنة وقال آخرون هذا على المجاز

Ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis tentang raudhah di atas. Sebagian berpendapat bahwa tempat itu akan diangkat pada hari kiamat dan dijadikan sebagai taman surga. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hadis ini kalimat majaz.

Ibnu Abdil Bar melanjutkan,

لما كان جلوسه وجلوس الناس إليه يتعلمون القرآن والدين والإيمان هنالك شبه ذلك الموضع بالروضة لكريم ما يجتنى فيها وأضافها إلى الجنة كما قال عليه الصلاة والسلام : ” الجنة تحت ظلال السيوف ” يعني أنه عمل يدخل المسلم الجنة

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk, dan para sahabat duduk di hadapan beliau, mereka belajar al-Quran, agama, dan iman, itulah yang menjadi alasan tempat ini disamakan dengan taman surga, karena kemuliaan pahala yang didapatkan di majlis itu. dan beliau kaitkan dengan surga, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Surga itu di bawah bayang-bayang pedang.” Artinya, jihad adalah amal yang bisa mengantarkan seorang muslim menuju surga. (at_Tamhid, 2/287).

Keterangan lain disampaikan an-Nawawi,

قوله ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة ذكروا في معناه قولين أحدهما أن ذلك الموضع بعينه ينقل إلى الجنة والثاني أن العبادة فيه تؤدى إلى الجنة

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah.” Para ulama menyebutkan ada 2 pendapat ulama mengenai makna hadis ini. Pertama, tempat itu akan dipindah ke surga. Kedua, bahwa ibadah di sana akan mengantarkan ke surga.

Kita akan mengulang kedua kesimpulan perbedaan pendapat di atas,

Pertama, bahwa makna hadis ini sesuai tekstualnya. Artinya, bahwa tempat ini (antara rumah dan mimbar Nabi) akan diangkat oleh Allah dan dijadikan taman surga.

Kedua, Sehingga ibadah di sana akan mengantarkan seseorang menuju surga.

Ketiga, bahwa hadis ini bentuknya majaz (kiasan), dalam arti, tempat antara rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mimbar beliau disebut sebagai raudhah, karena di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di tempat ini wahyu disampaikan, kajian dirutinkan, iman ditumbuhkan, ibadah disemarakkan, semua sahabat khusyu dan tunduk di hadapan Allah Ta’ala.

Kesimpulan ini disampaikan al-Hafidz Ibnu Hajar – rahimahullah –. Dan menurut beliau, pendapat ketiga paling mendekati kebenaran. (Fathul Bari, 4/100).

Karena itulah, kesempatan untuk mendapatkan keutamaan Raudhah tidak hanya beribadah di Raudhah masjid nabawi. Di semua tempat, dimana wahyu disampaikan, iman ditumbuhkan, al-Quran dan Sunnah diajarkan, kajian digalakkan, ibadah dan ketaatan ditegakkan, di situlah rahmat Allah diturunkan…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut forum kajian islam di masjid dengan raudhah. Dinyatakan dalam hadis,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ، فَارْتَعُوا “، قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: ” حِلَقُ الذِّكْرِ

Apabila kalian melewati taman surga, mendekatlah. Sahabat bertanya, “Apa itu taman surga?” beliau bersabda, “Halaqah ilmu.” (HR. Turmudzi 3852, Ahmad 12523 dan dishahihkan al-Hakim)

Demikian, Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Friday, July 12, 2019

Haji Dengan Visa Ziarah

Haji Dengan Visa Ziarah
Apa hukum berangkat haji dengan menggunakan via ziarah. Dari jeddah tidak boleh menggunakan baju ihram, lalu ke Mekah. Hari berikutnya miqat di Tan’im untuk melaksanakan umrah. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Melaksanakan ibadah haji di zaman sekarang sangat berbeda dengan haji di masa silam. Untuk bisa berhaji di masa silam, orang harus menyediakan waktu yang sangat lama dan tenaga yang besar. Mengingat keterbatasan sarana transportasi ketika itu. Sehingga jumlah jamaah haji masih terbatas.

Berbeda dengan zaman sekarang, fasilitas untuk haji semakin lengkap, sehingga sangat mudah bagi siapapun yang memiliiki kemampuan finansial untuk melakukannya. Ini berakibat meledaknya jumlah jamaah haji. Atas dasar inilah, pemerintah menetapkan, orang yang boleh melakukan haji hanyalah mereka yang memiliki permit haji (Tashrih). Dengan cara ini bisa semakin menertibkan dan mengatur populasi jamaah haji.

Sehingga, adanya syarat tashrih untuk kegiatan haji, sangat memberikan maslahat bagi pelaksanaan haji. Anda bisa bayangkan ketika semua orang diberi kebebasan berangkat haji tanpa permit haji? Ini bisa berpotensi membahayakan kondisi jamaah haji sendiri.

Bagaimana Hukum Haji Tanpa Tashrih?

Sebelumnya perlu anda bedakan antara ibadah yang sah dengan berdosa saat ibadah. Bisa jadi ada orang yang melakukan suatu ibadah dan statusnya sah, namun di saat yang sama, dia juga berdosa. Seperti orang yang berpuasa dan sepanjang berpuasa rajin bermaksiat. Puasanya bisa jadi sah, karena dia tidak melakukan pembatal. Namun dia menuai dosa, karena puasanya diiringi dengan maksiat.

Mentaati aturan pemerinth dalam hal ini adalah kewajiban. Apalagi itu ditetapkan untuk kemaslahatan pelaksanaan haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Mendengar dan taat kepada pemerintah menjadi kewajiban setiap muslim, baik untuk keputusan yang dia sukai maupun yang dia benci, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh taat. (HR. Bukhari 7144, Ahmad 6278 dan yang lainnya)

Kaitannya dengan haji tanpa tashrih, ada 2 rincian yang bisa kita berikan,

[1] Haji sunah

Yang dimaksud haji sunah adalah haji setelah kesempatan pertama, misalnya haji untuk yang kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.

Para ulama menegaskan tidak boleh melakukan haji sunah tanpa tashrih.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya mengenai hukum haji tanpa tashrih. Jawaban beliau,

لو أنَّ الحكومة قالتْ لمن لم يحجَّ فرضًا: لا تحجَّ مع تَمام الشروط، فهنا لا طاعةَ لها؛ لأنَّ هذه معصية، اللهُ أوجبه عليَّ على الفور، وهذا يقول: لا تحجَّ

“Andai pemerintah mengatakan kepada orang yang belum melaksanakan haji wajib, “Jangan berhaji!” padahal syarat wajibnya sudah sempurna, maka dalam kasus ini tidak boleh ditaati, karena ini maksiat. Allah yang mewajibkannya untuk segera haji, namun pemerintah mengatakan, “Jangan haji!”.

Kemudian beliau menegaskan,

أمَّا النافلة، فليستْ واجبة، وطاعة ولي الأمر – فيما لم يتضمَّن تركَ واجبٍ أو فِعْلَ مُحرَّم – واجبة

Sementara untuk haji nafilah, bukan haji wajib. Sementara mentaati pemerintah – dalam hal yang tidak meninggalkan kewajiban atau melanggar yang haram – hukumnya wajib.

Fatwa yang lain pernah disampaikan Syaikh Dr. al-Fauzan – hafidzahullah – beliau pernah ditanya mengenai haji tanpa permit khsusus.

Jawaban beliau,

الحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة .

Hajinya sah, namun berdosa. Dia menyalahi aturan yang ditetapkan pemerintah untuk kemaslahatan masyarakat dan jamaah haji. Mentaati pemerintah, wajib. Karena beliau menghendaki untuk kemaslahatan masyarakat dan menertibkan kegiatan haji. Hajinya sah, namun dia bermaksiat, dan berdosa ketika haji. Dan tidak boleh seseorang melakukan dosa untuk menjalankan sunah. Haji yang lebih dari sekali hukumnya sunah, sementara tidak mentaati pemerinth, hukumnya haram. Jangan melanggar yang haram untuk mengamalkan yang sunah

[2] Haji wajib

Haji wajib adalah haji yang pertama kali.

Ulama berbeda pendapat, apakah haji wajib harus segera dilakukan ataukah boleh ditunda.

Pendapat pertama mengatakan, haji wajib segera dikerjakan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Sementara pendapat kedua mengatakan, pelaksanaan haji bagi yang mampu boleh ditunda. Ini merupakan pendapat Imam as-Syafii, al-Auza’i, dan Muhammad bin al-Hanafiyah.

Jika anda mendaftar haji reguler, anda akan tertunda keberangkatannya sekian tahun sesuai antrian. Terlepas dari perbedaan di atas, kalaupun seseorang punya uang, lalu segera dia gunakan untuk mendaftar haji, dan harus mengantri, apakah ini termasuk menunda?

Di negara kita, hanya ini yang bisa kita lakukan. Sementara mengikuti haji plus atau furoda dananya sangat besar. Sehingga, menurut kami, mengantri di sini bukan termasuk mengakhirkan haji. Sehingga bentuk segera bagi mereka yang mampu adalah segera mendaftar haji, agar antriannya lebih di depan.

Bisa saja, anda berangkat haji tanpa melalui jalur yang sah dengan visa travel (ziarah), sehingga anda lebih cepat berangkatnya. Namun harus dilakukan dengan cara mengelabuhi seperti yang disebutkan di atas.

Kesimpulannya, yang kami pahami dari aturan pemerintah, mereka tidak melarang yang wajib haji untuk segera haji. Namun mengingat keterbatasan kuota dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan, untuk mengatur populasi haji, harus dibuat antrian. Dan jalur inilah yang akan mendapatkan permit resmi.

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, July 10, 2019

Haji Sendiri atau Dahulukan Orang Tua Berhaji?

Haji Sendiri atau Dahulukan Orang Tua Berhaji?
Jika seseorang memiliki dana terbatas, hanya cukup untuk daftar haji satu orang, mana yang lebih tepat, dia dahulukan haji untuk dirinya ataukah orang tuanya?

Jawab:

Haji Allah wajibkan bagi mereka yang mampu. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Orang yang sudah memiliki kemampuan untuk haji, maka harus segera mendaftar haji. Dan tidak boleh ditunda.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجِّلُوا الْخُرُوجَ إِلَى مَكَّةَ , فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ مِنْ مَرَضٍ أَوْ حَاجَةٍ

Segerkanlah berangkat ke kota Mekah (untuk haji), karena kalian tidak tahu, barangkali akan ada halangan sakit atau kebutuhan lainnya. (HR. Abu Nua’im dalam al-Hilyah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dihasankan al-Albani dalam Sahih al-Jami’, no. 3990).

Jika Dananya Terbatas, Daftar Haji untuk Diri Sendiri ataukah Mendahulukan Ortu?

Haji adalah fardhu a’in, kewajiban bagi setiap individu. Sehingga, baik anak dan bapak, semuanya mendapat kewajiban ini. Karena itu, para ulama mengatakan, dahulukan kewajiban pribadi, sebelum membantu orang lain melaksanakan kewajibannya.

Meskipun andaikan ada anak yang mendahulukan haji orang tuanya, status hajinya sah.

Ada pertanyaan yang diajukan ke Lajnah Daimah,

هل يجوز للإنسان أن يرسل والديه إلى الحج قبل أن يذهب هو إلى الحج؟

Bolehkah seorang anak memberangkatkan haji orang tuanya, padahal dia juga belum berangkat haji?

Jawaban Lajnah Daimah,

الحج فريضة على كل مسلم حر عاقل بالغ مستطيع السبيل إلى أدائه، مرة في العمر. وبر الوالدين وإعانتهما على أداء الواجب أمر مشروع بقدر الطاقة ، إلا أن عليك أن تحج عن نفسك أولاً ، ثم تعين والديك إن لم يتيسر الجمع بين حج الجميع ، ولو قدمت والديك على نفسك صح حجهما ، وبالله التوفيق

Haji adalah kewajiban begi setiap muslim merdeka, berakal, baligh, dan memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan menuju ke tanah suci. Kewajiban sekali seumur hidup. Sementara itu, berbakti kepada kedua orang tua dan membantunya untuk melaksanakan yang wajib, adalah amal yang disyariatkan sesuai kemampuan. Hanya saja, kamu wajib melaksanakan haji untuk diri anda sendiri terlebih dahulu, kemudian anda bisa membantu orang tua anda, jika dananya tidak cukup untuk memberangkatkan haji semua. Andai kamu dahulukan orang tuamu untuk haji dari pada dirimu, haji mereka sah.

Hanya milik Allah segala taufiq…

(Fatawa al-Lajnah Daimah, 11/70).

Demikian, Allahu a’lam.


👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Friday, July 5, 2019

Apakah Sah Shalat dalam Keadaan Isbal?

Apakah Sah Shalat dalam Keadaan Isbal?
Kita tahu bahwa isbal itu berarti menjulurkan celana di bawah mata kaki. Apakah jika ada yang shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya sah? Ataukah ia berdosa, namun shalatnya sah?

Kita tahu bahwa orang yang menjulurkan celananya dengan sombong atau pun tidak di bawah mata kaki, maka ia terkena ancaman yang disebutkan dalam hadits dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ

Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Bagaimana hukum menjulurkan celana atau kain sarung di bawah mata kaki saat shalat?

Ada hadits yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin tentang masalah isbal.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ». فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ « اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ». فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ قَالَ « إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ ».

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang yang shalat dalam keadaan isbal -celananya menjulur di bawah mata kaki-. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata padanya, “Pergilah dan kembalilah berwudhu.” Lalu ia pergi dan berwudhu kemudian ia datang kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berkata, “Pergilah dan kembalilah berwudhu.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau memerintahkan padanya untuk berwudhu, lantas engkau diam darinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Ia shalat dalam keadaan isbal -menjulurkan celana di bawah mata kaki-, padahal Allah tidak menerima shalat dari orang yang isbal.” (HR. Abu Daud no. 4086.).

Takhrij Hadits

Imam Nawawi berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.

Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits di atas hasan.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz mengkritik pernyataan Imam Nawawi di atas, ia berkata, “Ini adalah kesalahpahaman dari Imam Nawawi rahimahullah. Sanad hadits tersebut bukanlah sesuai syarat Muslim. Bahkan hadits tersebut sebenarnya dhoif dengan dua alasan:

1- Hadits tersebut dari riwayat Abu Ja’far, ia adalah perowi yang majhul (tidak jelas).

2- Hadits ini juga dari riwayat Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Ja’far dengan periwayatan ‘an’anah. Seorang perowi mudallis jika ia tidak menegaskan bahwa ia mendengar langsung, maka haditsnya tidak bisa dipakai kecuali terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). (Fatawa Ibnu Baz, 26: 235-237)

Syaikh Al Albani rahimahullah dalam takhrij Riyadhus Sholihin juga menyatakan hadits ini dhoif.

Murid Syaikh Al Albani, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (2: 83) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (638, 4086) dari jalur Thoriq Abu Ja’far, dari ‘Atho’ bin Yasar. Beliau mengatakan bahwa Abu Ja’far tidaklah dikenal, sehingga sanad hadits ini dhoif. Ada dalil yang semakna dari Ibnu Mas’ud di mana diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ

Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.” (HR. Abu Daud no. 637, shahih kata Syaikh Salim)

Shalat dalam Keadaan Isbal

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Seandainya hadits tersebut shahih, maka maknanya adalah ancaman yang keras bagi pelaku isbal di dalam shalat. Hadits yang disebutkan di atas berisi peringatan bagi pelaku isbal. Adapun shalatnya tetap sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan padanya untuk mengulangi shalat, yang diperintah hanyalah mengulangi wudhu. Penafian dalam diterimanya shalat bukan berarti shalat tersebut jadi batal seluruhnya. Karena dalam hadits lain disebutkan, “Siapa saja yang mendatangi tukang ramal lalu ia bertanya ramalan sesuatu, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” Sebagaimana hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya.

Imam Nawawi pun telah menukil adanya ijma’ (konsensus ulama) bahwa shalat orang yang isbal tadi tidak perlu diulangi. Cuma orang yang shalat seperti itu terkena ancaman dan peringatan. Juga terdapat pandangan dari berbagai hadits yang lain yang menunjukkan bahwa tidak diterima shalat dalam hadits yang membicarakan isbal tidaklah menunjukkan batalnya shalat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memerintahkan mengulangi shalat. Begitu pula dalam hadits Ibnu Mas’ud tidak menunjukkan shalatnya diulangi.

Jadi, maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengulangi wudhu cuma sebagai peringatan. Dan wudhu juga dapat meringankan dosa. Nah itu jika dianggap hadits tersebut shahih.” (Fatawa Ibnu Baz, 26: 235-237)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Shalat orang yang isbal itu sah, akan tetapi ia berdosa. Begitu pula seseorang yang memakai pakaian yang haram seperti baju hasil curian, baju yang terdapat gambar makhluk bernyawa, baju yang terdapat simbol salib atau terdapat gambar hewan. Semua baju seperti itu terlarang saat shalat dan di luar shalat. Shalat dalam keadaan isbal tetap sah, akan tetapi berdosa karena mengenakan pakaian seperti itu. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini. Karena larangan berpakaian isbal bukan khusus untuk shalat. Mengenakan pakaian haram berlaku seperti itu saat shalat dan di luar shalat. Dikarenakan tidak khusus untuk shalat, maka shalat tersebut tidaklah batal. Inilah kaedah yang benar yang dianut oleh jumhur atau mayoritas ulama.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 300-301).

Semoga Allah memberikan kepahaman. Hanya Allah yang memberi taufik.

-------------------------

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/20883-apakah-sah-shalat-dalam-keadaan-isbal.html

Share:

Thursday, July 4, 2019

Berusaha Mengamalkan Ilmu

Berusaha Mengamalkan Ilmu
Imam Ahmad rahimahullah berkata,

ما كتبت حديثا إلا وقد عملت به حتى مر بي أن النبي

صلى الله عليه وسلم ) احتجم وأعطى أبا طيبه دينارا فأعطيت الحجام دينارا حين احتجمت

Tidak pernah aku menulis sebuah hadits pun kecuali aku akan berusaha mengamalkan hadits tersebut. Hingga pada suatu ketika, sampai kepadaku sebuah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dan memberi upah kepada Abu Thayyibah (tukang bekam) sebanyak satu dinar, maka aku pun memberikan upah satu dinar kepada tukang bekam setiap kali aku berbekam.”  [Siyar A’laamun Nubala’ 9/213]

Asy-Sya’bi rahimahullah berkata,

كنا نستعين علي حفظ الحديث بالعمل به ، وكنا نستعين على طلبه بالصوم

Kami berusaha menghapal hadits dengan mengamalkannya dan kami berusaha menuntut ilmu dengan bantuan berpuasa.” [‘Awa’iqut Thalab hal. 6, syamilah]

Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]

Allah TIDAK berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”

Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel: www.muslimafiyah.com

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, July 3, 2019

Pahala Membaca Al Qur’an

Pahala Membaca Al Qur’an
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, (beliau berkata), “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ (pemberi syafa’at) bagi yang membacanya.” (HR. Muslim no. 1910)

Sedangkan membaca Al Qur’an sambil diamalkan, maka keutamaannya lebih besar lagi. Dari Abu Musa Al Asy’ariy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5059)

Apalagi jika bukan sekedar membaca tetapi dihafalkan. Di akhirat, hafalannya akan menolong dirinya untuk menggapai derajat mulia. Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914, shahih kata Syaikh Al Albani).

Yang dimaksudkan dengan ‘membaca’ dalam hadits ini adalah menghafalkan Al Qur’an.


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: www.RemajaIslam.Com

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive