Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Monday, August 22, 2022

Bunga Bank BUKAN Riba, Karena Nasabah Ikhlas?

Bunga Bank BUKAN Riba, Karena Nasabah Ikhlas?
Bismillah...

Semua utang yang menuntut adanya kelebihan adalah riba.

Ibnu Qudamah mengatakan,

كل قرض شرط به أن يزيده فهو حرام بغير خلاف

Semua utang yang mempersyaratkan harus dilebihkan (pelunasannya) hukumnya haram tanpa ada perbedaan (sepakat ulama). (al-Mughni, 4/390).

Keterangan lain disampaikan Ibnul Mundzir,

أجمعوا على أن المسلف إذا شرط على المستسلف زيادة أو هدية فاسلف على ذلك أن أخذ الزيادة على ذلك ربا

Ulama sepakat bahwa apabila orang yang memberi utang mempersyaratkan pihak yang dihutangi harus memberi tambahan atau hadiah, kemudian dilakukan transaksi utang piutang dengan kesepakatan itu, maka mengambil tambahan tadi statusnya riba. (al-Ijma’ , hlm. 90).

Semua pengajuan kredit di bank, ada ketentuan harus membayar bunga sekian persen perbulan. Dan sangat jelas ini riba, berdasar sepakat ulama. 

Bunga atas pinjaman ini adalah manfaat yang didapatkan pihak bank karena memberikan dana utangan ke nasabah.

Kita memang tidak bisa mendapatkan keterangan tentang bunga bank di buku-buku klasik. Karena ketika itu belum ada bank. Tapi bisa kita dapatkan dari pernyataan ulama kontemporer yang menjumpai bank. 

Salah satu kesepakatan mereka dinyatakan dalam kitab Ahkam al-Mal al-Haram,

Muktamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo, tahun 1965, hingga muktamar tertinggi di Mekah, yang dihadiri lebih dari 300 ulama besar, menetapkan bahwa semua bunga bank adalah haram.” (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm. 168).

Bukankah Bunga itu Saling Ridha?

Benar, riba itu saling ridha. Dan saling ridha dalam hal ini tidak mengubah hukum riba menjadi halal.

Sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan kepada Abu Burdah ketika beliau berkunjung ke rumahnya Abdullah,

إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari 3603)

Judi juga saling ridha… sebelum bermain, para penjudi bersepakat, siapa yang kalah, harus menyerahkan hartanya. Tapi saling ridha tidak menyebabkan judi menjadi halal.

Sogok dan gratifikasi juga saling ridha… sebelum menang tender, vendor sudah mengikat perjanjian dengan oknum pejabat, akan ada bagi hasil setelah proyek selesai.

Tidak semua akad menjadi halal karena saling ridha. 

Yang dipersyaratkan saling ridha adalah jual beli atau perdagangan. Agar hasilnya halal, disyaratkan pelaku akad harus saling ridha.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain diantara kalian dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian. (QS. an-Nisa: 29)

Dalam ayat di atas, ada 2 syarat agar harta yang kita makan tidak terhitung sebagai harta yang bathil:

  1. Didapatkan dari hasil perdagangan atau jual beli
  2. Dilakukan saling ridha.

Demikian. Allahu a’lam.

Ustadz Ammi Nur Baits

------------------------------

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive