▶️ 1. Bunga
Didalam pinjaman konvensional, pinjaman atau kredit diberikan atas akad pinjaman dan dengan begitu debitur atau peminjam diwajibkan untuk mengembalikannya bersama dengan bunga.
Akan tetapi, didalam prinsip syariah, bunga sama sekali tidak diperbolehkan karena dianggap sebagai riba.
Oleh sebab itu, didalam pinjaman dana tunai syariah tidak mengenal prinsip akad bunga, namun memakai akad murabahah atau jual beli, ijarah wa iqtina atau sewa dengan perubahan kepemilikan serta musyarakah mutanaqishah atau capital sharing.
Didalam akad murabahah, pihak bank bertindak sebagai pembeli benda yang diinginkan oleh debitur atau nasabah.
Kemudian, bank akan menjual benda tersebut kepada pihak nasabah dengan margin harga tertentu. Contoh: seorang nasabah ingin membeli sebuah mobil berhaga Rp 150 juta.
Oleh bank, mobil tersebut akan dibeli yang kemudian akan menjualnya kembali kepada nasabah yang menginginkannya dengan harga Rp 155 juta.
Jumlah tersebut akan diangsur oleh nasabah dalam jangka waktu tertentu. Perbedaan harga atau keuntungan yang ada merupakan keuntungan milik bank.
Didalam ijarah wa iqtina, pihak bank akan membelikan barang yang diinginkan oleh nasabah.
Disini, nasabah hanya harus menyewa benda tersebut selama jangka waktu tertentu. Akan tetapi, setelah barang tersebut digunakan selama jangka waktu tertentu, nasabah bisa memutuskan untuk membelinya.
Didalam prinsip mutanaqishah, baik bank maupun nasabah menaruh modal di dalam suatu hal, misalnya saja bank memberikan pembiayaan sebesar 60% dari pembelian mobil dan pihak nasabah dikenakan 40%.
Di kemudian hari, nasabah dapat membeli porsi kepemilikan bank yang menjadikan mobil tersebut sebagai miliknya pribadi sepenuhnya.
▶️ 2. Berbagi Resiko
Didalam system pembiayaan konvensional, pihak nasabah sepenuhnya menanggung resiko apabila tidak dapat mengembalikan pinjaman.
Didalam prinsip syariah, pihak bank sebagai kreditur juga ikut menanggung sebagian resiko tersebut.
Contoh:
Seorang nasabah meminjam Rp 100 juta dengan kredit konvensional untuk modal usaha. Di sini, nasabah sebagai kreditur diwajibkan untuk membayar kembali pokok pinjaman dengan bunga yang ditentukan meskipun usaha tersebut hanya menghasilkan Rp 75 juta.
Dengan pinjaman dana tunai syariah, jika nasabah meminjam Rp 100 juta untuk modal usaha, maka bank akan turut menanggung sebagian kerugian apabila ternyata usaha tersebut hanya menghasilkan Rp 75 juta.
▶️ 3. Halal
Didalam pembiayaan syariah, dana haruslah disalurkan untuk kepentingan yang halal.
Oleh sebab itu, nasabah wajib menyertakan tujuan penggunaan dana dan pemakaiannya pun juga tidak boleh melenceng dari hal tersebut.
▶️ 4. Ketersediaan Pinjaman
Dalam hal dokumen, baik pinjaman dana tunai syariah maupun kredit konvensional tidaklah jauh berbeda.
Satu hal yang menjadi perbedaan adalah bahwa pinjaman syariah menawarkan produk yang dapat digunakan untuk kepentingan tertentu yang tidak terdapat di dalam pinjaman konvensional, misalnya untuk pendidikan, pembiayaan haji dan umroh dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.
Komunitas Pengusaha Muslim
------------------------------
🟩 Follow Instagram https://instagram.com/kajianislamadina?utm_medium=copy_link
🟩 Gabung dalam WAGroup Kajian ISLAMADINA ▶️ Click https://chat.whatsapp.com/FMoCjNYpVRnEl81yyKtjMl
===============================
Wallahu a'lam bishawab.
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.