Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Tuesday, October 31, 2023

Keutamaan Memperbanyak Sujud dan Caranya

Keutamaan Memperbanyak Sujud dan Caranya
Bismillah...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ

Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah salat.” (HR. Ibnu Majah no. 277, Ad-Darimi no. 655 dan Ahmad (5/282), dari Tsauban)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah salat. Allah ‘Azza Wajalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku. Apakah salatnya sempurna ataukah tidak?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika dalam salatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunah.’ Jika ia memiliki amalan sunah, Allah berfirman, ‘Sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunahnya.’ Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425)

Referensi: https://muslim.or.id/72516-perbanyaklah-bersujud-kepada-allah.html

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa mereka sebagaimana firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku Mahadekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Begitu pula hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

Hendaklah Engkau memperbanyak sujud (perbanyak salat) kepada Allah. Karena tidaklah Engkau memperbanyak sujud karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu.” (HR. Muslim no. 488)

Cara Memperbanyak ‘Sujud’ yang Diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, aku membawakan air wudunya dan air untuk hajatnya. Maka, beliau berkata kepadaku, ‘Mintalah kepadaku.’ Maka aku berkata, ‘Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.’ Beliau bertanya lagi, ‘Adakah permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Tidak, itu saja.’ Maka, beliau menjawab, ‘Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak salat)'” (HR. Muslim no. 489)

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

Tidaklah seorang hamba muslim melakukan salat sunah yang bukan wajib karena Allah sebanyak dua belas rakaat dalam setiap hari, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.’” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadis ini, aku tidak pernah meninggalkan salat-salat tersebut.” (HR. Muslim no. 728)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa merutinkan salat sunah dua belas rakaat dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas rakaat tersebut adalah empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat sesudah zuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sesudah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmidzi no. 414)


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

https://youtu.be/WaLv7lYDA04?si=3onMyJ8QtIipYbO3

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Membantu Orang Berjihad Berarti Dia Ikut Berjihad

Membantu Orang Berjihad Berarti Dia Ikut Berjihad
Bismillah...

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda, 

"Barangsiapa menyiapkan perlengkapan perang untuk orang yang akan berjihad di jalan Allah, berarti dia ikut berperang. Barangsiapa mengurusi keluarga yang ditinggalkan orang yang pergi berperang, berarti dia telah berperang".

(HR. Imam Muslim no. 1895, Bab : Keutamaan membantu Mujahid di jalan ALLAH, Syarh Shahih Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah.  Mereka itulah orang-orang benar".

(QS Al-Ḥujurāt [49]:15)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Maksud Kalimat Husnul Khotimah

Maksud Kalimat Husnul Khotimah
Bismillah...

🌴🌴🌴

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah berkata,

Maksud husnul khotimah (akhir hidup yang baik) BUKANLAH engkau meninggal dunia ketika :

▶️ di masjid,

▶️ di atas sejadah, atau

▶️ engkau meninggal dunia dalam keadaan mushaf ada di hadapanmu.

🌴🌴🌴

Karena sesungguhnya :

▶️ manusia terbaik Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam wafat di atas tempat tidurnya.

▶️ sahabatnya, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq yang merupakan sebaik-baik sahabat juga wafat di atas tempat tidurnya.

▶️ Kholid bin Walid juga wafat di atas tempat tidurnya padahal beliau seorang yang digelari ‘pedang Allah yang terhunus’ dan telah terjun dalam 100 kali peperangan namun tidak pernah mengalami kerugian.

Baca juga

https://rumaysho.com/17637-tanda-husnul-khatimah-dan-suul-khatimah.html


🌴🌴🌴

Akan tetapi husnul khotimah itu adalah :

⏺️ engkau wafat dalam keadaan bersih dari syirik

⏺️ engkau wafat dalam keadaan bersih dari kemunafikan

⏺️ engkau wafat dalam keadaan menghindari Ahli Bid’ah dan bersih dari kebid’ahan

⏺️ engkau wafat dalam keadaan di atas Al Qur’an dan As Sunnah serta mengimani isinya tanpa takwil

⏺️ engkau wafat dalam keadaan kosong dari darah kaum muslimin, harta, dan kehormatan mereka, serta

⏺️ engkau wafat dalam keadaan memenuhi hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya terhadap dirimu.

⏺️ engkau wafat dalam keadaan hati yang bersih, niat yang suci dan akhlak yang mulia tanpa dengki dan dendam kepada seorang muslim.

⏺️ engkau wafat dalam keadaan menjalankan sholat yang lima waktu berjama’ah bagi mereka yang berhak melakukannya berjama’ah, serta

⏺️ engkau wafat dalam keadaan telah menunaikan kewajiban Allah terhadap dirimu.

🌴🌴🌴

Ya Allah.. perbaikilah akhir keadaan kami dalam semua urusan dan lindungilah kami dari kehinaan dunia dan adzab di akhirat.

Ya Allah.. perbaikilah akhir hidup kami dan kembalikanlah kami kepada-Mu dalam keadaan tidak terhina dan terbongkar aib..

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb)


➖➖➖➖➖➖➖➖


قال الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين – رحمه الله تعالى – :

” ليس المقصود من حسن الخاتمة أن تموت و أنت في المسجد أو على سجادة الصلاة أو تموت و المصحف بين يديك .

فقد مات خير البرية جمعاء و هو على فراشه . مات صديقُه الصديقُ أبو بكر و هو خيرُ الصحابة على فراشه . مات خالد بن الوليد على فراشه و هو الملقب بسيف الله المسلول و الذي خاض ١٠٠ معركة و لم يخسر أياً منها .

– و لكِنَّ حُسْنَ الخاتمة :

✓• أن تموتَ و أنت بريءٌ من الشرك .

✓• أن تموتَ و أنت بريءٌ من النفاق .

✓• أن تموتَ و أنت مفارقٌ للمبتدعة بريءٌ من كل بدعة .

✓• أن تموتَ و أنت على الكتاب و السنة و مؤمنٌ بما جاء فيهما دون تأويل .

✓• أن تموتَ و أنت خفيفُ الحمل من دماء المسلمين و أموالِهم و أعراضِهم ، مؤدياً حق الله عليك و حق عباده عليك .

✓• أن تموتَ سليمَ القلب طاهرَ النوايا و حَسَنَ الأخلاق ؛ لا تحملُ غلاً و لا حقداً و لا ضغينةً لمسلم .

✓• أن تصلي خمسَكَ في وقتها مع الجماعة لمن لهم حقُّ الجماعة و تؤدي ما افترضه اللهُ عليك .

اللهم أَحسنْ عاقبتَنا في الأمور كلِّها و أجرْنا من خزي الدنيا و عذابِ الآخرة .

اللهم أَحسنْ خاتمتَنا و ردَّنا إليك مرداً جميلاً غير مخزٍ و لا فاضحٍ .

📚 |[ فتاوى نور على الدرب ]| .


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

🌐 https://bbg-alilmu.com/archives/64868

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Blacklist : Mereka yang Terlaknat dalam Islam (1/10)

Mereka yang Terlaknat dalam Islam (1/10)
Bismillah...

Definisi laknat secara bahasa adalah:

الإِبْعادُ والطَّرْد من الخير وقيل الطَّرْد والإِبعادُ من الله ومن الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء واللَّعْنةُ الاسم والجمع لِعانٌ ولَعَناتٌ ولَعَنه يَلْعَنه لَعْناً طَرَدَه وأَبعده

Menjauhkan dan menyingkirkan kebaikan. Dikatakan : ‘Menyingkirkan dan menjauhkan (jika berasal) dari Allah. Dan (jika berasal) dari makhluk maknanya adalah cacian dan doa’. Laknat adalah kata benda (ism), bentuk jamaknya adalah li’aan dan la’anaat. La’anahu – yal’anahu – la’nan, yaitu menyingkirkannya dan menjauhkannya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 4044].

Adapun secara istilah:

البعد عن رحمة الله تعالى

Menjauhkan dari rahmat Allah ta’ala dan pahala-Nya” [‘Umdatul-Qaariy 22/117; Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah, 2/167; dan Aadaabusy-Syar’iyyah 1/344].

1. Iblis

Allah ta’ala berfirman :

قَالَ لَمْ أَكُنْ لأسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ * قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ * وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk". Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya laknat itu tetap menimpamu sampai hari kiamat" [QS. Al-Hijr : 33-35].

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ * قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ * َخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ * قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ * وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan" [QS. Shaad : 75-78].

2. Orang Kafir

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ * خَالِدِينَ فِيهَا لا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ

Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal didalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh” [QS. Al-Baqarah : 161-162].

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا * خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا

Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal didalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong” [QS. Al-Ahzaab : 64-65].

3. Orang-Orang Kafir dari Bani Israail (Yahudi)

Allah ta’ala berfirman :

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ * كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” [QS. Al-Maaidah : 78-79].

4. Orang Dhaalim yang Berdusta Atas Nama Allah

Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dhalim” [QS. Huud : 18].

Dan kedhaliman yang paling besar adalah menyekutukan Allah ta’ala :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedhaliman yang sangat besar" [QS. Luqman : 13].

5. Orang yang Menyakiti Allah dan Rasul-Nya

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” [QS. Al-Ahzaab : 57].

Orang yang menyakiti Allah itu seperti mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, 

Termasuk juga tuduhan Yahudi bahwa Allah ta’ala itu kikir; sebagaimana firman-Nya :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ

Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki” [QS. Al-Maaidah : 64].

Maksud tangan Allah terbelenggu adalah kikir.

Adapun menyakiti Rasul-Nya itu seperti tuduhan kaum munafiqin bahwa ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa telah berzina. Juga tuduhan kaum kuffar bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tukang sihir, orang gila, dan hinaan-hinaan lainnya sebagaimana dilakukan juga dilakukan oleh kaum kuffar kontemporer [Membuat karikatur Nabi, menuduh beliau pedofilia, dan yang lainnya. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka akan hidayah Islam]


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

https://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/blacklist-mereka-yang-terlaknat-dalam.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Monday, October 30, 2023

Kemenangan dan Kekalahan, Kejayaan dan Kehancuran, Itu Dipergilirkan

Kemenangan dan Kekalahan, Kejayaan dan Kehancuran, Itu Dipergilirkan
Bismillah...

Kemenangan dan kejayaan itu dipergilirkan. Dalil dan sejarah telah mencatat, banyak peperangan di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, kadang meraih kemenangan dan kadang kekalahan menimpa. 

Jika kaum muslimin di zaman Nabi dan para sahabatnya mengalami kekalahan, disitu ada hikmah dan pelajaran yang sangat besar dan supaya ada diantara mereka yang mati syahid, para syuhada. 

Allah Ta'ala berfirman, 

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Surah Ali Imran 140.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, Allah Ta'ala berfirman :

(وتلك الأيام نداولها بين الناس ) أي : نديل عليكم الأعداء تارة ، وإن كانت العاقبة لكم لما لنا في ذلك من الحكم ، ولهذا قال تعالى : وليعلم الله الذين آمنوا ) قال ابن عباس : في مثل هذا لنرى ، أي : من يصبر على مناجزة الأعداء ( ويتخذ منكم شهداء ) يعني : يقتلون في سبيله ، ويبذلون مهجهم في مرضاته . (والله لا يحب الظالمين)

(Dan masa-masa itu, Kami pergilirkan diantara manusia) Yaitu : Kami pergilirkan kemenangan itu bagi musuh kalian atas diri kalian dalam sesekali waktu, sekalipun pada akhirnya akibat yang terpuji kalian peroleh, juga kemenangan. Kami lakukan demikian itu karena kebijaksanaan Kami yang mengandung hikmah (buat kalian). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: (Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 140)).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa dalam kondisi seperti itu kita dapat melihat siapa yang bersabar dan teguh dalam menghadapi musuh-musuh. (Tafsir Ibnu Katsir).

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah, 

فأنتم وإياهم قد تساويتم في القرح، ولكنكم ترجون من الله ما لا يرجون كما قال تعالى: إن تكونوا تألمون فإنهم يألمون كما تألمون وترجون من الله ما لا يرجون ومن الحكم في ذلك أن هذه الدار يعطي الله منها المؤمن والكافر، والبر والفاجر، فيداول الله الأيام بين الناس، يوم لهذه الطائفة، ويوم للطائفة الأخرى؛ لأن هذه الدار الدنيا منقضية فانية، وهذا بخلاف الدار الآخرة، فإنها خالصة للذين آمنوا.

Kalian dan mereka sungguh sama-sama menderita luka, akan tetapi kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan, sebagaimana Allah berfirman, "Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan." -An-Nisa:104-

Dan diantara hikmah lain adalah bahwa dunia ini telah Allah berikan kepada orang yang beriman dan orang kafir, orang baik dan orang jahat. Begitulah Allah menggilir hari (masa kejayaan dan keruntuhan) di antara manusia, hari ini untuk kelompok itu dan hari yang lain untuk kelompok lainnya, karena negeri dunia ini musnah dan fana, hal ini tentunya berbeda dengan negeri akhirat, karena negeri itu khusus bagi orang-orang yang beriman.

وليعلم الله الذين آمنوا هذا أيضا من الحكم أنه يبتلي الله عباده بالهزيمة والابتلاء، ليتبين المؤمن من المنافق؛ لأنه لو استمر النصر للمؤمنين في جميع الوقائع لدخل في الإسلام من لا يريده، فإذا حصل في بعض الوقائع بعض أنواع الابتلاء، تبين المؤمن حقيقة الذي يرغب في الإسلام، في الضراء والسراء، واليسر والعسر، ممن ليس كذلك. ويتخذ منكم شهداء وهذا أيضا من بعض الحكم

Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir). Ini juga di antara hikmah-hikmahnya, yaitu bahwa Allah menguji hamba-hambaNya dengan kekalahan dan musibah, agar nampak jelas antara mukmin dan munafik. Karena bila kemenangan itu selalu bersama kaum Mukminin dalam seluruh peperangannya, niscaya akan masuk ke dalam Islam orang-orang yang tidak menginginkannya, namun apabila terjadi beberapa bentuk cobaan pada beberapa peperangan mereka, niscaya akan jelaslah seorang Mukmin hakiki yang menghendaki Islam, baik dalam kondisi susah dan senang, sulit dan lapang dari orang yang tidak demikian, “dan supaya sebagian kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada (orang-orang yang mati syahid).” 

Hal ini juga merupakan hikmah,

لأن الشهادة عند الله من أرفع المنازل، ولا سبيل لنيلها إلا بما يحصل من وجود أسبابها، فهذا من رحمته بعباده المؤمنين، أن قيَّض لهم من الأسباب ما تكرهه النفوس، لينيلهم ما يحبون من المنازل العالية والنعيم المقيم،... 

Karena syahid di sisi Allah adalah termasuk derajat yang paling tinggi, dan tidak ada jalan untuk memperolehnya kecuali dengan memperoleh sebab-sebabnya. Ini merupakan rahmatNya bagi hamba-hambaNya yang beriman, yaitu dengan membuat untuk mereka sebab-sebab yang dibenci oleh jiwa agar Dia memberikan kepada mereka sesuatu yang mereka sukai dari derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi.. (Tafsir as-Sa'di). 

Dan kunci kemenangan, adalah turunnya pertolongan Allah. Jika Allah Ta'ala telah menurunkan pertolongannya, tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. 

Allah Ta'ala berfirman :

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allah MENOLONG kamu, maka tak adalah orang yang dapat MENGALAHKAN kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (Ali Imran 160).

Pertolongan Allah itu turun kepada orang-orang yang beriman, bersabar (sabar mentaati perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan Allah dan sabar menerima takdir Allah Ta'ala) dan mereka senantiasa bersiap siaga, melatih diri untuk menyongsong serangan musuh.

Allah Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ ۚ إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَٰذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ

Ya (cukup), jika kamu BERSABAR dan BERSIAP-SIAGA, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (Ali Imran 125).

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (An Nahl 127).

Dan Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, BERSABARLAH kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah BERSIAP SIAGA dan BERTAKWALAH kepada Allah, supaya kamu MENANG (beruntung). (Ali Imran 200).


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid021tTuotcJ8qFupS5zRXLc4mhJHHqw4M1jnsNnBU3oByRuHzxjPkm8tuLkjqbaGJMul&id=100063495759389


AFM

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

(Tatkala) Kemenangan Hanya Impian

(Tatkala) Kemenangan Hanya Impian
Bismillah...

Ketika terjadi perang Uhud, awalnya kaum muslimin bisa memukul mundur musuh, namun seketika itu pula, kembali musuh bisa membuat kaum muslimin kocar kacir, membunuh sekitar 70 sahabat terbaik dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terluka parah. 

Apakah kekalahan ini akibat aqidah tauhid mereka rusak? Bukan sama sekali, tetapi akibat satu kesalahan, pasukan pemanah tidak mentaati perintah Rasulullah untuk tetap bertahan di atas gunung. 

Allah Ta'ala berfirman, 

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ ٱللَّهُ وَعْدَهُۥٓ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَٰزَعْتُمْ فِى ٱلْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّنۢ بَعْدِ مَآ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَ ۚ مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ ۖ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ.

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman. (Surat Ali ‘Imran Ayat 152).

Disebutkan dalam Tafsir al Muyassar, 

Dan sungguh Allah telah membuktikan bagi kalian apa yang telah Dia janjikan bagi kalian berupa kemenangan,ketika kalian berhasil membunuh orang-orang kafir di Perang Uhud dengan izin Allah ta’ala,sampai akhirnya kalian menjadi pengecut dan semangat mengendur untuk mengarungi laga peperangan dan kalian berselisih pandangan, apakah bertahan pada posisi-posisi kalian atau meninggalkannya untuk ikut mengumpulkan harta rampasan perang bersama dengan orang-orang yang mengumpulkannya? Dan kalian melanggar perintah Rosul kalian tatkala memerintahkan kalian untuk tidak meninggalkan tempat-tempat kalian dalam keadaan apapun, maka menimpalah kepada kalian kekalahan setelah sebelumnya Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian senangi,yaitu kemenangan. Dan menjadi jelas bahwa di antara kalian sesungguhnya ada orang yang menginginkan harta rampasan dan sesungguhnya ada juga yang menghendaki akhirat dan pahala nya. Kemudian Allah memalingkan wajah-wajah kalian dari musuh kalian untuk menguji kalian. Dan sesungghnya Allah mengetahui penyesalan dan taubat kalian,lalu Dia memaafkan kalian. Dan Allah itu mempunyai karunia besar bagi kaum Mukminin. (Tafsir Al Muyassar). 

Nah bagaimana lagi dengan sebagian kaum muslimin sekarang, bukan hanya satu kesalahan, tetapi seabrek dosa dan maksiat, ditambah lagi aqidah tauhid mereka, yang jauh dibandingkan dengan para sahabat, sehingga wajar, kemenangan melawan musuh-musuh Allah hanya sekedar hanya impian belaka. 

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ,

وقد حصلت هزيمة المسلمين لمعصية واحدة ونحن الآن نريد الانتصار والمعاصي كثيرة عندنا!

"Dan sungguh telah terjadi kekalahan yang menimpa umat Islam disebabkan oleh satu kemaksiatan (dalam perang Uhud).

Kemudian sekarang kita mencita-citakan KEMENANGAN sementara KEMAKSIATAN banyak terjadi di tengah-tengah kita?!" (Al-Qoulul Mufid fi Syarhi Kitab at-Tauhid 1/289).

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

فلما ظهر النفاق والبدع والفجور، المخالف لدين الرسول؛ سُلِّطت عليهم الأعداء

Maka tatkala kenifakan, kebid'ahan dan kemaksiatan telah tampak (secara terang-terangan), yang menyelisihi agama Rasul, pasti mereka DIKUASAI musuh-musuh. Majmu' Fatawa 13/178. Lihat lengkapnya baca disini http://iswy.co/e13kcf


https://www.facebook.com/100063495759389/posts/pfbid0v7WusqZK9Yd3sKMEM5T37erwGQW88drWfZH6UyStmJqnVyqgqHs5auokaU7tZhR3l/


AFM

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Laknat (3)

Laknat
Bismillah...

Melaknat Orang Muslim yang Bermaksiat atau Berbuat Kefasikan Secara Mu’ayyan

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melaknat orang muslim yang berbuat maksiat secara spesifik (mu’ayyan). Jumhur ulama melarangnya, sedangkan yang lain membolehkannya.

a. Pendapat yang Melarang.

Ulama yang melarang berdalil dengan hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu di atas tentang pemabuk yang dihukum cambuk. Dalam hadits tersebut jelas disebutkan larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melaknatnya, karena ia seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وأما الفاسق المعين فلا تنبغى لعنته لنهى النبى أن يلعن عبدالله بن حمار الذى كان يشرب الخمر

Adapun orang fasiq mu’ayyan, maka tidak boleh melaknatnya karena adanya larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melaknat ‘Abdullah bin Himaar yang biasa meminum khamr” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/511].

Begitu juga Ibnul-‘Arabiy rahimahullah yang berdalil dengan hadits tersebut untuk menegaskan ketidakbolehannya:

فأما العاصي المعين، فلا يجوز لعنه اتفاقا

Adapun orang yang bermaksiat mu’ayyan, maka tidak boleh melaknatnya berdasarkan kesepakatan” [Ahkaamul-Qur’aan, 1/75].

Namun klaim ijmaa’ Ibnul-‘Arabiy rahimahullah ini tidak benar.

Ketika menjelaskan hadits pelaknatan terhadap pencuri, An-Nawawiy rahimahullah berkata:

هَذَا دَلِيل لِجَوَازِ لَعْن غَيْر الْمُعَيَّن مِنْ الْعُصَاة ، لِأَنَّهُ لَعْن لِلْجِنْسِ لَا لِمُعَيَّنٍ ، وَلَعْن الْجِنْس جَائِز كَمَا قَالَ اللَّه تَعَالَى : { أَلَا لَعْنَة اللَّه عَلَى الظَّالِمِينَ } وَأَمَّا الْمُعَيَّن فَلَا يَجُوز لَعْنه

Ini adalah dalil bolehnya melaknat orang yang bermasiat tanpa penyebutan secara mu’ayyan, karena ia termasuk laknat terhadap jenis, bukan terhadap indidu tertentu. Dan pelaknatan terhadap jenis diperbolehkan sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dhalim’ (QS. Huud : 18). Adapun laknat secara individu (mu’ayyan), maka tidak diperbolehkan” [Syarh Shahiih Muslim, 11/185].

Selain hadits peminum khamr, para ulama yang melarang juga berdalil dengan hadits-hadits yang melarang adanya pelaknatan – yang diantaranya telah disebutkan diatas - .

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيْسَ بِاللَّعَّانِ وَلَا الطَّعَّانِ، وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ "

Dari ‘Abdullah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/416; shahih].

Juga hadits ini:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، وَامْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى نَاقَةٍ، فَضَجِرَتْ، فَلَعَنَتْهَا، فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ

Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : "Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Tiba-tiba unta ngadat. Lalu wanita itu melaknatnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengarnya lalu bersabda: 'Ambil beban yang ada diatas onta itu dan lepaskanlah, karena ia telah dilaknat'" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2595].

Jika binatang saja tidak boleh dilaknat, apalagi manusia ?.

b. Pendapat yang Membolehkan.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وقد تنازع الناس في لعنة الفاسق المعين فقيل إنه جائز كما قال ذلك طائفة من أصحاب أحمد وغيرهم كأبي الفرج بن الجوزي وغيره

Orang-orang berselisih pendapat tentang masalah laknat terhadap orang fasiq secara mu’ayyan. Dikatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan sebagaimana dikatakan sekelompok ashhaab Ahmad dan yang lainnya, seperti Abul-Faraj bin Al-Jauziy dan yang lainnya” [Minhaajus-Sunnah, 4/569].

Dalilnya yang mereka jadikan sandaran diantaranya:

Firman Allah ta’ala:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ * وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta” [QS. An-Nuur : 7].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ "

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjang, namun si (istri) enggan memenuhinya sehingga si suami tidur malam dalam keadaan marah, maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3237].

Sisi pendalilan : Jika melaknat secara mu’ayyan merupakan perbuatan yang dilarang/diharamkan dalam syari’at, niscaya malaikat tidak akan melakukannya.

عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى الْكَعْبَةِ وَهُوَ يَقُولُ: وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ، لَقَدْ " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَمَا وُلِدَ مِنْ صُلْبِهِ "

Dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Az-Zubair dalam keadaan bersandar ke Ka'bah, berkata : "Demi Dzat yang memiliki Ka’bah ini, sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah melaknat si Fulan dan yang dilahirkan dari tulang rusuknya" [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/5; sanadnya shahih].

Dalam hadits ini, dikhabarkan beliau dengan jelas pernah melaknat seseorang secara personal.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ، فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ، فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ فَعَلَ اللَّهُ بِهِ وَفَعَلَ وَفَعَلَ فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ، فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan perihal tetangganya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pulang dan bersabarlah". Orang itu kembali mendatangi beliau sampai dua atau tiga kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya : "Pulang dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan". Maka orang itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya. Ia kemudian menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata : “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5153, Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 124, dan lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/264].

Abu Hurairah mempunyai syahiid dari Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhumaa yang padanya disebutkan bahwa si tetangga tersebut akhirnya menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan laknat orang-orang kepada. 

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:

إِنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ فَوْقَ لَعْنَتِهِمْ

Sesungguhnya laknat Allah diatas laknat mereka”.

Di lain riwayat:

قَدْ لَعَنَكَ اللَّهُ قَبْلَ النَّاسِ

Sungguh, Allah telah melaknatmu sebelum orang-orang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 125, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 4235, Ath-Thabaraaniy dalam Makaarimul-Akhlaaq no. 236, dan yang lainnya; Al-Albaaniy mengatakan : ‘hasan shahih’ dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 71-72].

Sisi pendalilannya : Adanya taqrir beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas laknat orang-orang kepada si tetangga jahat tadi.

عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِي وَجْهِهِ، فَقَالَ: " لَعَنَ اللَّهُ الَّذِي وَسَمَهُ "

Dari Jaabir : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berpapasan dengan seekor keledai yang dicap dengan besi panas di wajahnya. Maka beliau bersabda : “Allah melaknat orang yang melakukannya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2117].

Disini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan adanya laknat Allah terhadap orang tertentu yang telah melakukan pengecapan besi panas di wajah keledai yang beliau temui – meski orang tersebut tidak bertemu beliau waktu itu.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ مِنْ مَنْزِلهِ، فَمَرَرْنَا بِفِتْيَانٍ مِنْ قُرَيْشٍ، نَصَبُوا طَيْرًا يَرْمُونَهُ، وَقَدْ جَعَلُوا لِصَاحِبِ الطَّيْرِ كُلَّ خَاطِئَةٍ مِنْ نَبْلِهِمْ، قَالَ: فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَلَ هَذَا

Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : Aku keluar bersama Ibnu ‘Umar dari tempat kediamannya. Lalu kami melewati beberapa orang pemuda Quraisy yang sedang mengikat seekor burung untuk melemparinya dengan panah. Mereka membayar setiap bidikan yang meleset kepada pemilik burung. Saat melihat Ibnu ‘Umar, mereka pun bubar. Ibnu ‘Umar berkata : “Siapa yang melakukan ini ? Allah melaknat orang yang melakukan ini…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1958, Ahmad 2/56].

Laknat Ibnu ‘Umar ini diucapkan spesifik terhadap para pemuda Quraisy yang ia temui.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang membolehkannya, jika hanya sesekali jika ada kemaslahatan dan tidak sering melaknat.

 karena memang terbukti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melaknat pelaku kemaksiatan secara spesifik dan mentaqrir sebagian shahabat yang melakukannya. Namun, jika pelaku kemaksiatan telah meninggal dunia, tidak boleh dilaknat dan dicaci karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

Janganlah engkau mencaci orang yang telah mati, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka lakukan dahulu (di dunia)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1393 & 6516].

Tentang pendalilan jumhur, maka itu dapat dijawab:

1. Hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu hanyalah mengkhabarkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melaknat ‘Abdullah Al-Himaar, dengan alasan ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan memang tidak semua pelaku kemaksiatan dari kaum muslimin harus dilaknat.

Selain itu, shahabat tersebut adalah shahabat yang ikut serta dalam perang Badr. Namanya yang sebenarnya adalah An-Nu’aimaan bin ‘Amru bin Rifaa’ah bin Al-Haarits. Kedudukannya dan apa yang dilakukannya adalah seperti Haathib bin Abi Balta’ah yang membocorkan penyerangan kaum muslimin kepada saudara-saudaranya di Makkah.

2. Tentang hadits larangan melaknat, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, maka itu berlaku pada orang yang sering melaknat, bukan orang yang hanya sesekali jika ada kemaslahatan.

3. Tentang hadits larangan ‘Imraan bin Hushain, maka benar di sini terkandung larangan melaknat binatang tanpa alasan yang dibenarkan. Akan tetapi dimanakah sisi pelarangan dari hadits ini tentang melaknat orang yang melakukan kemaksiatan secara mu’ayyan ?.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun melaknat pelaku kemaksiatan itu diperbolehkan, maka kita tidak memperbanyaknya dan menjadikan perhiasan dalam perkataan kita. 

Kita dapat mencontoh Nabi kita – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – yang sangat jarang mengucapkan kata-kata laknat. Jika tidak ada maslahat, alternatif diam jauh lebih daripada mengumbar lisan.

لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا

Tidak selayaknya bagi seorang yang shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau diam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6018].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Semoga ada manfaatnya.


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

https://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/11/laknat.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

HANYA Allah Sebaik-baik Penolong

HANYA Allah Sebaik-baik Penolong
Bismillah...

Tak selamanya orang-orang yang dekat denganmu, akan senantiasa dapat menemanimu..

Tak selamanya orang-orang yang bersamamu, akan selalu dapat mengerti keadaanmu..

Tak selamanya orang-orang yang biasa menolongmu, ia akan hadir menolongmu..

Demikianlah, sedekat apapun, sekuat apapun dan sehebat apapun manusia, sejatinya ia tetap memiliki keterbatasan..

Karena itulah, jangan berharap sepenuhnya kepada manusia. Tapi berharaplah sepenuhnya kepada Allah..

Sebab akan ada saatnya, dimana kamu sendiri menghadapi masalah yang berat, dan tak seorangpun dapat menemanimu..

Ada saatnya, dimana kamu sendiri mengalami sebuah kekecewaan yang mendalam, dan tak seorangpun dapat mengerti keadaanmu..

Ada saatnya dimana kamu sendiri menjalani sakit yang tak kujung sembuh, dan tak seorangpun dapat menolongmu..

Dan pada saat itulah kamu mulai menyadari, bahwa tiada yang mampu menemanimu, mengerti keadaanmu dan yang senantiasa dapat menolongmu kecuali Allah..

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ..

"Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung".

```(QS. Ali’Imran: 173)```

Hanya Allah sebaik-baiknya tempat memohon..

Hanya Allah sebaik-baiknya tempat berharap..

Hanya Allah sebaik-baiknya penolong..

Maka sandarkan semua keluh kesahmu, sakitmu, bebanmu, kesempitanmu dan semua masalahmu kepada Allah, sebelum engkau berharap kepada makhluknya..


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

✍🏼 Habibie Quotes

Ig - www.instagram.com/habibiequotes_

Tg - https://t.me/habibiequotes


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

🌐 https://bbg-alilmu.com/archives/64858

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Mutiara Salaf : Makna Sabar

Mutiara Salaf : Makna Sabar
Bismillah...

🌴🌴🌴

Allah Ta’ala berfirman 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar..” (Qs Al Baqoroh: 153)

Ibnu Katsir rohimahullah menjelaskan,

Kesabaran itu ada 2 macam :

🌴🌴🌴

⏺️ PERTAMA : sabar dalam meninggalkan berbagai hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.

🌴🌴🌴

⏺️ KEDUA : sabar dalam berbuat ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Jenis (sabar) yang kedua ini lebih besar pahalanya, karena inilah yang dimaksudkan.

🌴🌴🌴

Ada juga kesabaran jenis 

⏺️KETIGA, yaitu kesabaran dalam menerima dan menghadapi berbagai macam musibah dan cobaan. Yang demikian itu pun wajib, seperti istighfar dari berbagai aib. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrohman bin Zaid bin Aslam mengenai dua pintu kesabaran, yaitu :

▶️ pertama : sabar menjalankan hal-hal yang disukai Allah meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga, dan

▶️ kedua : sabar dalam menghindari hal-hal yang dibenci Allah meskipun sangat diinginkan oleh hawa nafsu.

🌴🌴🌴

Jika seseorang melakukan hal itu, maka dia benar-benar termasuk orang-orang sabar yang insyaa Allah akan memperoleh keselamatan..

(Tafsir Ibnu Katsir – ayat 153 – 2/414)


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

🌐 https://bbg-alilmu.com/archives/64858

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

 

Share:

Sunday, October 29, 2023

Menyikapi Penguasa Yang Dhalim

Menyikapi Penguasa Yang Dhalim
Bismillah...

Tanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat ?

Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :

يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].

Lantas, bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empatbelas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ

Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl”  [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

Didalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].

عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ

Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. 

Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat [HR. Muslim no. 1846].

Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf. [1] 

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ

Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]. [2]

Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :

وفيه : أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة الإمام ))

Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. 

Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].

Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :

وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه

Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].

Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ketika terjadi fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur Mu’tazillah dan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para penguasa banyak menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur [3]. 

Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan :

أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !

فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر

وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار

Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk [4] dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].

Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat" ; dan yang semisalnya.  Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.

Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].

Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu).

عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه

Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. 

Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan dihadapanmu? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]. [5]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.

Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].

Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits diatas sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi :

إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر

Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].

Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.

Kita tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala Yahudi yang menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal tersebut dan memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis dan cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.

Kesimpulan : Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu a’lam.


DIALOG LANJUTAN

Tanya : Saya setuju dengan pernyataan taat kepada pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang masih berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang) ? Dan tolong hubungkan dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?

Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :

إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. 

Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. 

Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah [HR. Muslim no. 1843].

Imam An-Nawawi berkata :

والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم

Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian" [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]

Beliau kemudian melanjutkan :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

Didalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, 12/232].

Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang mesti diperbuat oleh kaum muslimin ketika menemui atsarah ini ? Keluar dari ketaatan ? atau bahkan memberontak (kudeta) ? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at Islam – tetap memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf, selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir) dan masih menegakkan shalat.

عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. 

Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur ketaatan terhadap penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling agung (setelah ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah diberikan kecuali pada seorang muslim.

Adapun tentang firman Allah ta’ala :

وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS. Al-Maidah : 44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Maidah : 45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maidah : 47] [10]

Maka ayat diatas juga tidak memutlakkan setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah).

Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :

فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله

Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]. [11]

Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat). 

Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut :

Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :

وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.

Firman Allah ta’ala : Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].

Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :

أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق

"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir 2/366]. Dan lain-lain [12].

Jika ada orang yang berkata : "Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?". 

Maka kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar)".

Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين

"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].

Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]

Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan hadits :

لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة

Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no. 22214; shahih].

Perhatikanlah ! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir) hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa bagiannya. Nash ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi pemahaman bagi kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan (yaitu QS. Aali Imran : 118) menjadi sangat mudah. 

Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan : 118].

Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min duunikum di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali ‘Imran : 118].

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus Islam dan menegakkan shalat.

Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. 

Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. 

Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]

Wallaahu a’lam.


[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H].


Referensi:

[1]     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إنما الطاعة في المعروف

Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].

[2]     Sebagian orang ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya secara keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak benar. Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة

Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].

[3]     Misalnya dapat dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi yang tersebar dalam beberapa juznya.

[4]     Perkataan ini adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.

[5]     Ibnu Hajar berkata [أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة] “Yaitu pintu mengingkari para penguasa dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13 penjelasan hadits nomor 6685].

[6]     Pengertian atsarah yang diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.

Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan makna Atsarah : “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].

[7]     Kekufuran yang nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur akbar), secara yakin tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memalingkannya dari kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan hujjah yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran. Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut tidaklah bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang tersebut tidaklah berlaku.

[8]     Sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :

لو استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا

Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].

Maka kita jawab : 

Pertama, Satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz. Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. 

Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan. Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]. Intinya, bahwa seorang pemimpin itu harus tetap didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika ia masih menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.

[9]     Perhatikan hadits berikut :

عَنْ جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].

[10]    Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya adalah “tidak berhukum”. Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari sekedar pada orang yang memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

[11]    Namun anehnya, mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah ? 

[12]    Apabila tidak khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.

[13]    Sesuai dengan kaidah dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).

[14]    Hadits ini merupakan puncak pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu kami tekankan bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami jelaskan ini bukan untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan oleh sebagian pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh Sunnah


=====🌴🌴🌴🌴🌴=====

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/menyikapi-penguasa-yang-dhalim-tanya.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive