Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Friday, November 30, 2018

Bolehkah Mengganti Zakat Fitrah Dengan Uang? - Bag.2

Bolehkah Mengganti Zakat Fitrah Dengan Uang? - Bag.2
Lanjutan dari Bagian-1...

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:

1. Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.

2. Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.

Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:

🔘 Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.

⚜ Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

⚜ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

⚜ Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

⚜ Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)

⚜ Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….” (H.r. Al-Bukhari, no. 2311)

🔘 Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.

1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.

Allah berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)

Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Mengganti Zakat Fitrah Dengan Uang? - Bag.1

Bolehkah Mengganti Zakat Fitrah Dengan Uang? - Bag.1
Assalamu ‘alaikum. Ustadz, bagaimana jika saya membayar zakat fitrah dengan uang, bukan dengan makanan pokok? Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.

Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?

🔰 Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

🔰 Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?

Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:

1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.

2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:

Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang:

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Ahmad

Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)

Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.

Beberapa perkataan ulama lain:

👤 Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah  dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)

👤 Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)

👤 An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)

👤 An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)

👤 Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berqurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)

👤 Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)

👤 Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan. (As-Sailul Jarar, 2:86)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)


Bersambung ke Bagian-2...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Akhir-akhir ini sudah banyak lembaga zakat yang membuka stand untuk menampung muslimin yang ingin mengeluarkan zakat fitrahnya. Mereka berpendapat bahwa zakat fitrah sudah boleh dikeluarkan mulai sekarang (sebelum id), karena jika semua orang mengeluarkan zakat fitrahnya secara bersamaan pada saat malam menjelang id, amil zakat akan sangat kesulitan mendistribusikan zakat-zakat tersebut.

Pertanyaan:
1. Apakah hal ini diperbolehkan, Ustadz?
2. Lebih baik manakah: mengeluarkan zakat fitrah di tempat kita tinggal atau di lokasi lain? Misal, saya tinggal di Denpasar, lalu sebelum id, saya akan mudik ke Jawa, lebih baik di manakah zakat fitrah saya keluarkan?
Syukron, jazakumullohu khoiron.

Abu Fawzan (fawzan@.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Waktu mulai menunaikan zakat fitri (zakat fitrah)

Penamaan yang ditunjukkan dalam hadis untuk zakat ini adalah “zakat fitri” (arab: زكاة الفطر ), bukan “zakat fitrah”. Gabungan dua kata ini ‘zakat fitri’ merupakan gabungan yang mengandung makna sebab-akibat. Artinya, penyebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadan (berhari raya).” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 23, hlm. 335, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait).

Berdasarkan pengertian di atas, zakat fitri ini (zakat fitrah) disyariatkan disebabkan adanya “fitri”, yaitu waktu selesainya berpuasa (masuk hari raya). Rangkaian dua kata ini ‘zakat fitri’ mengandung makna pengkhususan. Artinya, zakat ini khusus diwajibkan ketika ada waktu fitri. Siapa saja yang menjumpai waktu fitri ini, zakat fitrinya wajib ditunaikan. Sebaliknya, siapa saja yang tidak menjumpai waktu fitri maka tidak wajib baginya ditunaikan zakat fitri.

Kapan batas waktu “fitri” (zakat fitrah)?

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu “fitri” adalah waktu sejak terbenamnya matahari di hari puasa terakhir sampai terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal. (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi, 7:58)

Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) di awal Ramadan. Dalam Fatawa Arkanul Islam Syekh Ibnu Utsaimin, hlm. 434, jawaban beliau termuat, “Zakat fitri (zakat fitrah) dikaitkan dengan waktu ‘fitri’ karena waktu ‘fitri’ adalah penyebab disyariatkannya zakat ini. Jika waktu fitri setelah Ramadan (tanggal 1 Syawal) merupakan sebab adanya zakat ini, itu menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) ini terikat dengan waktu fitri tersebut, sehingga kita tidak boleh mendahului waktu fitri.

Oleh karena itu, yang paling baik, waktu mengeluarkan zakat ini adalah pada hari Idul Fitri, sebelum melaksanakan shalat. Hanya saja, boleh didahulukan sehari atau dua hari sebelum shalat id, karena ini akan memberi kemudahan bagi pemberi dan penerima zakat. Adapun sebelum itu –pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah– tidak boleh.

Berdasarkan keterangan ini, waktu menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) ada dua:
  1. Waktu boleh, yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya.
  2. Waktu utama, yaitu pada hari hari raya sebelum shalat.
Adapun mengakhirkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) sampai setelah shalat maka ini hukumnya haram dan zakatnya tidak sah. Berdasarkan hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,

‎من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

Barang siapa yang menunaikan zakat fitri sebelum shalat maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya hanya sedekah.’ (H.r. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Kecuali bagi orang yang tidak tahu tentang hari raya, seperti orang yang tinggal di daratan terpencil, sehingga dia agak telat mengetahui waktu tibanya hari raya, atau kasus semisalnya. Dalam keadaan ini, diperbolehkan menunaikan zakat fitri setelah shalat id, dan statusnya sah.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Puasa Tidak Sah, Kalau Tidak Zakat Fitrah?

Puasa Tidak Sah, Kalau Tidak Zakat Fitrah?
Benarkah puasa kita tidak sah jika tidak bayar zakat fitrah? Mohon penjelasannya…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat beberapa dalil yang menyatakan demikian. Diantaranya,

Hadis dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

‎شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، لَا يُرْفَعُ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

Bulan Ramadhan terkatung-katung antara langit dan bumi, tidak diangkat kecuali dengan zakat fitrah.”

Keterangan: Hadis ini diriwayatkan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus (no. 901), juga disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Ilal al-Mutanahiyah (no. 824), dan dinilai dhaif oleh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah (no. 433).

Al-Munawi menyebutkan keterangan Ibnul Jauzi,

‎لا يصح ، فيه محمد بن عبيد البصري مجهول

Hadis ini tidak sah. Di sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Ubaid al-Bashri, dan dia majhul.” (Faidhul Qadir, 4/219)

Kemudian juga disebutkan dalam hadis yang lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

‎لَا يَزَالُ صِيَامُ الْعَبْدِ مُعَلَّقًا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى يُؤَدِّيَ زَكَاةَ فِطْرِهِ

Puasa hamba akan selalu terkatung-katung di antara langit dan bumi, sampai zakat fitrahnya ditunaikan.

Keterangan: Hadis ini diriwayatkan an-Na’ali (orang Syiah) dan status hadisnya mungkar (al-Ilal al-Mutanahiyah, Ibnul Jauzi no. 8233) dan dinilai dhaif oleh al-Albani (as-Silsilah ad-Dhaifah, no. 8).

Mengingat semua hadis di atas bermasalah, para ulama tidak menjadikannya sebagai dalil.

Karena itulah, zakat fitrah bukan syarat diterimanya puasa. Sehingga puasa seseorang tetap sah, sekalipun dia tidak membayar zakat fitrah. Hanya saja, dia melakukan pelanggaran.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‎فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud 1609; Ibnu Majah 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang membayar zakat fitrah setelah shalat id, tidak sah sebagai zakat fitrah, karena disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sedekah biasa, meskipun tidak mempengaruhi puasanya.

Imam al-Albani mengatakan,

‎ثم إن الحديث لو صح لكان ظاهر الدلالة على أن قبول صوم رمضان متوقف على إخراج صدقة الفطر ، فمن لم يخرجها لم يقبل صومه ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يقول به

Jika hadis di atas shahih, berarti maknanya bahwa diterimanya puasa tergantung dari pembayaran zakat fitrah. Sehingga siapa yang tidak membayar zakat fitrah, puasanya tidak diterima. dan saya tidak mengetahui adanya satupun ulama yang mengatakan pendapat ini. (as-Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, no. 43)

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

14 Tanya Jawab Ringkas Masalah Berkaitan I'tikaf

14 Tanya Jawab Ringkas Masalah Berkaitan I'tikaf
Berikut ini adalah permasalahan-permasalahan dari beberapa pertanyaanku (Berkaitan i'tikaf) kepada Syeikhuna Al'Allaamah Sholeh bin Muhammad Al Luhaidaan Hafidzohullah.

Dan aku telah meminta izin kepada Guruku untuk menyebarkannya dan Beliau mengizinkan aku pada hari Ahad 15 Romadhon 1435 H

Aku memohon kepada Allah Ta'ala agar memberikan manfaat dengannya serta membalas bagi guruku sebaik-baik balasan.

----------

❉①❉
⭕Bila bermulanya waktu I'tikaf ?

Jawab : Dimulai sejak subuh pagi hari tanggal 21 Ramadhan.

❉②❉
⭕Berapa lama paling sedikitnya waktu I'tikaf?

Jawab : Tidak ada keterangan dalil tentang paling sedikitnya waktu i'tikaf.

Bagi seorang muslim jika ia ingin melakukannya menjadikan waktunya sehari semalam.

Berkata Beliau pada waktu yang lain:
❗Aku memandang bahwa paling sedikit waktu i'tikaf sehari semalam kerana i'tikaf adalah menetap di Masjid untuk ketaatan kepada Allah Ta'ala.
Kalau seseorang ingin i'tikaf maka hendaknya memperbanyak berdiam di Masjid.

❉③❉
⭕Apa hukum Safar untuk tujuan i'tikaf kepada selain Masjid yang tiga?

Jawab : Tidak boleh melakukan perjalanan safar untuk i'tikaf  kecuali ke: Masjidil Harom atau Masjid Nabawy atau Masjid Al Aqsho.

❉④❉
⭕Apa hukum i'tikaf di Masjid yang tidak dilaksanakan didalamnya sholat jum'at?

Jawab: yang afdhol i'tikaf dilakukan di Masjid jami' yang ditegakkan (didalamnya) solat jum'at dan tidak beri'tikaf di Masjid selain Masjid jami'.

Baca juga : Mengetahui Perbedaan Antara Masjid dan Mushola

❉⑤❉
⭕Apakah sah i'tikaf di kamar yang berada dalam Masjid ?

Jawab : kalau kamar tersebut didalam Masjid dimana ketika pintunya dibuka  masih didalam lingkungan Masjid maka ia bagian dari Masjid dan boleh i'tikaf didalamnya.
Adapun jikalau kamarnya diluar masjid dan tidak didalam masjid maka tidak sah i'tikaf didalamnya.

❉⑥❉
⭕Apakah orang yang (sedang) i'tikaf boleh ke halaman teras Masjid?

Jawab : kalau teras itu masih bagian dari Masjid dan bukan luar Masjid maka boleh keluar ke tempat tersebut.

❉⑦❉
⭕Apakah i'tikaf batal kerana niat?

Jawab : Barangsiapa yang berniat memutuskan i'tikafnya maka batal i'tikafnya sebagaimana ia berniat memutuskan solatnya maka batal solatnya.

❉⑧❉
⭕Apakah boleh keluar dari tempat i'tikaf untuk perkara yang mesti dikerjakan ?

Jawab : Dibolehkan bagi orang yang i'tikaf untuk keluar dari tempatnya dan pergi ke rumahnya untuk perkara yang harus dikerjakannya seperti makan dan minum dan semisalnya.

❉⑨❉
⭕Apakah boleh membuat syarat dalam i'tikaf?

Jawab : Wajib bagi seorang insan mencontoh Nabi ﷺ dalam beri'tikaf dan perkara yang lainnya, hendaklah beri' tikaf sebagaimana i'tikafnya Nabi 'alaihissolaatu wassalaam.

❉⑩❉
⭕Apakah boleh bercerita dengan teman di tempat i'tikaf ?

Jawab : Semua ucapan akan dihitung atas orang yang mengucapkannya. Dan ucapan yang afdhol adalah semua dzikrullah.
❗Maka wajib bagi orang yang sedang i'tikaf menyibukkan diri dengan dzikrullah. Dan tidak ada larangan berbicara dalam perkara mubah kalau diperlukan, akan tetapi mengurangi berbicara adalah lebih utama.

❉⑪❉
⭕Apakah disyaratkan puasa dalam i'tikaf ?

Jawab : Tidak disyaratkan berpuasa bagi orang yang i'tikaf kalau di selain Ramadhan.

❉⑫❉
⭕Apakah benar hadist (tidak sah i'tikaf kecuali di tiga Masjid )?

Jawab : Hadist ini TIDAK SHAHIH.

❉⑬❉
⭕Bila selesainya waktu i'tikaf ?

Jawab : Selesainya i'tikaf dengan terbenamnya matahari akhir Ramadhan. Apabila telah terbenam maka boleh bagi orang yang i'tikaf keluar dari tempatnya.

❉⑭❉
⭕Apakah boleh mengqadha' i'tikaf bagi yang belum i'tikaf ?

Jawab : I'tikaf tidak diqadha' kecuali kalau berupa Nadzar.

و اللـــه أعلــــم و العلـــــم عند اللــــه

                                        ✺✽✺

Ditulis oleh : Asy Syaikh Badr bin Muhammad Al Badr hafidzahullah

الحمـــــد لله و الصـــلاة و الســــلام على من لا نبي بعــــــده

✏ Diterjemahkan secara ringkas oleh Al-Ustadz Abu Hammam Al Atsary -hafidzahullah-

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Kenapa Pahala Puasa Unlimited?

Kenapa Pahala Puasa Unlimited?
Allah سبحانه و تعالى berfirman dalam surah Az Zumar:

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Hanyalah mereka orang2 yang bersabar yang Allah akan tunaikan ganjaran pahala untuk mereka tanpa batas (QS.AzZumar:10)

Subhaanallah, orang2 yg bersabar, pahala mereka tanpa batas. Demikian pula dengan orang2 yg melaksanakan ibadah puasa, pahala mereka tanpa batas. Ayat ini banyak dijadikan dalil oleh para ulama ttg pahala2 ibadah puasa yg begitu besar tanpa batas.

Kenapa?

Karena orang2 yg berpuasa, mereka telah mengumpulkan semua jenis kesabaran. Ibadah puasa ibarat sebuah kanvas yg diatasnya tergambar semua lukisan ttg kesabaran.

Kita tahu kesabaran itu ada 3:
  1. Sabar di atas ketaatan
  2. Sabar menahan diri dari kelalaian
  3. Sabar di atas cobaan, ujian, dan penderitaan yang Allah سبحانه و تعالى turunkan kepadanya.
Seseorang harus bersabar di atas ketaatan, melaksanakan perintah Allah سبحانه و تعالى, untuk berpuasa, melaksanakan kewajiban-kewajiban selama berpuasa, termasuk sholat 5 waktu, kemudian dia harus bersabar menahan diri dari kelalaian yg bisa menghanguskan pahala puasanya, dia harus bersabar diri untuk tidak melakukan ghibah, tidak melakukan namìmah, propaganda, dst. Dia harus bersabar menahan letihnya, menahan rasa laparnya, dan juga rasa dahaganya.

Semua kesabaran ini, ada dalam ibadah puasa, sehingga tidak heran Allah سبحانه و تعالى juga mengatakan :

فإنه لي و أنا أجزي به

Ibadah puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yg akan memberikan balasannya.

Kenapa?

Kata Al Imam Badaruddin Al Hanafi رحمه الله تعالى :

إذ عظمة المعطى دليل على عظمة المعطي

Karena, besarnya ganjaran, besarnya pemberian menunjukkan kebesaran dan keagungan Dzat Yang Memberi, yaitu Allah سبحانه و تعالى, karena Allah sendiri yg akan memberikan ganjaran secara langsung bagi orang2 yg berpuasa.

Maka tentu saja anugerah Allah سبحانه و تعالى sebanding dengan keMahabesaranNya, keAgunganNya. Karena, BESARNYA PEMBERIAN MENUNJUKKAN KEBESARAN DZAT YANG MEMBERI.

Semoga ini memberikan kita motivasi untuk menyempurnakan ibadah puasa kita di atas kesabaran yg sempurna.

https://www.dakwahpost.com/2018/05/kenapa-pahala-puasa-unlimited.html?m=1

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tidak Mampu Puasa Tapi Tidak Mampu Fidyah

Tidak Mampu Puasa Tapi Tidak Mampu Fidyah
Ada wanita tua yang belum menikah dan sangat miskin. Suatu ketika, dia sedang sakit keras. Bolehkan dia tidak berpuasa, sementara dia tidak mampu membayar fidyah?

Jawaban:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulilllah.

Jika sakit wanita ini hanya sementara maka dia wajib meng-qadha di hari yang lain, setelah sembuh. Berdasarkan firman Allah,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّة مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja di antara kalian yang sakit atau bersafar, kemudian dia berbuka, maka hendaknya dia mengganti di hari yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.” (Q.s. Al-Baqarah:184)

Namun, jika sakitnya menahun (tidak ada harapan sembuh) maka dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Jika tidak mampu dan ada orang lain yang menanggung fidyahnya maka hukum fidyahnya sah, karena menggantikan orang lain dalam urusan harta itu diperbolehkan.

Jika tidak ada orang yang menggantikannya dalam membayarkan fidyahnya maka kewajiban ini tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya, sampai dia mampu membayar. Jika dia sampai meninggal namun dia belum mampu membayar fidyah maka tidak ada tanggungan apa pun baginya. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.s. Al-Baqarah:286)

Allah juga berfirman,

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (Q.s. Ath-Thalaq:7)

Allahu a’lam.

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus, no. 78.
Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Ramadhan-fatawa/Bg5.php
Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Fidyah Untuk Orang Gila Yang Tidak Puasa

Fidyah Untuk Orang Gila Yang Tidak Puasa
Ada salah satu keluarga yang gila. Kadang mau puasa dan kadang tidak puasa. Apakah ketika dia tidak puasa dibayarkan fidyah?

Trim’s

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kewajiban puasa hanya Allah berikan untuk mukallaf, yaitu orang yang mendapat kewajiban syariat. Orang gila bukan termasuk mukallaf. Karena tidak berakal.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Pena catatan amal itu diangkat untuk tiga orang, orang gila yang hilang akal sampai dia sadar, orang yang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia balig.” (HR. Ahmad 956, Abu Daud 4401, dan disahihkan Syuaib al-Arnauth)

Makna: Pena catatan amal diangkat artinya amalnya tidak dicatat. Tidak mendapat kewajiban maupun terkena larangan. Karena dia bukan termasuk mukallaf.

Sementara untuk kewajiban fidyah, Allah jelaskan melalui firman-Nya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah: 184)

Artinya, orang yang diwajibkan membayar fidyah adalah mukallaf yang tidak berpuasa karena sudah tidak lagi mampu melakukannya.

Karena itu,

✔ Anak kecil yang tidak puasa, tidak ada kewajiban bayar fidyah. Karena anak kecil bukan mukallaf

✔ Orang tidak berakal yang tidak berpuasa, juga tidak wajib fidyah, karena bukan mukallaf.

Karena itu, tidak ada kewajiban fidyah untuk orang gila yang tidak puasa. Karena dia bukan mukallaf.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Mengambil Ilmu Dari Ahlussunnah

Mengambil Ilmu Dari Ahlussunnah
🔘 Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

"Akan muncul pada akhir jaman sekelompok manusia yang akan menceritakan hadits kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian mendengarnya demikian juga bapak-bapak kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari mereka." (HR. Muslim dalam muqoddimah shahihnya hal.6)

🔘 Al-Imam Al-Baghawi Rahimahullah menyebutkan kesepakatan ulama salaf dalam memboikot ahlul bid'ah, beliau berkata,

"dan telah berlalu para shahabat, tabi'in, dan pengikut mereka, serta ulama sunnah atas perkara ini, yaitu mereka bersepakat untuk memusuhi ahlul bid'ah dan memboikot mereka." (Syarhus Sunnah 1/227)

🔘 Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata,

"Tiga (jenis manusia) yang tidak diambil (ilmunya) dari mereka, yaitu:
  1. Orang yang tertuduh melakukan kedustaan
  2. Pelaku kebid'ahan yang menyeruh kepada bid'ahnya
  3. dan seseorang yang cenderung keliru dan salah".
🔘 Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,

"Semoga Allah menghinakan al-Karobisi, tidak boleh dijadikan teman duduk, tidak boleh diajak bicara, tidak boleh disalin kitab-kitabnya, dan kami tidak duduk bersama orang yang duduk dengannya."

🔘 Abdul Wahhab Al-Khaffaf rahimahullah berkata,

"Aku melewati Amr bin Ubaid (tokoh mu'tazilah,pen) sedang duduk sendirian. 
Maka aku bertanya kepadanya, 'apa yang terjadi denganmu sehingga manusia meninggalkanmu?'
Ia menjawab, 'Ibnu 'Aun (ulama sunnah,pen) telah melarang manusia dariku, maka mereka pun pergi (meninggalkanku)." (Mizanul I'tidal 3/274)

🔘 Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata,

"Barangsiapa mendengar dari ahli bid'ah, maka Allah tidak akan memberi manfaat dengan apa yang ia dengar. dan barangsiapa berjabatan tangan dengannya, maka sungguh ia telah melepas Islam seutas demi seutas." (Al-Jami' Li AKhlaqi Ar-Rawi 1/138 hal.163)

🔘 Al-Qahthani berkata dalam baitnya,
  • Tidaklah berteman dengan ahli bid'ah kecuali orang yang sepertinya ...
  • di bawah asap ada api yang berkobar..
Oleh karena itu, janganlah mengambil ilmu dari ahli bid'ah dan orang-orang yang menyimpang atau memiliki penyakit di dalam hatinya. Karena mengambil ilmu dari mereka akan mewariskan penyimpangan dari al-haq baik disadari ataupun tidak. Bundar Ibnul Husein rahimahullah berkata, "Berteman dengan ahli bid'ah akan mewariskan berpalingnya dari kebenaran." (As-Siyar 16/106)

Sehingga, jangan pedulikan orang yang mengatakan "aku akan mengambil ilmu dari siapa pun" atau "aku akan mengambil yang baiknya saja, adapun yang jelek aku tinggalkan"

Sebenarnya, mereka sedang mempertaruhkan hidayah yang telah Allah berikan kepada mereka.. Allahul musta'an

- Semoga bermanfaat -

Referensi: An-Nubadz fi Adabi Thalabil ilmi  (hal.24-28)
Dikumpulkan oleh Tim Warisan Salaf

Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
Situs Resmi http://www.warisansalaf.com

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Simbol-simbol Yang Kita Harus Hati-hati Dalam Whatsapp

Simbol-simbol Yang Kita Harus Hati-hati Dalam Whatsapp
Simbol 'ït's ok' / 👌 di Brazil, Jerman dan Russia bererti penyampaian pesan mengajak kepada perzinaan (sangat jelas). Di negara-negara Arab ia membawa arti mengundang kutukan terhadap individu yang bersangkutan, manakala di Barat, simbol ini juga merupakan simbol kaum Okultis (Penyembah Kegelapan / Syaitan),

Simbol emotion yang menyerupai mahluk hidup, seperti
😀😬😁😂😃😄😅😆😇😉😊🙂🙃☺😋😌😍😘😗😙😚😜😝😛🤑🤓😎🤗😏😐😒🙄🤔😳😟😠😡😔🙁☹😫😩😯😥😪😓🤕😈👹👺👶👦👧👨👩👱👴👵👲👳👮👷🕵🎅👸👰💃👯👫👬👭🙇💁🙅🙆🙋🙎🙍💇💆💑👩‍❤️‍👩👨‍❤️‍👨💏👩‍❤️‍💋‍👩👨‍❤️‍💋‍👨👪👨‍👩‍👧👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👦‍👦👨‍👩‍👧‍👧👩‍👩‍👦👩‍👩‍👧👨‍👨‍👦👨‍👨‍👧‍👧👨‍👨‍👧

Hewan mahkluk hidup:
🐶🐱🐭🐹🐰🐻🐼🐨🐯🦁🐮🐷🐸🐙🐵🙉🙊🐒🐔🐺🐗🦄🐝🐛🐞🐜🕷🦀🐍🐢🐠🐖🐎🐑🐓🦃🐕🐆🐅🐃🐂🐄🐐🐿🐇🐋🐊✝

Simbol lainnya:
🌟✨  🙏 💖 💒 ⛪ 🗿 ✳❇ 💠 ➿ ♈ ♉ ♊ ♋♌ ♍ ♎ ♏ ♐ ♑ ♒♓ ⛎ 🔯 ♠ ♥ ♣ ♦💮 ➰ 🔱 💹✝💓💘💝🕎🔯☯🈹🈳🈲🈵㊗㊙🈶🈚🈸🈺🃏

Simbol-simbol ini tersebar luas di whatsapp, dan kita sebagai kaum muslimin, sebahagian kita ikut menggunakannya, sedangkan kita tidak mengetahui betapa besar bahayanya simbol-simbol tsb terhadap akidah ke-Islaman kita.

Maka simbol ini ✨ melambangkan simbol bintang agama nasrani, dengan berbagai macam modelnya, yg hakikatnya ia menyimbolkan lambang salib dlm versi lain dan itu sangat persis seperti gambar bintang yg ada di pintu gerbang gereja Vatikan.

Dan simbol segiempat lain 🔶🔷 juga melambangkan hal ini.

Kemudian simbol ini ⛪ dan 💒  adalah simbol gereja, dan sayang kpd gereja,

Kemudian simbol ini 🙏 sebenarnya ia adalah simbol amalan penganut Buddha dan tidak boleh kita menggunakannya sebagai penghormatan kpd seseorang atau memohon maaf.

Dan simbol 🗿 adalah simbol patung berhala yang disembah, bukan semata-mata batu besar atau topeng muka,

Manakala simbol-simbol ini ♠♥♣♦ pula sebenarnya menyimbolkan permainan daun-daun terup dan loteri.

Adapun simbol-simbol yg lain, ia menyimbolkan penghambaan kepada syaitan :  (♈♉♊♋♌♍♎♏♐♑♒♓⛎)

dan dua tanduknya, manakala simbol bintang ini (🔯) adalah simbol rasmi zionis yahudi, saya berharap agar hal ini diperhatikan baik2 dan kita tidak menggunakannya, serta berhati-hati dgn cara mengelakkannya.

Dan simbol ini ✨✨✨ yg ada di dlm whatsapp, sebenarnya melambangkan salib, semoga Allah melindungi kita.

Begitu pula simbol ini  💖 sebenarnya melambangkan salib di dalam hati. Selain daripada lambang cinta yang gemerlap.

Begitu juga simbol-simbol ini ✨💖⛪💒🏥⚓💠🔯♦🔷🔶 sangat jelas kebatilannya,

Dan minuman ini 🍻🍺 adalah simbol khamr (minuman keras/beer/dst).

Berhati-hatilah dan peringatkan perkara ini kepada org lain kerana kebanyakan mereka tidak mengetahui!

Disarikan dari beberapa sumber Whassat salafy

waullohu taa'ala a'lam

Larangan menggunakan simbol

 لا يجوز استعمال رمز القلب ❤

 قال الشيخ ابن باز رحمه الله:

 أنه رمز للعشق المحرم ورمز للألهة الاغريقية.

 وقال الشيخ أبو فريحان جمال بن فريحان الحارثي-حفظه الله-في جوابه عن السؤال:

ما قولكم في رمز القلب الذي يعبر عن الحب يا شيخ؟

 الجواب:

 بالنسبة للقلب رمز الحب لا شك أن أقل أحواله تقليد للفساق ومن لا خلاق له ومن عاداتهم.بل ووجدت أن له أصلا في الطقوس الأروبية الكافرة فلا يجوز استعماله.

 وقد صدر عن اللجنة الدائمة للإفتاء التحذير من ذلك.

Asy Syaikh bin Baz rohimahulloh  mengatakan:

Bahwa simbol tersebut adalah simbul isyq (mabuk cinta) yang diharomkan,dan simbol ilah (sesembahan) orang-orang yunani.

Dan Asy Syaikh Abu Jamal Jamal bin Furoihan Al Haritsi hafizhohulloh mengatakan ketika ditanya:

Apa pendapat anda tentang simbol hatiuntuk mengungkapkan kecintaan ya syaikh..?

Maka dijawab:

Menggunakansebagai simbol kecintaan tidak diragukan bahwa minimal keadaannya adalah taqlid terhadap orang orang fasiq dan orang orang yang gak punya akhlak. Dan ini termasuk kebiasaan mereka. Bahkan saya mendapati bahwa simbol ini mempunyai asal usul dalam upacara-upacara keagamaan di bumi Eropa yang kafir. Maka tidak boleh menggunakannya.

Dan telah muncul dari Al Lajnah daimah lil ifta' tahdzir (peringatan ) dari hal tersebut.

✏WA thullab Abu Bakar mahad As Salafi jember ✏

Selasa, 08 Sya'ban 1439 H / 24 April 2018 M
Situs Blog: https://ittibaurasulillah.blogspot.co.id
Join Channel telegram:
https://t.me/Ittiba_uRasulillah

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Kenikmatan Penduduk Surga Paling Bawah

Kenikmatan Penduduk Surga Paling Bawah
Penghuni Surga yang Paling Rendah Tingkatannya adalah Yang Memiliki Kekuasaan Seluruh Dunia Sejak Allah Ciptakan hingga Allah Hancurkan (Saat Kiamat) Ditambah 10 Kali Lipat.

Sebagaimana disebutkan dalam Hadits tentang Seseorang yang Paling Akhir Dikeluarkan dari Neraka menuju Surga:

فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا

Sesungguhnya Bagimu Kekuasaan seperti di Dunia dan Sepuluh Kali Lipatnya. (H.R Al-Bukhari no 6086 dan Muslim no 272).

أَلَنْ تَرْضَى إِنْ أَعْطَيْتُكَ مِثْلَ الدُّنْيَا مُذْ يَوْمِ خَلَقْتُهَا إِلَى يَوْمِ أَفْنَيْتُهَا وَعَشَرَةَ أَضْعَافِهَا

(Allah menyatakan) : Tidakkah Engkau Ridha jika Aku Berikan Kepadamu Semisal Dunia sejak Aku Ciptakan hingga Hari Aku Hancurkan dan (Ditambah) 10 Kali Lipatnya. (H.R Ibnu Abid Dunya, AtThobarony, Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albany dalam Shahih atTarghib no 3591).

Sebagian Riwayat Menyatakan bahwa Penghuni Surga Paling Bawah tersebut Disuruh oleh Allah untuk Berharap dan Berangan-angan Apa Saja yang ia inginkan, hingga Saat Telah Habis Apa yang Dia Angankan, kemudian Allah Menyatakan Kepadanya : Untukmu 10 Kali Lipat dari itu.

Kemudian Dia Mengatakan : Tidak Ada Seorangpun yang Mendapatkan Kenikmatan seperti Aku. Padahal ia adalah Orang yang Terakhir Masuk Surga dan Berada di Level Paling Bawah.

Penduduk Surga Tingkatan Paling Bawah adalah Seseorang yang Memiliki 1000 Pelayan.

Tiap Pelayan Memiliki Tugas yang Berbeda-beda dalam Melayaninya. Sahabat Nabi Abdullah bin Amr Radhyiallahu Anhu Menyatakan :

إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً مَنْ يَسْعَى عَلَيْهِ أَلْفُ خَادِمٍ كُلُّ خَادِمٍ عَلَى عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

Sesungguhnya Penduduk Surga yang Paling Bawah adalah Seseorang yang 1000 Pelayan Bergegas (Melayaninya). Setiap Pelayan Memiliki Tugas yang Berbeda dengan yang Lain. (H.R Al-Baihaqy dan Dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam Shahih AtTarghib).

Dalam sebagian Riwayat dijelaskan Bahwa Ketika Penghuni Surga Paling Bawah itu akan Masuk ke istananya, ia Melihat Sosok yang Sangat indah dan Mengira itu adalah Malaikat, Padahal itu adalah Salah satu dari 1000 Pelayannya. Kemudian dia Masuk ke Dalam istananya yang Berupa Permata Hijau Kemerah-merahan Setinggi 70 Hasta (Sekitar 32 Meter) dan Memiliki 60 Pintu, yang Setiap Pintu Menghantarkan pada Ruangan berupa Permata yang lain, yang Bentuknya Berbeda Satu Sama Lain. Tiap Ruangan Permata itu Memiliki Ranjang dan Bidadari. (Shahih atTarghib no 3591).

Akan Ada 2 Bidadari yang Menyambutnya dan Berkata :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَاكَ لَنَا، وَأَحْيَانَا لَكَ

Segala Puji Bagi Allah yang Telah Menghidupkanmu Untuk Kami dan Menghidupkan Kami Untukmu (H.R Muslim no 311).

Orang itu Bisa Melihat Area Kekuasaannya Sejauh Perjalanan 100 Tahun (Hadits Ibnu Mas’ud Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Disepakati oleh Adz-Dzahaby).

Itu adalah Kenikmatan yang Dirasakan oleh Penghuni Surga Terbawah yang Masuk Surga Paling Akhir dan Dia Sempat Merasakan AnNaar (Neraka).

Bagaimana dengan Penduduk Surga yang di Atasnya?

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Memasukkan Kita ke Dalam SurgaNya yang Penuh dengan Kenikmatan.

~~~~~~~~~~~~~~~~

📒 Dikutip dari Buku "Akidah Imam Al-Muzani (Murid Imam Asy-Syafii)"

▶️ Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Thursday, November 29, 2018

Tadabur Al-Qur'an, Surah Fussilat (26-28)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Fussilat (26-28)
Surah Fussilat, 26:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengarkan (bacaan)  Al Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan mereka".

Surah Fussilat, 27:

فَلَنُذِيقَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا عَذَابًا شَدِيدًا وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ

Maka sesungguhnya Kami akan merasakan azab yang keras kepada orang-orang kafir itu dan Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan seburuk-buruk pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.

Surah Fussilat, 28:

ذَٰلِكَ جَزَاءُ أَعْدَاءِ اللَّهِ النَّارُ لَهُمْ فِيهَا دَارُ الْخُلْدِ جَزَاءً بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami.

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Menasehati Tanpa Melukai

Menasehati Tanpa Melukai
Siapakah yang tak ingin hidayah mengetuk hati orang yang dicintai?

Orang tua, kerabat dekat, teman, tetangga, dan bahkan orang-orang di luar Islam. Hidayah yang melembutkan hati yang keras, menyabarkan hati tatkala ditimpa musibah, meredakan kemarahan, menjalin tali yang lama terpisah, menyatukan prinsip syariat sehingga berjalan beriringan dalam satu jalan yang haqmenuju shiraathal mustaqiim. Pasti banyak orang yang kita inginkan kebaikan terlimpah padanya. Kebaikan yang senantiasa menghiasi diri sehingga melahirkan generasi Rabbani yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih sebagaimana yang diharapkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sejak beratus abad yang lalu hingga sekarang, sampai nanti datang hari penghisaban sedangkan amal tak lagi terhitung dan tergores tintanya dalam catatan.

Siapa mengira, Al Fudhail bin Iyadh yang kita kenal sebagai seorang hamba yang shalih dan tokoh teladan bagi umat, dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua saudagar yang tengah takut kepadanya.

Tak kenalkah dengan Salman Al Farisi? Dahulunya beliau adalah seorang Majusi kemudian beliau mendapatkan hidayah tatkala melihat orang muslim yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum muslimin di zaman Nabi yang berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena mulianya dakwah beliau.

Oleh karena itu, mari kita lihat bagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta orang-orang shalih dahulu mengajarkan kepada kita bagaimana adab tatkala memberikan nasehat sehingga membuka pintu-pintu hidayah bagi seseorang.

Adab Memberi Nasehat

Ketika seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala

Seorang yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallambersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati

Seseorang yang hendak memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.

3. Menasehati secara rahasia

Nasihat disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan. Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih

Seseorang yang hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia melanggarnya.

Oleh karena itu, harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)

Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا

Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)

Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah. Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak persaudaraan.

5. Tidak memaksakan kehendak

Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

6. Mencari waktu yang tepat

Tidak setiap saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ

Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan anjuran untuk menjaga lisan.

Jangan pernah putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.

Jika engkau inginkan kebaikan pada saudaramu

Maka ajaklah ia tuk bergandengan

Dan beriringan menuju jalan-Nya

Bertuturlah dengan baik

Berilah senyuman tatkala ia tak peduli

Tunggulah… Bersabarlah… hingga pintu itu terbuka

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi

Sebab nasehat itu akan berubah menjadi pisau yang tajam

Yang hanya membuat goresan di hati

Dan akan membuat lari

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi

Sesungguhnya hidayah itu ada di tangan Sang Rabb

Yang Maha Membolak-balikkan hati

***

Referensi:“Menasehati Tanpa Menyakiti“. Abu Muhammad Shu’ailik. Pustaka Arafah“Syarhu Al Arba’in An Nawawi“. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Daarul Ittiba’ dan Ad Daaru Al ‘Aalamiyyah Lin Nasyr wat Tauzii’“99 Kisah Orang Shalih“. Muhammad bin Hamid Abdul Wahab. Darul Haq



Penulis: Lilis Mustikaningrum
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wanita Tidak Puasa Karena Menyusui, Qadha’ ataukah Fidyah?

Wanita Tidak Puasa Karena Menyusui, Qadha’ ataukah Fidyah?
Bolehkah orang yang menyusui tidak berpuasa? Kapan dia harus meng-qadha‘-nya? Haruskah dia memberi makan orang miskin?

Jawaban:

Seorang ibu jika mengkhawatirkan anaknya jika (ia-ed.) berpuasa, karena hal itu akan mengurangi kandungan susu dan membahayakan anak, maka dia boleh berbuka, tetapi dia harus meng-qadha‘-nya setelah itu, karena posisinya seperti orang sakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185).

Jika halangan itu sudah tidak ada, maka dia harus meng-qadha‘-nya, baik di musim dingin karena waktunya pendek dan udaranya dingin, atau jika tidak bisa di musim dingin bisa dikerjakan di tahun yang akan datang. Adapun menggantinya dengan memberi makan orang miskin tidak boleh dilakukan kecuali jika halangan atau udzur itu datang secara terus menerus yang tidak akan hilang. Dalam keadaan seperti, dia boleh memberi makan kepada orang miskin sebagai pengganti dari puasa.

📚 Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tidak Boleh Membayar Fidyah di Bulan Ramadhan

Tidak Boleh Membayar Fidyah di Bulan Ramadhan
Ibu saya sudah tidak bisa puasa krn sudah sangat tua dan lemah. Saya membayarkan fidyahnya selama sebulan di tengah bulan ramadhan ini. Bagaimana hukumnya?

Darus Salam

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ada banyak ibadah yang disyariatkan karena adanya sebab tertentu. Misalnya, kaffarah sumpah, disyariatkan karena orang itu melanggar sumpah. Atau kaffarah dzihar, disyariatkan karena ada suami yang mendzihar istrinya, dst. Termasuk diantaranya membayar fidyah. Membayar fidyah disyariatkan karena seseorang tidak mampu berpuasa.

Allah berfirman,

‎وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah: 184)

Artinya, fidyah diwajibkan ketika ada orang yang tidak puasa karena tidak mampu menjalankannya. Sehingga ‘ketidak – mampuan untuk berpuasa’ menjadi sebab adanya fidyah. Ketika ini belum ada, maka fidyah tidak disyariatkan.

Kita simak ilustrasi berikut,

Si A sudah tidak mampu berpuasa karena sudah tua. Dia membayar fidyah untuk puasa sebulan di tanggal 5 ramadhan.

Kasus yang terjadi, si A baru meninggalkan puasa selama 5 hari. Dari tanggal 1 sampai 5 ramadhan. Sementara untuk puasa tanggal 6 sampai 30 ramadhan, si A belum meninggalkannya. Karena ketika si A bayar fidyah, hari itu belum datang. Sehingga, si A membayar fidyah untuk kejadian yang belum ada, yaitu meninggalkan puasa tanggal 6 – 30 ramadhan.

Inilah yang dimaksud membayar fidyah sebelum ada sebab.

Bolehkah Menyegerahkan Fidyah Sebelum ada Sebab ‘Tidak Puasa’?

Ulama syafiiyah melarang hal ini.

Imam ar-Ramli – ulama Syafiiyah – pernah ditanya sebagai berikut,

‎هل يلزم الشيخ الهرم إذا عجز عن الصوم وأخرج الفدية النية أم لا ، وما كيفيتها ؟ وما كيفية إخراج الفدية هل يتعين إخراج فدية كل يوم فيه أو يجوز إخراج فدية جميع رمضان دفعة سواء كان في أوله أو في وسطه أو لا  ؟

Apakah orang tua yang tidak mampu lagi berpuasa wajib niat ketika membayar fidyah? Bagaimana caranya? Lalu bagaimana cara membayar fidyah, apakah wajib untuk dikeluarkan setiap hari di hari itu, atau boleh dia bayarkan sekali, baik di awal ramadhan atau pertengahannya?

Jawaban ar-Ramli,

‎بأنه تلزمه النية لأن الفدية عبادة مالية كالزكاة والكفارة فينوي بها الفدية لفطره ويتخير في إخراجها بين تأخيرها وبين إخراج فدية كل يوم فيه أو بعد فراغه ، ولا يجوز تعجيل شيء منها لما فيه من تقديمها على وجوبه لأنه فطرة

Dia wajib niat. Karena fidyah termasuk ibadah harta, sebagaimana zakat atau kaffarah. Dia bisa berniat membayar fidyah karena tidak puasa. Dia boleh memilih, apakah dibayarkan setiap hari yang dia tidak puasa atau setelah selesai ramadhan. Namun tidak boleh mendahulukan pembayaran fidyah, karena berarti mendahulukan amal sebelum adanya kewajiban, disebabkan dia tidak puasa.” (Fatawa ar-Ramli, 2/74).

Ini berbeda dengan madzhab hanafiyah, yang membolehkan membayar fidyah untuk keseluruhan di awal bulan.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

‎اختلف الفقهاء في مسألة ما إذا كان يجوز للشيخ العاجز والمريض الذي لا يرجى برؤه تعجيل الفدية ، فأجاز الحنفية دفع الفدية في أول الشهر كما يجوز دفعها في آخره

Ulama berbeda pendapat tentang kasus orang tua atau orang sakit menahun yang lagi tidak mampu puasa. Apakah boleh menyegerakan bayar fidyah. Hanafiyah membolehkan bayar fidyah di awal bulan, sebagimana boleh dibayarkan di akhir bulan.

Kemudian dalam ensikolpedi itu dilanjutkan keterangan dari madzhab Syafii,

‎وقال النووي : اتفق أصحابنا على أنه لا يجوز للشيخ العاجز والمريض الذي لا يرجى برؤه تعجيل الفدية قبل دخول رمضان ، ويجوز بعد طلوع فجر كل يوم ، وهل يجوز قبل الفجر في رمضان ؟ قطع الدارمي بالجواز وهو الصواب

An-Nawawi mengatakan, seluruh ulama madzhab kami sepakat bahwa orang tua dan orang sakit yang tidak mampu puasa, mereka tidak boleh membayar fidyah sebelum masuk ramadhan, dan boleh setiap hari setelah masuk waktu subuh. Apakah boleh dibayarkan sebelum subuh di bulan ramadhan? Ad-Darimi menegaskan bahwa itu boleh. Dan inilah yang benar. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, volume ke-32, hlm. 68).

Berdasarkan keterangan di atas, mengenai waktu pelaksanaan fidyah bisa dengan 2 cara,

🔘 Pertama, dibayarkan harian. Batasnya adalah malam hari ramadhan, sebagaimana keterangan ad-Darimi. Jika di tanggal 3 ramadhan, si A tidak puasa, dia sudah boleh bayar fidyah di malam tanggal 3 ramdhan.

🔘 Kedua, dibayarkan sekali untuk satu bulan. Ini hanya bisa dilakukan di akhir ramadhan atau setelah ramadhan.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Fidyah Dalam Bentuk Uang?

Bolehkah Fidyah Dalam Bentuk Uang?
Bolehkah fidyah dalam bentuk uang?

Agus Sarjana (sarjana@.com)

Jawaban mengenai mengganti fidyah dengan uang

Bismillah.

Wajib untuk kita pahami kaidah penting, bahwa perkara yang Allah sebutkan dengan kalimat “memberi makan” atau “bahan makanan” itu wajib diberikan dalam bentuk makanan. Allah berfirman tentang puasa,

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Q.s. Al-Baqarah:184)

Kemudian, tentang kafarah sumpah, Allah berfirman,

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَساكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ

Kafarah (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (Q.s. Al-Maidah:89)

Tentang zakat fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan agar dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan satu sha’, dan seterusnya.

Apa pun yang disebutkan dalam nash syariat dengan kalimat “makanan” atau “memberi makan” maka fidyah tidak boleh diberikan dalam bentuk uang.

Oleh karena itu, orang tua yang wajib membayar fidyah karena tidak puasa, tidak menggantinya dalam bentuk uang. Andaikan dia membayar fidyah dalam bentuk uang senilai bahan makanan sepuluh kali, hukumnya tetap tidak sah, karena dia menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam dalil.

Demikian pula zakat fitri. Andaikan ada orang yang mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk uang seharga bahan makanan sepuluh kali, ini tidak dapat menggantikan kewajiban membayar zakat dengan bahan makanan 2,5 kg, karena zakat fitri dengan uang tidak terdapat dalam dalil. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

Siapa saja yang melakukan satu amal, yang tidak ada ajarannya dari kami maka amal itu tertolak.” (H.r. Bukhari dan Muslim) (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 19:116)

🌐 Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/39234

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Meninggal dan Masih Punya Hutang Puasa

Meninggal dan Masih Punya Hutang Puasa
Assalmu’alykum ustadz….

Ana mau tanya seputar hukum puasa dahulu sebelum ibu ana meninggal beliau titip pesan ke ana tuk diqadhakan ataw d bayarkan fidyah atas puasanya yang ditinggalkannya,bagaimana hukum meng-qadha atw fidyahnya apakah wajib atau tidak? Jazakallahu khairan

Dari: A. Ghozi Putra

Jawaban:

Wa alaikumus salam

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه

Siapa yang meninggal dan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib mempuasakannya.” (HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

‎أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’ (HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).

Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

‎أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها

Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’ (HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).

Ketiga hadis di atas menunjukkan bahwa ketika ada seorang muslim yang memiliki hutang puasa dan belum dia qadha hingga meninggal maka pihak keluarga (wali) orang ini berkewajiban mempuasakannya.

Kemudian, dari ketiga hadis di atas, hadis pertama bersifat umum. Dimana qadha puasa atas nama mayit, berlaku untuk semua utang puasa wajib. Baik utang puasa ramadhan maupun utang puasa nadzar. Sedangkan dua hadis berikutnya menegaskan bahwa wali berkewajiban mengqadha utang puasa nadzar yang menjadi tanggungan mayit.

Berangkat dari sini, ulama berbeda pendapat, apakah kewajiban mengqadha utang puasa mayit, berlaku untuk semua puasa wajib ataukah hanya puasa nadzar saja.

⚜ Pendapat pertama menyatakan bahwa kewajiban mengqadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib. Baik puasa ramadhan, puasa nadzar, maupun puasa kaffarah. Ini adalah pendapat syafiiyah dan pendapat yang dipilih Ibnu Hazm. Dalil pendapat ini adalah hadis A’isyah di atas, yang maknanya umum untuk semua utang puasa.

⚜ Pendapat kedua, bahwa kewajiban mengqadha utang puasa mayit, hanya berlaku untuk puasa nadzar, sedangkan utang puasa ramadhan ditutupi dengan bentuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab hambali, sebagaimana keterangan Imam Ahmad yang diriwayatkan Abu Daud dalam Masailnya. Abu Daud mengatakan,

‎سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر

Saya mendengar Ahmad bin Hambal mengatakan: ‘Tidak diqadha utang puasa mayit, kecuali puasa nadzar.” (Ahkam Al-Janaiz, hlm. 170).

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari ummul mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha.

Dari Amrah – murid A’isyah – beliau bertanya kepada gurunya A’isyah, bahwa ibunya meninggal dan dia masih punya utang puasa ramadhan. Apakah aku harus mengqadha’nya? A’isyah menjawab,

‎لا بل تصدَّقي عنها مكان كل يوم نصف صاعٍ على كل مسكين

Tidak perlu qadha, namun bayarlah fidyah dengan bersedekah atas nama ibumu dalam bentuk setengah sha’ makanan, diberikan kepada orang miskin. (HR. At-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar 1989, dan dishahihkan Al-Albani)

Dalil lainnya adalah fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dari Said bin Jubair – murid Ibnu Abbas – bahwa gurunya pernah mengatakan,

‎إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه

Apabila ada orang sakit ketika ramadhan (kemudian dia tidak puasa), sampai dia mati, belum melunasi utang puasanya, maka dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhanya. (HR. Abu Daud 2401 dan di shahihkan Al-Albani).

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat yang kuat untuk pelunasan utang puasa mayit dirinci menjadi dua:

🔰 Pertama, jika utang puasa mayit adalah utang puasa ramadhan maka cara pelunasannya dengan membayar fidyah dan tidak diqadha. Tentang tata cara membayar fidyah bisa dipelajari di: Membayar Fidyah dengan Uang

🔰 Kedua, jika utang puasa mayit adalah puasa nadzar maka pelunasannya dengan diqadha puasa oleh keluarganya.

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Memberikan Fidyah Hanya Kepada Satu Orang Miskin?

Bolehkah Memberikan Fidyah Hanya Kepada Satu Orang Miskin?
Tanya ustadz, bolehkah memberikan fidyah kepada satu orang miskin, karena susah cari orang miskin ditempat kami?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Aturan baku terkait fidyah adalah firman Allah di surat al-Baqarah,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin. (QS. al-Baqarah: 184).

Dalam ayat ini, Allah tidak memberi batasan, berapa orang miskin yang harus diberi fidyah. Karena itu, tidak ada ketentuan, berapa orang miskin yang boleh menerima fidyah.

Ini berbeda dengan cara pembayaran kaffarah sumpah. Allah menentukan angka 10 sebagai jumlah orang miskin yang harus diberi makan karena melanggar sumpah. Allah berfirman,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.. (QS. al-Maidah: 89).

Sementara dalam fidyah, batasan ini tidak ada.

Karena itu, para ulama di kalangan madzhab Syafiiyah, Hambali, dan beberapa ulama Malikiyah, mereka membolehkan menyerahkan fidyah kepada satu orang miskin.

Dalam Kasyaf al-Qana’ dinyatakan,

وله صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة لظاهر الآية

Boleh membayar fidyah makanan kepada satu orang miskin sekaligus sekali, berdasarkan makna teks ayat. (Kasyaf al-Qana’, 2/313).

Dalam kitab al-Inshaf, al-Mardawi menegaskan bahwa itu dengan sepakat ulama,

يجوز صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة بلا نزاع

Boleh membayar fidyah makanan kepada satu orang miskin sekaligus sekali, tanpa ada perbedaan pendapat  ulama. (al-Inshaf, 3/206).

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive