Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Friday, August 30, 2019

Keutamaan bulan Muharram

Keutamaan bulan Muharram
Assalamu’alaikum

Banyak orang berkeyakinan, bulan Muharram adalah bulan yang istimewa. Sebenarnya ada tidak keutamaan bulan Muharram itu? Mohon dijelaskan dalilnya. Matur nuwun

Abu Ahmad (texxxxxxxxx@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan rasul-Nya memuliakan bulan Muharram, di antaranya adalah:

Termasuk Empat Bulan Haram (suci)

Allah berfirman,

‎إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At-Taubah: 36)

Keterangan:

☑ Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.

☑ Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.

☑ Az-Zuhri mengatakan,

‎كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم

Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).

✅  Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: DzulQo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

✅  Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)

Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Keterangan:

🔰 Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)

🔰 As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama-nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datang, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)

🔰 Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.

✅ Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama, Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,

‎لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)

✅ Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan

Hasan Al-Bashri mengatakan,

‎إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه

Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah daripada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Monday, August 26, 2019

Keutamaan Shalat Dhuha

Keutamaan Shalat Dhuha
Keutamaan Shalat Dhuha: Mengganti sedekah dengan seluruh persendian

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at

(HR. Muslim no.  720).


🌐Sumber : https://rumaysho.com/2845-keutamaan-shalat-dhuha.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Friday, August 23, 2019

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.4

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.4
Lanjutan dari Bagian-3...

25. Larangan Jual Beli di Masjid

Jika jual beli dilakukan di masjid, maka niscaya fungsi masjid akan berubah menjadi pasar dan tempat jual beli sehingga jatuhlah kehormatan masjid dengan sebab itu. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu  bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kalian melihat orang yang jual beli di dalam masjid maka katakanlah padanya, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual belimu!”.

Imam As-Shan’ani berkata, “Hadis ini menunjukkan haramnya jual beli di dalam masjid, dan wajib bagi orang yang melihatnya untuk berkata kepada penjual dan pembeli semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual belimu! Sebagai peringatan kepadanya”.

26. Larangan Mengganggu Orang Yang Beribadah Di Masjid

Orang yang sedang menjalankan ibadah di dalam masjid membutuhkan ketenangan sehingga dilarang mengganggu kekhusyukan mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Di antara kesalahan yang sering terjadi, membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan bacaan orang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Alquran. Atau beliau berkata, “Dalam shalat”.

27. Larangan Berteriak Dan Membuat Gaduh di Masjid

Sebab, masjid dibangun bukan untuk ini. Demikian pula mengganggu dengan obrolan yang keras. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap kalian sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Maka dari itu, janganlah sebagian kalian menyakiti yang lain dan janganlah mengeraskan bacaan atas yang lain”.

Apabila mengeraskan bacaan Alquran saja dilarang jika memang mengganggu orang lain yang sedang melakukan ibadah, lantas bagaimana kiranya jika mengganggu dengan suara-suara gaduh yang tidak bermanfaat?! Sungguh, di antara fenomena yang menyedihkan, sebagian orang—terutama anak-anak muda—tidak merasa salah membuat kegaduhan di masjid saat shalat berjamaah sedang berlangsung. Mereka asyik dengan obrolan yang tiada manfaatnya. Terkadang mereka sengaja menunggu imam rukuk, lalu lari tergopoh-gopoh dengan suara gaduh untuk mendapatkan rukuk bersama imam. Untuk yang seperti ini kita masih meragukan sahnya rakaat shalat tersebut karena mereka tidak membaca Al-Fatihah dalam keadaan sebenarnya mereka mampu.

Tetapi, mereka meninggalkannya dan justru mengganggu saudara-saudaranya yang sedang shalat. Hal ini berbeda dengan kondisi sahabat Abu Bakrah radhiallahu’anhu yang ketika datang untuk shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didapatkannya beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sedang rukuk lalu ia ikut rukuk bersamanya dan itu dianggap rakaat shalat yang sah.

28. Larangan Lewat di Dalam Masjid Dengan Membawa Senjata Tajam

Janganlah seseorang lewat masjid dengan membawa senjata tajam, seperti pisau, pedang, dan sebagainya ketika melewati masjid. Sebab hal itu dapat mengganggu seorang muslim bahkan bisa melukai seorang muslim. Terkecuali jika ia menutup mata pedang dengan tangannya atau dengan sesuatu.

Rasulullah "Shallallahu’alaihi Wasallambersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian lewat di dalam masjid atau pasar kami dengan membawa lembing, maka hendaklah ia memegang mata lembing itu dengan tangannya sehingga ia tidak melukai orang muslim”.

29. Larangan Lewat di Depan Orang Shalat

Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat  mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang  shalat”.

Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu ketika beliau menginjak usia balig. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaah yang diimami oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya  baru kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatan tersebut. Namun demikian, sebaiknya memilih jalan lain agar tidak lewat di depan shaf makmum.

30. Larangan melingkar di dalam masjid untuk berkumpul untuk kepentingan dunia

Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepentingan dunia semata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا  وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ

Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”.

31. Larangan Keras Meludah Di Masjid

Masjid sebagai tempat yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala di muka bumi ini harus kita jaga kebersihannya. Oleh karena itu, dilarang meludah dan mengeluarkan dahak lalu membuangnya di dalam masjid, kecuali meludah di sapu tangan atau pakaiannya. Adapun di lantai masjid atau temboknya, hal ini dilarang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut”.

Yang dimaksud menimbun ludah di sini adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, atau yang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  juga bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat, akan tetapi hendaknyaa ke arah kirinya atau ke bawah kakinya”.

32. Keluar Masjid Dengan Mendahulukan Kaki Kiri Dan Membaca Doa

Apabila keluar masjid, hendaklah kita mendahulukan kaki kiri seraya berdoa. Dari Abu Humaid radhiallahu’anhu atau dari Abu Usaid radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu)”.

Demikianlah akhir yang Allah Ta’ala mudahkan kepada kami untuk menulis tentang adab-adab di masjid. Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang saleh dan selalu istiqamah di jalan-Nya. Aamiin.
Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

Wallahu 'alam.

👤 Ustadz Afwan Awwab

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Thursday, August 22, 2019

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.3

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.3
Lanjutan dari Bagian-2...

17. Boleh Membawa Anak Kecil Ke Masjid

Dari Abu Qotadah radhiallahu’anhu dia berkata, “Suatu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam  keluar (untuk shalat-pent) dengan menggendong Umamah Binti Abil ‘Ash, kemudian beliau shalat. Apabila rukuk beliau menurunkannya, dan apabila bangkit beliau menggendongnya kembali”.

Imam Al-’Aini rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bolehnya membawa anak kecil kedalam masjid”. Adapun hadits yang berbunyi, “Jauhkanlah anak-anak kalian dari masjid,” adalah hadits yang dhaif (lemah), didaifkan oleh Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi, AI-Mundziri, dan lainnya.

18. Menjaga dari Ucapan yang Jorok dan Tidak Layak di Masjid

Tempat yang suci tentu tidak pantas kecuali untuk ucapan-ucapan yang suci dan terpuji pula. Oleh karena itu, tidak boleh bertengkar, berteriak-teriak, melantunkan syair yang tidak baik di masjid, dan yang semisalnya. Demikian pula dilarang berjual beli di dalam masjid dan mengumumkan barang yang hilang. Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda (yang artinya),  “Apabila kamu melihat orang menjual atau membeli di masjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keberuntungan dalam jual belimu!’ Dan apabila kamu melihat ada orang yang mengeraskan suara di dalam masjid untuk mencari barang yang hilang, katakanlah, ‘Semoga Allah Ta'ala tidak mengembalikannya kepadamu’“.

19. Dilarang bermain-main di masjid selain permainan yang mengandung bentuk melatih ketangkasan dalam perang.

Hal ini sebagaimana dahulu orang-orang Habasyah bermain perang-perangan di masjid dan tidak dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

20. Tidak Menjadikan Masjid Sebagai Tempat Lalu Lalang.

Tidak sepatutnya seorang muslim berlalu di dalam masjid untuk suatu kepentingan tanpa mengerjakan shalat dua rakaat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ”Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seorang melewati masjid namun tidak mengerjakan shalat dua rakaat di dalamnya dan seseorang tidak memberikan salam kecuali kepada orang yang dikenalnya)”.

21. Tidak menghias masjid secara berlebihan

Di antara kesalahan yang terjadi di masjid adalah menghiasi masjid dan memahatnya secara berlebihan, berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ

Apabila kalian telah memperindah masjid kalian dan menghiasi mushaf-mushafmu maka kehancuran telah menimpa kalian”. Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهىَ النَّاسُ فِي اْلمَسَاجِدِ

Tidak akan terjadi hari kiamat sampai manusia berlomba-lomba di dalam (memperindah) masjid”.

Dilarang berlebih-lebihan dalam menghias masjid karena hal itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Apabila kalian telah menghiasi mushaf-mushaf kalian dan menghiasi masjid-masjid kalian, maka kehancuran akan menimpa kalian”. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda, “Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah manusia berbangga-bangga dengan masjid”.

22. Tidak Mengambil Tempat Khusus Di Masjid

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang seorang shalat seperti gagak mematuk, dan melarang duduk seperti duduknya binatang buas, dan mengambil tempat di masjid seperti unta mengambil tempat duduk. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hikmahnya adalah karena hal tersebut bisa mendorong kepada sifat pamer, riya, dan sumah, serta mengikat diri dengan adat dan ambisi. Demikian itu merupakan musibah. Maka dari itu, seorang hamba harus berusaha semaksimal mungkin agar tidak terjerumus ke dalamnya”.

23. Larangan Keluar Setelah Adzan Kecuali Ada Alasan

Jika kita berada di dalam masjid dan azan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai ditunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada uzur. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiallahu’anhu, beliau berkata,

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kemudian muazin mengumandangkan azan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata, “Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi Wasallam".

24. Larangan Mencari Barang Yang Hilang Di Masjid Dan Mengumumkannya

Apabila didapati seseorang mengumumkan kehilangan di masjid, maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak mengembalikannya kepadamu”. Sebagaimana sabda Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Barangsiapa mendengar seseorang mengumumkan barang yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak mengembalikannya kepadamu. Sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk ini".


Bersambung ke Bagian-4...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, August 21, 2019

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.2

Adab-Adab Ketika Di Masjid - Bag.2
Lanjutan dari Bagian-1...

9. Mengagungkan Masjid

Bentuk pengagungan terhadap masjid berupa hendaknya seseorang tidak bersuara dengan suara yang tinggi, bermain-main, duduk dengan tidak sopan, atau meremehkan masjid. Hendaknya juga ia tidak duduk kecuali sudah dalam keadaan berwudhu untuk mengagungkan rumah Allah Ta’ala dan syariat-syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.

10. Menuggu Ditegakkannya Shalat Dengan Berdoa Dan Berdzikir

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Setelah shalat dua rakaat hendaknya orang yang shalat untuk duduk menghadap kiblat dengan menyibukkan diri berdzikir kepada Allah, berdoa, membaca Alquran, atau diam dan janganlah ia membicarakan masalah duniawi belaka”.

Terdapat keutamaan yang besar bagi seorang yang duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فيِ الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ أَحَدِكُمْ مَادَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ: اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ

Apabila seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada dalam shalat selama shalat tersebut yang menahannya (di dalam masjid), dan para malaikat berdoa kepada salah seorang di antara kalian selama dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”.

11. Mengaitkan Hati Dengan Masjid

Berusaha untuk selalu mengaitkan hati dengan masjid dengan berusaha mendatangi ke masjid sebelum shalat, menunggu shalat dengan berdzikir dan beribadah, dan tidak buru-buru beranjak. Dan keutamaan inilah yang akan dinaungi oleh Allah Ta’ala ketika nanti tiada naungan selain naungan-Nya. Sebagaimana dalam hadis, “Tujuh jenis orang yang Allah Ta’ala akan menaungi mereka pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya… dan laki-laki yang hatinya selalu terkait dengan masjid)".

12. Anjuran Untuk Berpindah Tempat Ketika Merasa Ngantuk

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Jika salah seorang di antara kalian mengantuk, saat berada di masjid, maka hendaknya ia berpindah dari tempat duduknya ke tempat lain”.

13. Anjuran Membuat Pintu Khusus untuk Wanita

Dianjurkan untuk membuat pintu khusus bagi wanita untuk menjaga agar mereka tidak bercampur baur dengan kaum pria. Karena akibat dari campur baurnya laki-laki dan perempuan amatlah besar. Dan keburukan seperti ini akan lebih berbahaya kalau dilakukan di rumah Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing para shahabatnya dengan seraya bersabda, “Alangkah baiknya jika kita biarkan pintu ini untuk kaum wanita”.

14. Dibolehkan Untuk Tidur Di Masjid

Dibolehkan tidur di dalam masjid bagi orang yang membutuhkannya, semisal orang yang kemalaman atau yang tidak punya sanak famili dan lainnya. Dahulu para sahabat Ahli Suffah (orang yang tidak punya tempat tinggal), mereka tidur di dalam masjid.

AI-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan bahwa bolehnya tidur di dalam masjid adalah pendapat jumhur ulama. Dan dibolehkan juga tidur dengan terlentang. Berdasarkan riwayat:

Dari Abbad Bin Tamim dari pamannya bahwasanya dia melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidur terlentang di dalam masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain.

AI-Khattabi  berkata,  “Hadis ini  menunjukkan bolehnya bersandar, tiduran dan segala bentuk istirahat di dalam masjid".

15. Boleh Memakai Sandal Di Masjid

Berkata Imam At-Thahawi, “Telah datang atsar-atsar yang mutawatir tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai sandal di dalam masjid”.

Berdasarkan hadis dari Sa’id Bin Yazid,  bahwasanya dia bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat memakai kedua sandalnya?” Anas menjawab: “Ya”.

Imam Nawawi berkata, "Hadis ini menunjukkan bolehnya shalat memakai sandal selama tidak terkena najis”.

16. Boleh Makan Dan Minum Di Masjid

Makan dan minum di dalam masjid dibolehkan asal tidak mengotori masjidnya. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Harits radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami makan daging bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam masjid”.


Bersambung ke Bagian-3...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Adab-adab Ketika Di Masjid - Bag.1

Adab-Adab Ketika Di Masjid - Bag.1
1. Mengikhlaskan Niat Kepada Allah Ta’ala

Hendaknya seseorang yang ingin ke masjid mengikhlaskan niatnya sehingga Allah Ta’ala menerima ibadah yang ia lakukan di masjid. Hendaknya ia mendatangi masjid untuk menunaikan tugas seorang hamba yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa dilandasi rasa ingin dipuji manusia atau ingin dilihat oleh masyarakat. Karena sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya.

2. Berpakaian Indah Ketika Hendak Menuju Masjid

Sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allah tidak hanya memerintahkan hambanya untuk menutup aurat, akan tetapi mereka diperintahkan pula untuk memakai perhiasan. Oleh karena itu hendaklah mereka memakai pakaian yang paling bagus ketika shalat”.

Dan dijelaskan dalam kitab tafsir karangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Berlandaskan ayat ini dan ayat yang semisalnya disunahkan berhias ketika akan shalat, lebih-lebih ketika hari Jumat dan hari raya. Termasuk perhiasan yaitu siwak dan parfum”.

3. Menghindari Makanan Tidak Sedap Baunya

Maksudnya adalah larangan bagi seseorang yang makan makanan yang tidak sedap baunya, seperti mengonsumsi makanan yang menyebabkan mulut berbau, seperti bawang putih, bawang merah, jengkol, pete, dan termasuk juga merokok atau yang lainnya untuk menghadiri shalat jamaah, berdasarkan hadis,

Dari Jabir radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, "Barang siapa yang memakan dari tanaman ini (sejenis bawang dan semisalnya), maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya malaikat   terganggu   dengan   bau   tersebut, sebagaimana manusia”.

Juga hadis Jabir, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ

Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita”, atau bersabda, “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.

Hadis tersebut bisa dibawa ke persamaan kepada segala sesuatu yang berbau tidak sedap yang bisa menganggu orang yang sedang shalat atau yang sedang beribadah lainnya. Namun jika seseorang sebelum ke masjid memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri masjid.

4. Bersegera Menuju Rumah Allah Ta’ala

Bersegera menuju masjid merupakan salah satu ciri dari semangat seorang muslim untuk melakukan ibadah. Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah kita bersegera menuju masjid karena di dalamnya terdapat ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shaf pertama, dan tidaklah mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi niscaya mereka akan berundi. Dan seandainya mereka mengetahui keutamaan bersegera menuju masjid niscaya mereka akan berlomba-lomba”.

Jangan sampai kita menyepelekan dan menunda-nunda waktu untuk sesegera mungkin menuju masjid. Hendaknya selalu bersemangat dalam menghidupkan masjid dan mengisinya dengan amalan-amalan ibadah lainnya.

5. Berjalan Menuju Masjid Dengan Tenang dan Sopan

Hendaknya berjalan menuju shalat dengan khusyuk, tenang, dan tentram. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abu Qatadah radhiallahu’anhu berkata, “Saat kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan,

مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ  فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab, “Kami tergesa-gesa menuju shalat.” Rasulullah menegur mereka, “Janganlah kalian lakukan hal itu. Apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan rakaat yang kalian dapatkan shalatlah dan rakaat yang terlewat sempurnakanlah”.

6. Adab Bagi Wanita

Tidak terlarang bagi seorang wanita untuk pergi ke masjid. Namun rumah-rumah mereka lebih baik. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan:

Meminta izin kepada suami atau mahramnya. Tidak menimbulkan fitnah. Menutup aurat secara lengkap. Tidak berhias dan memakai parfum.

Perbuatan kaum wanita yang memakai parfum hingga tercium baunya dapat menimbulkan fitnah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian keluar menuju masjid, maka tidak akan diterima shalatnya sehingga ia mandi”.

Abu Musa radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً

Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”.

7. Ketika Masuk Masjid Berdoa dan Mendahulukan Kaki Kanan

Hendaklah orang yang keluar dari rumahnya membaca doa,

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Dengan menyebut nama Allah aku bertawakal kepada-Nya, tidak ada daya dan upaya selain dari Allah semata”.

Kemudian ketika berjalan menuju masjid hendaklah berdoa,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا

Yaa Allah… berilah cahaya di hatiku, di penglihatanku dan di pendengaranku, berilah cahaya di sisi kananku dan di sisi kiriku, berilah cahaya di atasku, di bawahku, di depanku dan di belakangku, Yaa Allah berilah aku cahaya”.

8. Shalat Tahiyatul Masjid

Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ

Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk”.

Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh karena itu, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Merupakan suatu hal yang keliru jika tahiyatul masjid diniatkan tersendiri, karena pada hakikatnya tidak ada dalam hadis ada shalat yang namanya ‘tahiyatul masjid’. Akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama untuk shalat dua rakaat sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk masjid setelah adzan lalu shalat qabliah atau sunah wudhu, maka itulah tahiyatul masjid baginya. Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib jumat, di mana tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan langsung naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap waktu seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Termasuk di dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut sebagian pendapat kalangan ulama.


Bersambung ke Bagian-2...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tuesday, August 20, 2019

Doa Awal Tahun Hijriyah

Doa Awal Tahun Hijriyah
Apa doa tahun baru hijriyah?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Sebelumnya mari kita perhatikan sejarah tahun baru hijriyah. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, kaum muslimin belum mengenal pergantian tahun hijriyah. Sehingga ketika itu, tidak ada istilah tahun baru hijriyah. Mereka menggunakan kalender qamariyah sebagai acuan kegiatan dan pencatatan sejarah. Mengikuti kalender yang sudah digunakan oleh masyarakat arab sejak sebelum islam. Hanya saja, di zaman mereka belum ada angka tahun dan acuan tahun.

Hingga akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, tepatnya di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat di Madinah, dan beliau meminta,

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.

Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain. (Mahdhu ash-Shawab, 1/316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama Hijriyah. (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).

Dengan memahami latar belakang di atas, ada kesimpulan yang bisa kita berikan garis tebal,

Bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr tidak dikenal tahun baru hijriyah. Alasan Umar menetapkan acuan tahun hijriyah adalah untuk menandai setiap peristiwa dan menertibkan kegiatan korespondensi dengan wilayah lain. Atau dengan bahasa sederhana, latar belakang penetapan tahun hijriyah di zaman Umar, lebih terkait pada kepentingan administrasi dan tidak ada hubungannya dengan ibadah. Segala bentuk ritual ibadah, baik shalat di malam pergantian tahun atau doa tahun baru, atau puasa akhir tahun, dst, sama sekali tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat. Ketika Umar menetapkan tanggal 1 Muharram sebagai hari pergantian tahun, beliau tidak memerintahkan masyarakat untuk memeriahkan hari itu sebagai hari istimewa.

Karena itulah, para ulama sejak masa silam, mereka tidak pernah menganjurkan adanya ibadah khusus, apapun bentuknya, di tahun baru hijriyah. bahkan para ulama mengingkarinya.

Dr. Bakr Abu Zaid – Pengajar di Masjid Nabawi pada 1390 – 1400 H, dan anggota Majma’ al-Fiqhi al-Islami di bawah Rabithah Alam Islamiyah – (w. 1429 H) mengatakan,

لا يثبت في الشرع شيء من دعاء أو ذكر لآخر العام، وقد أحدث الناس فيه من الدعاء، ورتبوا ما لم يأذن به الشرع، فهو بدعة لا أصل لها.

"Tidak terdapat dalil dalam syariat yang menyebutkan tentang doa atau dzikir akhir tahun. Masyarakat membuat-buat kegiatan doa, mereka susun kalimat-kalimat doa, yang sama sekali tidak diizinkan dalam syariat. Doa semacam ini murni bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dasarnya." (Tashih ad-Dua, hlm. 108).

Keterangan yang sama juga disampaikan Syaikh Khalid Abdul Mun’im Rifa’i,

ينبغي للمسلم اجتناب تخصيص نهاية العام أو بداية العام الجديد بشيء من العبادات؛ فكل خير في اتباع من سلف

"Selayaknya bagi setiap muslim untuk tidak mengkhususkan akhir tahun atau awal tahun baru dengan ibadah apapun. Karena kebaikan itu ada pada mengikuti ulama terdahulu."

Memahami keterangan di atas, satu prinsip yang layak kita pahami bersama, tidak ada doa tahun baru hijriyah. Sementara doa yang tersebar di masyarakat, yang bunyinya,

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ….الخ.

"Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam…dst."

Doa ini shahih, diriwayatkan Ahmad, Turmudzi dan yang lainnya, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth. Hanya saja, doa ini bukan doa awal tahun, namun doa awal bulan. Dianjurkan untuk dibaca setiap awal  bulan qamariyah. Mengkhususkan doa ini hanya ketika tahun baru hijriyah, termasuk menyalahi fungsi dari doa tersebut.

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
🌐 Sumber: https://konsultasisyariah.com/23701-doa-tahun-baru-hijriyah.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Monday, August 19, 2019

Perayaan Menyambut Jamaah Haji

Perayaan Menyambut Jamaah Haji
Pertanyaan:

Di tempat kami sering diadakan walimah (acara makan-makan) ketika berangkat maupun sepulang dari ibadah haji. bagaimana hukumnya? Apakah ada dalil masalah ini.

Dari: Abdullah K.

Jawaban:

Pada asalnya acara semacam ini hukumnya mubah (boleh). Karena itu, TIDAK BOLEH disikapi sebagai suatu keharusan atau anjuran. Artinya, andaikan ada orang yang tidak melakukannya karena sebab tertentu maka sama sekali tidak boleh mendapatkan celaan.

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi mendapatkan pertanyaan yang sama, beliau menjawab,

Apabila acara ini telah menjadi fenomena yang terus menerus dilestarikan, bahkan bisa jadi orang yang tidak melakukannya mendapatkan celaan maka hukumnya tidak boleh. Akan tetapi jika sifatnya terkadang dilakukan dan terkadang ditinggalkan, dan tidak ada celaan maupun pengingkaran bagi orang yang tidak melaksanaknnya maka saya berharap ini tidak masalah."

Demikian penjelasan beliau di: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=5532

Wallahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
🌐 Sumber: https://konsultasisyariah.com/9209-perayaan-menyambut-jamaah-haji.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, August 18, 2019

Tadabur Al-Qur'an, Surah Shad (1-7)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Shad (1-7)
Surah Shad, 1:

صۤ ۗوَالْقُرْاٰنِ ذِى الذِّكْرِۗ

Shad, demi Al-Qur'an yang mengandung peringatan.

Surah Shad, 2:

بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ عِزَّةٍ وَّشِقَاقٍ

Tetapi orang-orang yang kafir (berada) dalam kesombongan dan permusuhan.

Surah Shad, 3:

كَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَّلَاتَ حِيْنَ مَنَاصٍ

Betapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.

Surah Shad, 4:

وَعَجِبُوْٓا اَنْ جَاۤءَهُمْ مُّنْذِرٌ مِّنْهُمْ ۖوَقَالَ الْكٰفِرُوْنَ هٰذَا سٰحِرٌ كَذَّابٌۚ

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, “Orang ini adalah pesihir yang banyak berdusta.”

Surah Shad, 5:

اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًا ۖاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.

Surah Shad, 6:

وَانْطَلَقَ الْمَلَاُ مِنْهُمْ اَنِ امْشُوْا وَاصْبِرُوْا عَلٰٓى اٰلِهَتِكُمْ ۖاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ يُّرَادُ ۖ

Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.

Surah Shad, 7:

مَا سَمِعْنَا بِهٰذَا فِى الْمِلَّةِ الْاٰخِرَةِ ۖاِنْ هٰذَآ اِلَّا اخْتِلَاقٌۚ

Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Pindah Pulau Karena Takut Gempa

Pindah Pulau Karena Takut Gempa
Mohon maaf ustadz,

LIPI pernah mengumumkan bahwa ada potensi gempa besar di pulau Jawa termasuk di Jakarta, apakah jika saya memutuskan pindah ke pulau lain itu termasuk takut yang berlebihan yg dilarang agama? Karena ada yang menganggap itu termasuk kategori takut yang syirik, apakah takut syirik itu dan apa batasannya?.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

⚜ Pertama, kita perlu menyadari bahwa adanya bencana adalah cara Allah mengingatkan hamba-Nya, agar mereka semakin takut kepada Allah.

Allah berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآَيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

Tidaklah kami mengirim ayat-ayat itu selain untuk menakut-nakuti (hamba).” (al-Isra: 59)

Yang dimaksud “ayat-ayat itu” adalah semua tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah, baik yang ada di lingkungan sekitarnya, termasuk mukjizat yang Allah berikan kepada para nabi.

Tujuan Allah menciptakan semua fenomena alam, untuk menunjukkan ke-Maha Kuasan Allah kepada hamba-Nya. Sehingga semakin menambah rasa takut mereka kepada-Nya. Termasuk peristiwa gempa bumi, tsunami, gerhana Matahari, dst.

Bagi orang kafir, mereka melihat kejadian ini tanpa pernah terbayang tentang siapa penciptanya. Mereka hanya memikirkan, ini hanya fenomena alam dan tidak ada hubungannya dengan Tuhan.

Berbeda dengan seorang muslim, kejadian semacam ini bukan hanya sebatas fenomena alam. Namun itu adalah peringatan agar manusia semakin takut kepada Sang Kuasa. Karena mereka mengimani bahwa ini semua ada penciptanya.

Sikap semacam inilah yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau melihat fenomena alam, sampaipun hanya mendung gelap, terlihat roman ketakutan di wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِيْ أُفُقٍ مِنْ آفَاقِ السَّمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ – وَإِنْ كَانَ فِيْ صَلاَتِهِ – ثُمَ أَقْبَلَ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهُ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ : اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– apabila melihat mendung di ufuk langit, maka beliau meninggalkan aktivitasnya, meskipun dalam keadaan shalat, kemudian menghadap kepadanya. Apabila Allah menyingkapnya, maka beliau memuji-Nya dan apabila turun hujan, beliau berdoa, ‘Ya Allah jadikanlah hujan ini adalah hujan yang bermanfaat’.” (HR. Bukhari Adabul mufrad)

Ketakutan yang terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah takut kepada Allah. Beliau takut, jangan-jangan Allah murka kepada hamba-Nya, disebabkan kemaksiatan mereka. Kemudian Allah mendatangkan adzab kepada mereka.

⚜ Kedua, bahwa sebab utama Allah menghukum hamba-Nya dengan bencana alam adalah karena maksiat yang dilakukan para hamba. Kemudian memberikan peringatan kepada hamba-Nya dalam bentuk musibah dan bencana alam. Terkadang dalam bentuk angin kencang yang memporak-porandakan berbagai bangunan, terkadang dalam bentuk gelombang pasang, hujan besar yang menyebabkan banjir, gempa bumi, termasuk peperangan di antara umat manusia.

Allah berfirman,

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ

Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain…” (QS. Al-An’am: 65)

Ada banyak ayat yang menegaskan bahwa sebab bencana, terutama gempa dan penenggelaman manusia di bumi, adalah karena maksiat.

Diantaranya firman Allah,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Allah menyebut maksiat manusia sebagai makar, dan adzab bisa jadi akan turun secara tiba-tiba tanpa ada aba-aba,

أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ  أَوْ يَأْخُذَهُمْ فِي تَقَلُّبِهِمْ فَمَا هُمْ بِمُعْجِزِين

Maka apakah orang-orang yang membuat makar dengan melakukan maksiat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. Atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu).” (QS. An-Nahl: 45 – 46)

Allah juga mengingatkan, bisa jadi balasan makar Allah untuk hamba-Nya yang membangkang, datang ketika mereka sedang tidur,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ

Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?” (QS. Al-A’raf: 97)

Allah juga menegaskan bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, disebabkan perbuatan maksiat yang pernah mereka lakukan. Allah berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Setiap musibah yang menimpa kalian, disebabkan perbuatan tangan kalian, dan Allah memberi ampunan terhadap banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)

Allah juga menceritakan keadaan umat sebelum kita,

فَكُلّاً أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِباً وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Masing-masing Kami adzab disebabkan dosa mereka. Di antara mereka ada yang kami kirimi angin kencang, di antara meraka ada yang dimusnahkan dengan teriakan yang sangat pekak, ada yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidaklah menzalimi mereka, namun mereka yang bersikap zalim pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

Ibnul Qayyim juga menjelaskan bahwa gempa bumi ini terjadi agar manusia meninggalkan kemaksiatan dan kembali kepada Allah, beliau mengatakan,

ﺃﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻟﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﻴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺘﻨﻔﺲ ﻓﺘﺤﺪﺙ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺰﻻﺯﻝ ﺍﻟﻌﻈﺎﻡ ﻓﻴﺤﺪﺙ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﺍﻟﺨﻮﻑ ﻭﺍﻟﺨﺸﻴﺔ ﻭﺍﻹﻧﺎﺑﺔ ﻭﺍﻹﻗﻼﻉ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﺻﻴﻪ ﻭﺍﻟﺘﻀﺮﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺍﻟﻨﺪﻡ

Allah –Subhanahu wa Ta’ala– terkadang mengizinkan bumi untuk bernafas maka terjadilah gempa bumi yang dasyat, sehingga hamba-hamba Allah ketakutan dan mau kembali kepada-Nya, meninggalkan kemaksiatan dan merendahkan diri kepada Allah dan menyesal” (Miftah Daris Sa’adah, 1/221).

Keterangan BMKG dan LIPI

Kita tidak menolak orang yang menisbahkan bencana kepada sebab indrawi (sebab hissi), seperti keterangan LIPI atau BMKG mengenai potensi gempa di daerah tertentu, karena adanya pergeseran lempeng tanah.

Atau potensi angin kencang karena adanya perbedaan suhu yang sangat drastis atau alasan fisika bumi lainnya.

Namun kita perlu ingat, bahwa semua fenomena alam itu, terjadi atas takdir Allah. Dialah Dzat yang mengatur seluruh alam.

Sehingga, adanya akibat kita kembalikan kepada sebab utama, mengapa Allah mendatangkan fenomena semacam ini?

Jika al-Quran menjawab, sebab utamanya adalah maksiat, maka sebagai orang yang beriman, kita wajib meyakini dan menerimanya.

Setelah kita sepakat bahwa sebab utama bencana adalah maksiat, berarti potensi semacam ini bisa saja terjadi di manapun, kapan-pun sesuai yang Allah kehendaki. Sehingga kita kembali berlindung kepada Allah, dengan memohon ampun kepada-Nya dan bukan mencari perlindungan kepada makhluk.

Ketika si A akan ditakdirkan oleh Allah dengan tenggelam karena tsunami, meskipun dia lari menghindari lautan, ketetapan itu tidak akan berubah. Sekalipun manusia meninggalkan pulau jawa karena ketakutan potensi gempa, namun Allah takdirkan meraka ini yang akan terkena gempa, sangat mudah bagi Allah untuk memindahkan gempa itu ke wilayah yang lain.

⚜ Ketiga, takut potensi gempa

Takut kepada potensi bencana termasuk ketakutan normal (khauf thabi’i). Namun jika potensi itu sangat tidak jelas, maka ini termasuk takut khayalan (khauf wahmi), sesuatu yang selayaknya tidak perlu ditakuti. Takut yang berlebihan, menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban ber-tawakkal.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

الخوف الطبيعي والجبلي في الأصل مباح ، لقوله تعالى عن موسى : ( فخرج منها خائفا يترقب ) ، وقوله عنه أيضا : ( رب إني قتلت منهم نفسا فأخاف أن يقتلون ) ، لكن إن حمل على ترك واجب أو فعل محرم فهو محرم.”

Takut alami pada asalnya mubah. Berdasarkan firman Allah tentang Musa (yang artinya), “Keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir.” Juga firman Allah tentang Musa di ayat lain, (yang artinya) “Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. Namun jika takut ini menyebabkan orang meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 10/648).

Dan takut wahmi hanya terjadi pada orang yang imannya sangat lemah, karena tawakkalnya yang rendah. Seperti orang yang takut keluar rumah, karena khawatir terjadi kecelakaan atau takut semua jenis makanan karena khawatir terkena penyakit, dst.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شرُّ ما في رجل شحٌّ هالع، وجبن خالع

Karakter paling buruk yang ada pada diri seseorang, pelit karena takut miskin dan pengecut yang gampang takut.” (HR. Ahmad 8010, Abu Daud 2513 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan obat untuk mengatasi takut semacam ini adalah belajar bertawakkal kepada Allah.

Sebelum Abu Sufyan masuk islam, dia mengirim ancaman kepada kaum muslimin, bahwa dia akan menyiapkan pasukan yang sangat besar untuk menyerang Madinah. Mendengar ancaman itu, mukminin Madinah tidak takut, mereka bertambah iman dan bertawakkal kepada Allah.

Allah berfirman,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia [250] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)

Sebaliknya, karakter gampang takut, hanya terjadi pada orang munafik. Karena mereka sama sekali tidak memiliki tawakkal kepada Allah. Mereka hidup diselimuti dengan ketakutan. Mereka bermuka dua, bisa berpihak kepada orang kafir, bisa juga berpihak kepada mukmin, yang penting mereka bisa aman.

Allah berfirman menceritakan karakter mereka di surat al-Hasyr,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab (Bani Nadhir): “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta

Mereka demikian penakut, hingga di lanjutan ayat Allah menyebut mereka sebagai orang bodoh yang suka gagal paham,

لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ

Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS. al-Hasyr: 11 dan 13)

Mereka disebut orang yang tidak mengerti, karena mereka tidak memahami bahwa takut yang sejatinya adalah takut kepada Allah, bukan kepada makhluk, menggantungkan harapan dan berlindung kepada Allah, bukan kepada makhluk , dst. namun mereka lebih bergantung kepada makhluk. (Tafsir Ibnu Sa’di, hlm. 851)

Bisa saja, perasaan semacam ini menggelayuti perasaan kaum muslimin. Ketakutan yang berlebihan, sehingga membuat mereka mencari perlindungan kepada makhluk.

⚜ Keempat, disamping kita diajarkan untuk takut terhadap adzab Allah ketika peristiwa bencana, kita juga harus menaruh harapan kepada Allah. Karena dua hal ini, yaitu raja’ (rasa harap) dan khauf (rasa takut) adalah keseimbangan yang Allah ajarkan dalam al-Quran. Setelah Allah bercerita tentang surga, Allah bercerita tentang neraka. Setelah Allah bercerita tentang orang soleh yang mendapatkan balasan kebaikan, Allah bercerita tentang orang jahat yang mendapatkan hukuman keburukan.

Inilah keseimbangan, agar hamba selalu kembali kepada Allah. Tidak hanya sebatas takut, sehingga menyebabkan mereka putus asa dari rahmat Allah, dan juga tidak hanya besar harapan, sehingga membuat mereka lupa diri.

Allah berfirman,

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Sampaikan kepada para hamba-Ku, bahwa Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Ayat ini memberikan harapan sangat besar. Kemudian Allah sebutkan di lanjutan ayat,

وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الأَلِيمَ

Dan bahwasanya hukuman-Ku adalah adzab yang pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)

Ketika seorang mukmin memiliki harapan kepada Allah, maka dia akan berusaha mendekat kepada Allah, dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.. Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya yang bertaqwa…

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Riya Bisa Membatalkan Ibadah?

Riya Bisa Membatalkan Ibadah?
Ustadz, ada temen yg bertanya.

Apakah perlu mengulang solat (fardhu) dikarenakan ketika mengerjakan solat tsb, dia melakukan riya’? Apakah sah solatnya tsb?

Teguh Sup

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, bahwa riya bisa membatalkan ibadah yang kecampuran riya. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah berfirman,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku paling tidak butuh sekutu dalam kesyirikan. Siapa yang melakukan amalan, dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku dalam amalan tersebut, Aku tinggalkan amal itu dan sekutunya. (HR. Muslim 7666)

Yang dimaksud syirik dalam hadis ini adalah syirik dalam motivasi beribadah. Seseorang beribadah dengan motivasi bukan untuk mendapatkan balasan dari Allah, namun ingin mendapatkan balasan dari manusia. apapun bentuknya.

Bagaimana Hubungan Riya dengan Keabsahan Ibadah?

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa hubungan riya dengan ibadah ada 3 macam:

1. Motivasi dia beribadah dari awal adalah untuk mendapatkan perhatian dari manusia. seperti orang yang beribadah dengan tujuan dia dari awal agar diakui bagian dari muslim. Riya ini membatalkan ibadah.

2. Dari awal niatnya ikhlas, namun kemudian muncul riya di tengah ibadah.

Ada dua keadaan untuk kasus ini:

[1] Ibadah yang dia lakukan bukan satu kesatuan.

Seperti membaca al-Quran, sedekah, belajar, mengajar, dst.

Misalnya: orang membaca al-Quran dengan ikhlah sebanyak 1 halaman. Tiba-tiba muncul riya ketika membaca halaman berikutnya. Maka 1 halaman pertama yang dia baca dengan ikhlas, statusnya sah. Sementara bacaan lanjutannya tidak sah.

Atau orang bersedekah 50 rb ikhlas. Kemudian dia bersedekah lagi 100 rb, tapi karena untuk pamer. Sedekah yang pertama sah, dan sedekah kedua tidak sah, karena kecampuran riya.

[2] Ibadah yang dikerjakan, satu kesatuan. Batal di akhir, membatalkan semuanya.

Seperti shalat, atau puasa, dst.

Ada beberapa keadaan untuk kasus ini,

Ketika riya itu muncul, dia segera koreksi hatinya dan menolak riya sebisa yang dia lakukan. Dalam kondisi ini, riya tidak memberikan pengaruh apapun bagi ibadahnya. Karena lintasan batin riya semacam ini, mustahil bisa hilang dari manusia.

Ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا إِلاَّ أَنْ يَتَكَلَّمُوا بِهِ أَوْ يَعْمَلُوا بِه

Allah memaafkan bisikan hati dari umatku, sampai dia ucapkan atau dia amalkan. (HR. Bukhari 5269 & Nasai 3433)

Dia menikmati munculnya riya ini, dan tidak ditolak. Dalam kondisi ini semua ibadahnya batal dari awal. Karena ibadahnya satu kesatuan.

Sebagai contoh, orang yang shalat dengan ikhlas, namun ketika di rakaat ketiga, dia riya. Dan dia tidak berusaha menolaknya. Shalatnya batal dari awal.

3. Muncul riya setelah selesai ibadah.

Semacam ini tidak mempengaruhi keabsahan ibadah dan tidak membatalkannya. Karena shalatnya selesai dengan benar, dan tidak menjadi batal gara-gara muncul riya.

Dan bukan termasuk riya, ketika seseorang merasa senang seusai ibadah karena dia tahu, ibadahnya dilihat orang lain. Karena rasa senang ini muncul setelah selesai ibadah.

Bukan termasuk riya ketika seseorang bahagia seusai melakukan ketaatan. Bahagia karena melakukan ketaatan, termasuk tanda iman.

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Bukan juga termasuk riya, ketika ada orang yang melakukan ketaatan, kemudian dia dipuji orang lain.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, tentang orang yang melakukan ketaatan kemudian dia dipuji masyarakat. Kata beliau,

تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ

Itu adalah berita gembira yang disegerakan untuk orang mukmin. (HR. Ahmad 21988 & Muslim 6891)

Allahu a’lam

📖 Referensi: Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/207

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

🌐 Sumber https://konsultasisyariah.com/26441-kapan-riya-bisa-membatalkan-ibadah.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Doa Untuk Orang Yang Pulang Haji

Doa Untuk Orang Yang Pulang Haji
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau tanya, ada tidak ucapan untuk orang yang baru pulang haji?

Dari: Abu Hammam, Pekalongan

Jawaban:

Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada lafadz doa atau ucapan tertentu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang yang baru pulang haji, namun tidak mengapa seseorang mendoakan untuk mereka dengan doa-doa yang baik dan sesuai, seperti "Semoga Allah menerima amal shalihmu”, “Semoga Allah menjadikan hajimu sebagai haji yang mabrur” dan ucapan-ucapa doa sejenisnya yang tidak mengandung makna terlarang. Sebab ucapan selamat dan doa kebaikan merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam ajaran Islam, baik di hari raya maupun selainnya.

Oleh karena itu, banyak beberapa dalil yang menunjukkan adanya ucapan selamat pada selain hari raya, seperti ucapan para sahabat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Selamat untukmu atas apa yang diberikan oleh Allah kepadamu”. (Bukhari, no.3939 dan Muslim, no.1786), dan ucapan selamat dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berserta para sahabat kepada Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya. (HR. Bukhari, no.4156 dan Muslim, no.2769)

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di berkata, “Ucapan selamat dalam berbagai kesempatan dibangun di atas kaidah yang berharga, yaitu asal dalam masalah adalah adat, baik ucapan maupun perbuatan hukumnya adalah boleh. Tidak bisa diharamkan atau dibenci kecuali apabila mengandung hal yang dilarang oleh syariat atau mengandung kerusakan. Kaidah agung ini dibangun di atas Alquran dan sunah.

Sesungguhnya manusia tidaklah bermaksud ibadah dengan ucapan ini, namun hal itu merupakan adat sesama mereka dalam sebagian kesempatan. Hal ini tidak terlarang, bahkan menyimpan kemaslahatan sebab apabila kaum mukmin saling mendoakan antara sesama maka sejatinya hal itu akan menyebabkan mereka saling mencintai.

Dan adat-adat yang boleh apabila diringi dengan manfaat dan maslahat, maka bisa menjadikannya sebagai amalan yang dicintai oleh Allah sesuai dengan buah yang dihasilkannya.”

Wallahu A’lam.

(Al-Fatawa As-Sa’diyyah, Hal. 487. Lihat pula risalah Wushul Amaani bi Ushuli Tahani oleh As-Suyuthi, Majalis ‘Asyri Dzilhijjah Abdullah al-Fauzan, Hal.111-114).

👤 Penulis: Nurfitri Hadi

🌐 Sumber: https://konsultasisyariah.com/9206-doa-untuk-orang-yang-pulang-haji.html

Baca juga : Doa Untuk yang Baru Pulang Umrah

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, August 14, 2019

Tata Cara Takbir Muqoyyad

Tata Cara Takbir Muqoyyad
Bismillah, tanya ustadz:

1. Manakah lebih di dahulukan/utama, dzikir setelah sholat atau takbir di setiap selesai sholat wajib di hari-hari tasyrik?

2. Adakah batasan jumlah takbir setelah sholat wajib?

Jawaban:

Takbir muqoyyad setelah sholat 5 waktu pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11,12,13 Dzulhijjah), merupakan perkara yang disyariatkan.

Diantara dalil yang mendasarinya adalah firman Allah Tabaraka wa Ta'ala :

‎وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

"Dan berdzikirlah dengan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang berbilang..." [QS Al-Baqarah 203]

Imam Al Bukhari menukil penafsiran dari sahabat Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhuma-, bahwa yang dimaksud dengan beberapa hari yang berbilang adalah hari-hari tasyriq.

Adapun tentang mana yang lebih diprioritaskan, apakah dzikir setelah sholat ataukah bertakbir muqoyyad karena hari tasyriq ?

Perkara ini diperselisihkan oleh para ulama, setidaknya ada 3 pendapat yaitu :

🔰 Langsung bertakbir setelah sholat sebelum berdzikir, yakni imam setelah sholat dan masih dalam keadaan menghadap kiblat. Sebagaimana yang diterangkan oleh imam al mardawi dalam al inshof : 5/374, beliau juga menyebutkan beberapa ulama dari mazhab hambali yang berpendapat seperti itu.

🔰 Bertakbir setelah membaca dzikir istighfar 3x dan allahumma antas salam...dst. Alasannya, karena dzikir tersebut bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah sholat 5 waktu, berbeda halnya dengan takbir muqoyyad karena hari tasyriq. Demikian yang dipegang oleh syeikh Muhammad bin Ibrahim dan Allamah Ibnul Utsaimin -rahimahullah- [Lihat syarhul Mumti' : 5/163].

🔰 Tawwaquf dalam masalah ini. Yakni mereka tidak menguatkan salah satu dari kedua pendapat tersebut diatas. Hal ini yang dipilih oleh syeikhul islam Ibnu Taimiyah.

Yang rojih menurut kami, adalah pendapat yang kedua, alasannya :

✔ Dasar pensyariatan dzikir setelah sholat, seperti istighfar dan allahumma antas salam...dst, berdasarkan hadits fi'liyah (perbuatan) Nabi shallalahu alaihi wasallam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shohih.

✔ Berbeda halnya dengan takbir muqoyyad dihari tasyriq, tidak atau belum kita temukan riwayat dari Nabi shallalahu alaihi wasallam secara marfu', bahwa beliau melakukan hal tersebut. Yang ada adalah riwayat atsar dari para sahabat, seperti Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhuma-.

✔ Dzikir istighfar 3x dan allahumma antas salam....dst, merupakan dzikir yang melekat dan tak terpisahkan dari sholat 5 waktu, baik dihari-hari tasyriq maupun hari lainnya.

Mengenai bilangan takbir muqoyyad tersebut, tidak/belum kita temukan riwayat dari Nabi secara marfu, ataupun atsar dari para sahabat maupun tabi'in yang membatasi jumlah bilangan takbir yang dibaca setelah sholat pada hari-hari tasyriq, sehingga semua kembali kepada keinginan dan kemampuan seseorang untuk bertakbir.

❗ Peringatan:
Tidak disyariatkan melakukan takbir muqoyyad setelah sholat lima waktu yang dibaca secara berjamaah, sebagaimana yang kita lihat sebagian kaum muslimin melakukannya.

Al-Allamah Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -rahimahullah- menjelaskan :

‎《أما التكبير الجماعي بصوت واحد فهذا ليس من السنة، بل كل واحدٍ يكبر وحده لنفسه، هذا التكبير يسن للرجال أن يجهروا به، وأما النساء فلا تجهر به لا في البيت ولا في السوق.》

"Adapun takbir jama'i (secara berjamaah) dengan satu suara, tidak termasuk dalam sunnah. Bahkan seharusnya setiap orang bertakbir secara sendiri-sendiri. Takbir tersebut disunnahkan bagi kaum pria untuk mengeraskannya, adapun kaum wanita dengan tidak mengeraskan suaranya, baik dirumah maupun dipasar." [Fatawa Nuur Alad Darb, kaset no 355].

Allohu Ta'ala A'lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Hilal Abu Naufal

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, August 11, 2019

Menyembelih di Hari Tasyrik Terakhir (13 Dzulhijjah), Tidak Sah?

Menyembelih di Hari Tasyrik Terakhir (13 Dzulhijjah), Tidak Sah?
Bolehkah menyembelih di hari tasyrik terakhir, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah? Saya pernah dengar itu tidak sah. Apa benar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Ulama berbeda pendapat tentang batas akhir waktu penyembelihan qurban. Ada dua pendapat dalam hal ini,

Pertama, waktu penyembeihan qurban hanya 3 hari, hari idul adha (10 Dzulhijjah) dan dua hari tasyrik setelahnya (11 & 12 Dzulhijjah). Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, dan hambali. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

as-Sarkhasi – ulama Hanafiyah – (w. 483 H) mengatakan,

ثُمَّ يَخْتَصُّ جَوَازُ الْأَدَاءِ بِأَيَّامِ النَّحْرِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ عِنْدَنَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَيَّامُ النَّحْرِ ثَلَاثَةٌ أَفْضَلُهَا أَوَّلُهَا. فَإِذَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ مِنْ الْيَوْمِ الثَّالِثِ لَمْ تَجُزْ التَّضْحِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ

Menyembelih qurban hanya dibolehkan khusus pada rentang batas hari penyembelihan, yaitu 3 hari, menurut pendapat kami (Hanafiyah). Dalam hadis dinyatakan, ‘Hari penyembelihan ada 3 hari. Yang paling ulama adalah pada hari qurban.’ Apabila matahari telah tenggelam di hari ketika(12 Dzulhijjah) maka tidak boleh lagi menyembelih. (al-Mabsuth, 14/169).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,

وقت نحر الأضحية والهدي ثلاثة أيام يوم النحر ويومان بعده نص عليه أحمد

Waktu penyembelihan qurban dan hadyu (penyembelihan di Mekah) adalah 3 hari. Hari qurban (10 Dzulhijjah) dan dua hari setelahnya (11 & 12 Dzulhijjah). Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (al-Mughni, 3/462).

Diantara dalil pedapat pertama,

Dalil pertama, larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyisakan daging qurban lebih dari 3 hari. Larangan ini pernah beliau sampaikan, ketika daerah di sekitar Madinah mengalami kekurangan bahan makanan. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الأَضَاحِى بَعْدَ ثَلاَثٍ. قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging qurban lebih dari 3 hari. Kata Salim (putra Ibnu Umar), ‘Ibnu Umar tidak pernah makan daging qurban lebih dari 3 hari.’ (HR. Ahmad 5013, Muslim 5214, Nasai 4423 dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab larangan ini,

« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari 5569 dan Muslim 1974).

Yang dipahami para ulama dari hadis ini, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengizinkan makan daging qurban selama 3 hari (10, 11, dan 12 Dzulhijjah) menunjukkan bahwa hari keempat (13 Dzulhijjah) bukan hari penyembelihan. Andai tanggal 13 Dzulhijjah adalah hari penyembelihan qurban, tentu beliau tidak akan memberikan batas sampai tanggal 12 Dzulhijjah.

Kemudian larangan ini dihapus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa tahun itu terjadi musim kurang makanan. Kemudian beliau izinkan untuk menyimpan daging qurban.

Ibnu Qudamah menjelaskan alasan pendapatnya,

ولنا أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن الأكل من النسك فوق ثلاث وغير جائز أن يكون الذبح مشروعا في وقت يحرم فيه الأكل ثم نسخ تحريم الأكل وبقي وقت الذبح بحاله ولأن اليوم الرابع لا يجب فيه الرمي فلم يجز فيه الذبح كالذي بعد

Kami (hambali) memiliki dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan qurban lebih dari 3 hari. Dan tidak mungkin dibolehkan menyembelih qurban di hari larangan makan daging qurban (13 Dzulhijjah). Kemudian larangan makan ini dihapus, sementara waktu penyembelihan masih tetap seperti semula. Disamping itu, padda hari keempat (13 Dzulhijjah) bukan waktu wajib melempar jumrah, sehingga ketika itu tidak boleh menyembelih sebagaimana hari sebelumnya. (al-Mughni, 3/462, Simak juga Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, volume 4, hlm. 201).

Dalil kedua, terdapat beberapa riwayat dari para sahabat bahwa mereka membatasi hari penyembelihan hanya sampai hari tasyrik kedua (12 Dzulhijjah). Diantaranya Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dan semacam ini tidak mungkin mereka sampaikan tanpa bimbingan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

Ibnu Qudamah menukil keterangan Imam Ahmad,

وقال : هو عن غير واحد من أصحاب الرسول الله صلى الله عليه و سلم ورواه الأثرم عن ابن عمر وابن عباس وبه قال مالك و الثوري و الأوزاعي و الشافعي و ابن المنذر

Imam Ahmad mengatakan, pendapat ini diriwayatkan lebih dari satu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Atsram meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 3/462).

Kedua, waktu penyembelihan qurban ada 4 hari

Dimulai sejak hari qurban (10 Dzulhijjah), hingga akhir hari tasyriq ketiga (13 Dzulhijjah). Ini merupakan pendapat Syafiiyah dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan  yang dinilai kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyim, as-Syaukani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

Imam an-Nawawi mengatakan,

وأما آخر وقتها فاتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على أنه يخرج وقتها بغروب شمس اليوم الثالث من أيام التشريق واتفقوا على أنه يجوز ذبحها في هذا الزمان ليلا ونهارا

Akhir waktu penyembelihan, keterangan Imam as-Syafii sama dengan keterangan para ulama syafiiyah bahwa batas waktu penyembelihan sampai terbenam matahari di hari tasyriq ketiga (13 Dzulhijjah). Mereka sepakat, boleh menyembelih qurban di selama rentang waktu ini, siang maupun malam. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/388).

Dalam al-Fatawa al-Kubro, Syaikhul Islam mengatakan,

وَآخِرُ وَقْتِ ذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ آخِرُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ

Akhir waktu penyembelihan qurban adalah sampai hari tasyriq terakhir. Ini adalah pendapat ‘alaihis salam-Syafii dan salah satu pendapat dalam madzhab hambali. (al-Fatawa al-Kubro, 5/385).

Pendapat ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Qudamah mengatakan,

وروي عن علي : آخر أيام التشريق وهو مذهب الشافعي وقول عطاء و الحسن

Dan diriwayatkan dari Ali, bahwa batas waktu penyembelihan adalah akhir hari tasyriq. Ini merupakan pendapat as-Syafii, dan pendapat Atha serta Hasan al-Bashri. (al-Mughni, 11/113).

Diantara dalil pendapat ini adalah hadis dari Jubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

Di setiap hari tasyriq adalah penyembelihan. (HR. Ahmad 17207, Ibnu Hibban 3854, ad-Daruquthni dalam Sunannya 4821 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).

Dalil lainnya, bahwa semua hari tasyriq adalah hari di mina, hari melempar jumrah, hari untuk memperbanyak takbiran, dan hari makan minum dan haram berpuasa. Sehingga hukum yang berlaku bagi ketiga hari tasyriq adalah sama. Lalu bagaimana mungkin dibedakan dengan hari tasyrik lainnya. (Zadul Ma’ad, 2/319).

Sementara larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyisakan daging qurban lebih dari 3 hari, telah beliau jelaskan sebabnya. Karena ketika itu, masyarakat mengalami kekurangan makanan. Sehinggi semua hewan qurban, harus habis sebelum tanggal 13 Dzulhijjah. Dan ini tidaklah menunjukkan larangan menyembelih di hari tasyriq ketiga.

Dengan memperhatikan semua pendapat, insyaaAllah pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua, bahwa batas akhir penyembelihan sampai hari tasyriq terakhir, tanggal 13 Dzulhijjah. Hanya saja, kita sarankan agar sohibul qurban tidak menunda penyembelihan tanpa sebab. Dalam rangka menghindari perbedaan pendapat ulama. Artinya, ketika hewan qurban itu disembelih sebelum tanggal 13 Dzulhijjah, akan lebih tenang, karena semua ulama sepakat, statusnya sah sebagai qurban.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
🌐 Sumber: https://konsultasisyariah.com/23590-menyembelih-di-hari-tasyrik-terakhir-13-dzulhijjah-tidak-sah23590.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Memberikan Hasil Sembelihan Qurban pada Orang Kafir?

Memberikan Hasil Sembelihan Qurban pada Orang Kafir
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir?

Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang diajak perang). Dalil dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8).

Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bukhari[8].”[9]

Kesimpulan: Memberikan hasil hewan qurban kepada orang kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

Wallahu 'alam

👤 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
🌐 Sumber: https://konsultasisyariah.com/236-jual-beli-kulit-hewan-qurban.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive