Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Thursday, October 31, 2019

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-Hujurat (15-18)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-Hujurat (15-18)
Surah Al-Hujurat, 15:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Surah Al-Hujurat, 16:

قُلْ اَتُعَلِّمُوْنَ اللّٰهَ بِدِيْنِكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Surah Al-Hujurat, 17:

يَمُنُّوْنَ عَلَيْكَ اَنْ اَسْلَمُوْا ۗ قُلْ لَّا تَمُنُّوْا عَلَيَّ اِسْلَامَكُمْ ۚبَلِ اللّٰهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ اَنْ هَدٰىكُمْ لِلْاِيْمَانِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.”

Surah Al-Hujurat, 18:

اِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Sungguh, Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Perintahkan Keluarga Kita Untuk Sholat!

Perintahkan Keluarga Kita Untuk Sholat!
Allah ﷻ berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا  ۖ لَا نَسْئَلُكَ رِزْقًا  ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ  ۗ وَالْعٰقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

"Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan sholat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa."

(Al-Quran Surat Ta-Ha Ayat 132)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Monday, October 28, 2019

Hutang Uang Dibayar Emas

Utang Uang Dibayar Emas
Bolehkah berutang dengan uang rupiah lalu dibayar dengan emas?

Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau menjual unta di Baqi’ dengan dinar, dan mengambil pembayarannya dengan dirham. Kemudian beliau mengatakan,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رُوَيْدَكَ أَسْأَلُكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَ بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan, ”Saya menjual unta di Baqi’ dengan dinar secara kredit dan aku menerima pembayarannya dengan dirham. Beliau bersabda,

“Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai.” (HR. An-Nasa’i, no. 4586, Abu Daud, no. 3354. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Salah seorang kerabatku yang berada di Kairo pernah menagih dariku utang 2500 Junaih (mata uang Mesir). Ketika itu aku mengirimkan uang padanya 2000 dollar. Kalau uang tersebut dikonversi menjadi 2490 Junaih. Ia berharap pelunasan utang tersebut segera mungkin. Namun kita belum sepakat bentuk dan cara pelunasan.

Pertanyannya, apakah cukup saya melunasi 2490 Junaih dan itu sama dengan 1800 dollar Amerika untuk saat ini, jadinya lebih rendah dari dollar yang saya kirim. Ataukah aku harus mengirim 2000 dollar dengan berharap sewaktu-waktu dollar bisa naik sehingga nilainya bisa jadi sama dengan 2800 Junaih, artinya 300 Junaih lebih banyak dari utang yang harus dilunasi.

Syaikh rahimahullah menjawab, “Wajib bagi saudaramu mengembalikan sejumlah dollar yang sudah dikirim tadi. Karena itulah utang yang harus engkau lunasi padanya. Namun sebenarnya jika telah disepakati bahwa beberapa junaih yang akan diserahkan tidaklah masalah.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menjual unta di Baqi’ dengan beberapa dirham (tidak tunai). Ketika itu diambil untuk pelunasannya dengan uang dinar. Dinar itu dijual sehingga didapatkan beberapa dirham. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai.” Yang terjadi adalah jual beli tunai dengan mata uang yang tidak sejenis, maka ini sama dengan bahasan hukum menukar emas dan perak.

Jika telah terjadi kesepakatan antara engkau dengannya, bahwa utang junaih akan dilunasi dengan dollar asalkan junaih yang diperoleh nantinya tidak banyak dari asal utang, maka tidaklah masalah. Misalkan, 2000 dollar itu sama dengan 2800 Junaih saat ini, maka tidak boleh mengambil 3000 Junaih, cukup mengambil 2800 Junaih.

Intinya, yang jadi patokan adalah kurs saat ini atau lebih rendah dari itu. Karenanya jangan diambil lebih daripada itu karena itu termasuk keuntungan yang bukan termasuk jaminanmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil keuntungan dari sesuatu yang bukan jaminan kita. Adapun mengambil lebih rendah dari itu, maka itu berarti mengambil sebagian hakmu dan berlepas dari yang sisa. Yang terakhir ini tidaklah masalah.” (Al-Mu’amalat Al-Maaliyah At-Tijariyah Sual wa Jawab, hlm. 177)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa utang boleh dilunasi dengan mata uang berbeda dengan syarat:
  1. Menggunakan standar harga waktu pelunasan, dan bukan harga waktu utang.
  2. Nilai tukarnya dipakai standar waktu pelunasan dan tidak boleh lebih dari jumlah utang.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada hakekatnya nilai uang itu sama sekali tidak berubah. Hanya saja, alat pembayarannnya yang berbeda.

Contoh: Kita mengutangi utang pada teman dekat kita sebesar Rp.40.000.000,- tahun 2010 dan akan dilunasi April 2017. Ada beberapa kasus pelunasan:
  • Dilunasi dengan uang yang sama pada April 2017, yaitu Rp.40.000.000,-, seperti ini masih boleh.
  • Dilunasi dengan emas pada April 2017, yaitu sebesar 80 gram emas (per gram Rp.500.000,-).
  • Dilunasi dengan nilai emas pada saat berutang misal per garam sama dengan Rp.300.000,. Berarti Rp.40.000.000,- sama dengan 133,33 gram. Akhirnya pada April 2017, nilai utang tersebut menjadi Rp.66.666.666,67. Jika terjadi seperti ini jumlah pembayaran utang berarti bertambah sehingga termasuk riba duyun. Juga terdapat barter mata uang yang tertunda, berarti masuk dalam riba nasi’ah (yang tertunda).
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

Sumber: https://rumaysho.com/15525-utang-uang-dibayar-emas.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, October 23, 2019

Apa Tujuan Allah Menciptakan Kita?

Apa Tujuan Allah Menciptakan Kita?
Allah ﷻ menciptakan kita untuk mentauhidkan-Nya. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Kata para ulama, maksud beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan Allah, berarti hanya beribadah kepada Allah semata, tidak boleh Allah disekutukan.

👤As-Sudi rahimahullah mengatakan bahwa ibadah itu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Orang-orang musyrik mengenal Allah namun tidak bermanfaat karena mereka masih menyekutukan Allah atau berbuat syirik. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:38)


Sumber: https://rumaysho.com/18082-tsalatsatul-ushul-pentingnya-belajar-tauhid.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tuesday, October 22, 2019

Berutang Itu Ketika Butuh, Bukan Menggampangkan Dalam Utang

Berutang Itu Ketika Butuh, Bukan Menggampangkan Dalam Utang
Dalam bahasa fikihnya disebut dengan qardh. Secara etimologi, qardh berarti memutus. Adapun pengertian secara terminologi adalah menyerahkan harta pada orang yang ingin memanfaatkan dan nanti akan dikembalikan penggantinya.

Pembahasan utang piutang ini terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan para ulama).

Hukum Berutang

  • Bagi yang memberi pinjaman (kreditur), hukumnya sunnah.
  • Bagi yang meminjam (debitur), hukumnya boleh namun ketika butuh.

Dikatakan sunnah menolong orang lain dalam utang karena dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 2699)

Adapun bagi yang meminjam (debitur) baiknya meminjam ketika dalam keadaan butuh saja. Alasannya hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ « هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلاً » . فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى ، وَإِلاَّ قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ » . فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ « أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ، فَمَنْ تُوُفِّىَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dihadirkan di hadapan beliau jenazah yang masih memilki utang. Beliau bertanya ketika itu, “Apakah ia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya?” Jika beliau dikabarkan bahwa orang tersebut meninggalkan utang dan ada harta yang bisa melunasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolatkannya. Lantas beliau mengatakan pada lainnya, “Shalatkanlah sahabat kalian.” Setelah Allah memberikan kemenangan dalam beberapa peperangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Saya yang lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Siapa saja yang meninggal dunia lantas meninggalkan utang, aku yang nanti akan menanggungnya. Sedangkan hartanya yang ditinggalkan, biarlah untuk ahli warisnya.” (HR. Bukhari, no. 2298)

Dalil lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengalihkan pada utang bagi yang tidak memiliki mahar saat nikah. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalihkan pada cincin besi, setelah itu pada Al-Qur’an yang ia miliki.

Hadis yang dimaksud adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan untuk dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak tertarik dengannya. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.

“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”

“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu (sarungmu)? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti engkau tidak memakai sarung itu.”

Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.

Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?”

“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.

“Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Iya,” jawabnya.

“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(HR. Bukhari, no. 5087 dan Muslim, no. 1425)

Lihatlah dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mencari utang untuk menikah. Namun beliau menyuruh mencari mahar dengan suatu yang murah seperti cincin besi, hingga pada hafalan Al-Qur’an. Artinya janganlah kita bergampang-gampangan dalam berutang kecuali butuh saja.

Berbahagialah Jika Terbebas dari Utang

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: (1) sombong, (2) ghulul (khianat), dan (3) utang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah, no. 2412 dan Tirmidzi, no. 1573. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Semoga Allah menyelamatkan kita dari utang yang menyulitkan hingga mudah masuk surga.

Diselesaikan Shubuh hari @ DS Panggang, 24Jumadats Tsaniyyah 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://rumaysho.com/15502-berutang-itu-ketika-butuh-bukan-bergampang-gampangan-dalam-utang.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, October 20, 2019

Ketika Musibah Menyapa

Ketika Musibah Menyapa
Apa yang sebaiknya diakukan ketika musibah datang menyapa kita? Apakah kita harus mengutuknya atau menceritakannya kepada orang lain?

Ali bin Abi Thalib berkata,

"Diantara bentuk pengagungan kepada Allah dan pengenalan terhadap hak-Nya adalah hendaknya engkau tidak mengadukan sakitmu dan menceritakan musibah yang menimpamu."

📙 Aina nahnu min haa’ulaa’i, hlm. 266

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Polemik Parfum Beralkohol

Polemik Parfum Beralkohol
Parfum adalah campuran minyak esensial dan senyawa aroma (aroma compound), fiksatif, dan pelarut yang digunakan untuk memberikan bau wangi untuk tubuh manusia, obyek, atau ruangan. Jumlah dan tipe pelarut yang bercampur dengan minyak wangi menentukan apakah suatu parfum dianggap sebagai ekstrak parfum, Eau de parfum, Eau de toilette, atau Eau de Cologne.

Pelarut Parfum

Sebagaimana sumber terpercaya yang kami peroleh dari Wikipedia[1], terdapat info sebagai berikut:

Minyak wangi biasanya dilarutkan dengan menggunakan solvent  (pelarut), namun selamanya tidak demikian dan jika dikatakan harus dalam solvent ini pun masih diperbincangkan. Sejauh ini solvent yang paling sering digunakan untuk minyak wangi adalah etanol atau campuran antara etanol dan air. Minyak wangi juga bisa dilarutkan dalam minyak yang sifatnya netral seperti dalam fraksi minyak kelapa, atau dalam larutan lak (lilin) seperti dalam minyak jojoba (salah satu jenis tanaman, pen).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebagian parfum ada yang menggunakan solvent (pelarut) dari alkohol atau campuran antara alkohol dan air.

Alkohol Sebagai Solvent (Pelarut) pada Parfum Bukanlah Khomr

Mungkin ini yang sering kurang dipahami oleh sebagian orang yang menghukumi haramnya parfum beralkohol. Mereka mengira bahwa alkohol yang terdapat dalam parfum adalah khomr.

Perlu kita ketahui terlebih dahulu, khomr adalah segala sesuatu yang memabukkan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Setiap yang memabukkan adalah khomr. Setiap yang memabukkan pastilah haram.”[2]

Yang jadi illah (sebab) pengharaman khomr adalah karena memabukkan. Perhatikan perkataan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsamin berikut.

Khomr diharamkan karena illah (sebab pelarangan) yang ada di dalamnya yaitu karena memabukkan. Jika illah tersebut hilang, maka pengharamannya pun hilang. Karena sesuai kaedah “al hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu ada dilihat dari ada atau tidak adanya illah)”. Illah dalam pengharaman khomr adalah memabukkan dan illah ini berasal dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama kaum muslimin).”[3]

Inilah sebab pengharaman khomr yaitu karena memabukkan. Oleh karenanya, tidak tepat jika dikatakan bahwa khomr itu diharamkan karena alkohol yang terkandung di dalamnya. Walaupun kami akui bahwa yang jadi patokan dalam menilai keras atau tidaknya minuman keras adalah karena alkohol di dalamnya. Namun ingat, alkohol bukan satu-satunya zat yang dapat menimbulkan efek memabukkan, masih ada zat lainnya dalam minuman keras yang juga sifatnya sama-sama toksik (beracun). Dan sekali lagi kami katakan bahwa Al Qur’an dan Al Hadits sama sekali tidak pernah mengharamkan alkohol, namun yang dilarang adalah khomr yaitu segala sesuatu yang memabukkan.

Lalu kita kembali pada point yang kami ingin utarakan. Perlu kiranya kita ketahui bersama bahwa alkohol (etanol) yang bertindak sebagai solvent (pelarut) dalam parfum bukanlah khomr. Maksudnya, yang menjadi solvent (pelarut) di situ bukanlah wiski, vodka, rhum atau minuman keras lainnya. Tidak ada pembuat parfum beralkohol yang menyatakan demikian. Namun yang menjadi solvent boleh jadi adalah etanol murni atau etanol yang bercampur dengan air. Dan ingat, etanol di sini bukanlah khomr. Dari pengamatan di sini saja, kenapa parfum beralkohol mesti diharamkan, yang nyata-nyata kita saksikan bahwa campurannya saja bukan khomr?

Pernyataan kami di atas bukan berdasar dari logika keilmuan kami semata, namun LP POM MUI[4] pun menyatakan demikian. Berikut kami cuplik sebagian perkataan mereka.

Alkohol yang dimaksud dalam parfum adalah etanol . Menurut fatwa MUI, etanol yang merupakan senyawa murni -bukan berasal dari industri minuman beralkohol (khamr)- sifatnya tidak najis. Hal ini berbeda dengan khamr yang bersifat najis[5]. Oleh karena itu, etanol tersebut boleh dijual sebagai pelarut parfum, yang notabene memang dipakai di luar (tidak dimasukkan ke dalam tubuh).” [REPUBLIKA – Jumat, 30 September 2005[6]]. Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi.

Taruhlah kita mengangap bahwa khomr adalah najis sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Tetap kita katakan bahwa parfum beralkohol hukum asalnya adalah halal karena campurannya saja bukan khomr, lantas mengapa dianggap haram?

Etanol adalah Zat yang Suci

Pembahasan ini bukanlah memaksudkan pada pembahasan minuman keras. Minuman keras sudah diketahui haramnya karena termasuk khomr. Yang kita bahas adalah mengenai apa hukum dari etanol (C2H5OH), apakah suci dan halal?

Ini sudah kami kemukakan dalam tulisan sebelumnya di sini. Namun kami akan sedikit mengulang dengan menjelaskan melalui ilustrasi berikut.

Kami ilustrasikan sebagai berikut.

Air kadang bercampur dengan zat lainnya. Kadang air berada di minuman yang halal. Kadang pula air berada pada minuman yang haram (semacam dalam miras). Namun bagaimanakah sebenarnya status air itu sendiri sebagai zat yang berdiri sendiri, tanpa bercampur dengan zat lainnya? Apakah halal? Jawabannya, halal. Karena kita kembali ke hukum asal segala sesuatu adalah halal[7]. Dasarnya adalah firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al A’rof: 32)

Air ini bisa menjadi haram jika ia sudah berupa campuran, namun yang ditinjau adalah campurannya dan bukan lagi airnya. Misalnya air yang terdapat dalam miras. Pada saat ini, air sudah bercampur dan menjadi satu dengan miras. Dan miras dihukumi haram, termasuk pula air di dalamnya.

Sama halnya kita terapkan untuk etanol. Etanol kadang bercampur dan jadi satu dengan minuman keras. Kadang pula etanol berada dalam cairan etanol yang bercampur dengan air. Bagaimanakah hukum asal etanol ketika berdiri sendiri dan belum bercampur atau menyatu dengan zat lain? Jawabannya, sama dengan air di atas. Kita kembali ke hukum asal bahwa segala sesuatu itu halal. Termasuk juga etanol ketika ia berdiri sendiri.

Nanti masalahnya berbeda ketika etanol tadi bercampur dan menyatu dengan miras. Ketika itu etanol juga bercampur dengan zat asetanilda, propanol, butanol, dan metanol yang kebanyakan bersifat toksik (racun). Pada saat ini, campurannya dihukumi haram karena sifatnya memabukkan, termasuk pula etanol di dalamnya.

Namun bagaimana jika etanol hanya bercampur dengan air. Apakah dihukumi haram? Jawabnya, kembali ke hukum asal yaitu halal. Pada saat ini pula etanol bukan lagi memabukkan. Namun asal etanol memang toksik (beracun) dan tidak bisa dikonsumsi. Jika etanol hanya bercampur dengan air, lalu dikonsumsi, maka cuma ada dua kemungkinan bila dikonsumsi, yaitu sakit perut atau mati.

Intinya, ada beberapa point yang bisa kita simpulkan:
  1. Hukum asal etanol jika ia berdiri sendiri dan tidak bercampur dengan zat lain adalah halal.
  2. Etanol bisa berubah statusnya jadi haram jika ia menyatu dengan minuman yang haram seperti miras.
  3. Etanol ketika berada dalam miras, yang dihukumi adalah campuran mirasnya dan bukan etanolnya lagi.
Jika melihat etanol (alkohol) yang ada dalam parfum, maka kita dapat katakan bahwa yang jadi solvent (pelarut) dalam parfum tersebut adalah etanol yang suci, lantas mengapa mesti dipermasalahkan? Karena ingat sekali lagi, campuran dalam parfum di sini bukanlah khomr, namun etanol yang statusnya suci. Semoga Allah beri kepahaman.

Jika Kita Menganggap Campuran Parfum adalah Khomr

Ini sebenarnya pernyataan yang kurang tepat sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas. Namun taruhlah jika kita masih meyakini bahwa parfum alkohol memakai campuran khomr, lalu dari segi mana parfum tersebut boleh digunakan?

Jawabannya, kita kembali pada pembahasan apakah khomr itu najis ataukah tidak. Sebagaimana yang telah kami utarakan bahwa khomr itu haram namun tidak najis. Di antara alasannya:

Pertama: Tidak ada dalil tegas yang menyatakan khomr itu najis.

Kedua: Terdapat dalil yang menyatakan khomr itu suci. Sebagaimana hal ini dapat kita lihat pada hadits dari Anas bin Malik tentang kisah pengharaman khomr. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru dengan berkata, “Ketahuilah, khomr telah diharamkan.”[8] Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa ketika bejana-bejana khomr pun dihancurkan dan penuhlah jalan-jalan kota Madinah dengan khomr. Padahal ketika itu orang-orang pasti ingin melewati jalan tersebut. Jika khomr najis, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyuruh membersihkannya sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintakan untuk membersihkan kencing orang Badui di masjid. Jika khomr najis tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan orang-orang membuangnya di jalan begitu saja.

Ketiga: Hukum asal segala sesuatu adalah suci.

Jika sudah jelas zat khomr itu suci dan tidak najis, maka tidak menjadi masalah dengan parfum beralkohol. Namun perlu diketahui bahwa ulama yang menyatakan khomr itu suci, mengenai hukum parfum beralkohol ada beberapa pendapat di antara mereka, yaitu sebagai berikut:
  1. Dibolehkan jika alkohol dalam parfum itu sedikit.[9]
  2. Tidak dibolehkan karena kita diperintahkan menghancurkan khomr sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Jika diperintahkan dihancurkan, maka mengapa malah digunakan untuk parfum? Tentu saja tidak boleh menggunakannya.[10]
Namun jika kita melihat penjelasan di awal tadi, dua pendapat ini kami nilai kurang tepat karena salah dalam memahami istilah alkohol dalam parfum. Sebagaimana telah dikemukakan, solvent (pelarut) yang digunakan dalam parfum beralkohol bukanlah khomr namun etanol atau campuran antara etanol dan air. Lantas mengapa mesti dipermasalahkan?

Kesimpulan

Hukum asal menggunakan parfum beralkohol adalah boleh, mengingat status alkohol (etanol) yang suci yang bercampur dalam parfum tersebut, kecuali bila ada campuran zat najis lainnya dalam parfum tersebut[11].

Catatan penting:

Untuk wanita, diperbolehkan menggunakan wewangian hanya di rumah dan diantara alasannya adalah riwayat berikut:

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Shahih)

Demikian pembahasan kami mengenai parfum beralkohol. Semoga bisa menjawab polemik yang ada yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. Semoga pelajaran ini bermanfaat bagi kita sekalian. Wallahu a’lam bish showab.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

-----

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Teknik Kimia UGM)

Sumber : https://rumaysho.com/822-polemik-parfum-beralkohol.html

-------------------------

[1] Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Perfume

[2] HR. Muslim no. 2003, dari Ibnu ‘Umar.

[3] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 11/195, Asy Syamilah

[4] Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.

[5] Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa khomr itu najis adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dan telah kami sanggah dalam pembahasan tersendiri.

[6] Sumber: http://www.republika.co.id/print/20898

[7] Kaedah “Hukum asal segala sesuatu adalah halal” merupakan kaedah yang tidak disepakati oleh para ulama, namun merupakan kaedah yang diterapkan mayoritas ulama. Lihat Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’idil Fiqhi Al Kulliyah, Syaikh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, hal. 191, Muassasah Ar Risalah, cetakan kelima, tahun 1422 H.

[8] HR. Bukhari 2464 dan Muslim 1980, dari Anas.

[9] Lihat pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsamin dalam Liqo’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 60, pertanyaan ke-17, Asy Syamilah

[10] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Soal kedua, Fatawa no. 3426, 22/145.

[11] Ini adalah tambahan dari LP POM MUI: “Walaupun demikian, selain etanol, perlu diperhatikan pula kemungkinan-kemungkinan digunakannya bahan najis lain pada pembuatan parfum tersebut. Bahan tersebut dapat berupa turunan hewani atau pun penggunaan bahan lain yang tidak halal dalam proses pembuatannya. Seperti kemungkinan penggunaan lemak hewan dalam proses enfleurasi (proses penyerapan aroma bunga). Bahan-bahan ini harganya mahal dan biasanya digunakan pada parfum yang mahal pula tentunya.”

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Rajin Menjaga Shalat Sunnah Qobliyah Shubuh

Rajin Menjaga Shalat Sunnah Qobliyah Shubuh
Dan shalat sunnah fajar inilah yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, dikatakan pula oleh ‘Aisyah,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَكُنْ عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh”  (HR. Muslim no. 724).

Dalam lafazh lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Aku tidaklah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah yang lebih semangat dibanding dengan shalat sunnah dua raka’at sebelum Fajar” (HR. Muslim no. 724).

Dalil anjuran bacaan ketika shalat sunnah qobliyah shubuh dijelaskan dalam hadits berikut,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَرَأَ فِى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ketika shalat sunnah qobliyah shubuh surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas” (HR. Muslim no. 726).

Sumber: https://rumaysho.com/3301-keutamaan-shalat-sunnah-sebelum-shubuh.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, October 16, 2019

Hukum Jual Beli Utang Dengan Utang

Hukum Jual Beli Utang Dengan Utang
Jual Beli Utang dengan Utang

Bentuknya adalah seseorang membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang tersebut belum diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum jadi. Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan barang tersebut padaku dengan pembayaran tempo dan aku akan memberikan tambahan.” Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqabudh (serah terima barang). Bentuk jual beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada. Dan di sana ada riba karena adanya tambahan.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang.” (HR. Ad-Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if sebagaimana dalam Dha’if Al-Jaami’, 6061). Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu terlarang jual beli utang dengan utang.

Karena sebab inilah dalam jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan) berlaku aturan uang secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang tertunda.

Menabung Emas di Tempat yang Tidak Jelas

Ada bentuk jual beli utang dan utang yang dicontohkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin. Bentuknya adalah ada orang yang menjual emas misalnya ditaruh di tempat tertentu, katanya. Emas tersebut dijual dengan pembayaran tempo. Emas tersebut dibeli oleh yang lain tanpa menunjukkan wujud barangnya. Namun hanya disebutkan ciri-cirinya bahwa emas tersebut berukuran besar. Lantas barang tersebut dibeli. Yang menjual pada orang lain tadi tidak memindahkan barangnya ke tempatnya (berarti belum qabdh). Orang yang beli pun tidak bisa memindahkan barang ia beli ke tempat miliknya. Mu’amalah seperti ini diharamkan karena yang terjadi adalah jual beli utang dan utang. (Syarh ‘Umdah Al-Fiqh, 2: 803-804)

Semoga Allah terus menambahkan kita ilmu yang bermanfaat.

-------------------------

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/15516-menabung-emas-namun-tak-pernah-melihat.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tuesday, October 15, 2019

Riba Pada Jual Beli Dengan Cicilan 0%

Riba Pada Jual Beli Dengan Cicilan 0%
Contohnya adalah beli HP dengan harga 2,4 juta dan jika dengan kartu kredit cicilan 0% diubah menjadi cicilan menjadi 400 ribu dibayar enam kali. Apa memang masih termasuk riba?

Ternyata kalau ditelusuri, tetap ada denda untuk transaksi krediti cicilan 0%. Jika melewati jatuh tempo lalu telat membayar, tetap dikenai denda. Namun kalau membayar tepat waktu, cicilan 0% akan tetap jadi 0%.

Hal seperti ini bermasalah karena adanya akad menyetujui transaksi riba.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyatakan bahwa tetap tidak dibolehkan mengikuti transaksi kredit yang ada dendanya ketika telat bayar, walaupun pembeli bertekad untuk melunasi angsurannya tepat waktu. Ada dua alasan terlarangnya:

Ini sama saja menyetujui syarat riba, itu haram.

Bisa jadi ia tetap terjatuh dalam riba karena telat saat punya udzur yaitu karena lupa, sakit, atau pergi safar. (Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, 101384)

Dan perlu dipahami bahwa denda ketika ada keterlembatan pembayaran termasuk riba jahiliyah dan disepakati haramnya.

Ibnu Katsir menyatakan bahwa jangan seperti orang jahiliyah yang akan berkata kepada pihak yang berutang (debitor) ketika sudah jatuh tempo, “Lunasilah! Kalau tidak, utangmu akan dibungakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:287)

Karena sikap yang tepat untuk menyikapi orang yang telat dalam melunasi utang sebagai disebutkan dalam ayat,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang itu) berada dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Berarti kalau transaksi cicilan 0% tidak dikenakan denda ketika telat membayar, bisa selamat dari riba. Wallahu a’lam.

Sumber: https://rumaysho.com/16124-cicilan-0-masih-bermasalah.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, October 13, 2019

Agar Tidak Terus Mencari Kreditan

Agar Tidak Terus Mencari Kreditan
Kita diperintahkan untuk senantiasa bersyukur pada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepada kita sekalian. Moga dengan banyak bersyukur, kita akan terus ditambahkan nikmat lainnya dan bersyukur itu dimulai dari yang sedikit.

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Allah Ta’ala berfirman,

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7)

Syukur inilah yang mesti kita buktikan dengan takwa sebagaimana yang Allah perintahkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah memacu masyarakat untuk hidup konsumsif. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun sudah merambah ke pelosok-pelosok desa.

Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan syarat yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif merasa dimudahkan dalam membeli segala sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal mengisi formulir pengajuan kredit dan menandatanganinya, barang pun akan terbeli. Cara pelunasan jadi urusan belakang.

Yang penting, nikmati dulu barangnya, nikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Manfaat barang yang dibeli justru seringkali sekadar menjadi pertimbangan kedua.

Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang pada kemudian hari. Ternyata jumlahnya membengkak akibat sistem “bunga berbunga” yang diterapkan. Intinya, masyarakat pada zaman penuh “wah” saat ini mau-mau saja terjun ke dalam praktik riba asalkan bisa mendapat

barang mewah impiannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang suatu zaman ketika manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari, no. 2083, dari Abu Hurairah)

Pegang prinsip mulai saat ini: STOP NAMBAH UTANG!

Sumber : https://rumaysho.com/16252-khutbah-jumat-agar-tidak-terus-mencari-kreditan.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Thursday, October 10, 2019

STOP Mencela

STOP Mencela
Ada sebuah adab pergaulan yang mungkin kita lupa untuk mengamalkannya
Apalagi pergaulan di dunia maya
dan di alam Medsos
Di mana terkadang kita tidak mengetahui dengan siapa kita bergaul…
Di masa semua orang bisa menulis
Terkadang ada celaan-celaan yang melukai hati
Ada ungkapan-ungkapan kebencian yang tersebar
Bullying
Hal itu terkadang terjadi juga di dunia nyata…

Pertanyaannya, kalau kamu dibully, apakah yang akan kau lakukan?
Balik menyerang, bahkan dengan ungkapan yang lebih parah?

Simaklah wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Jabir bin Salim al HUjaimi:

وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بأمر هو فيه، ودعه يكون وَبَالُه عليه، وأجره لك، ولا تسبن أحد

Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Biarkanlah dia, akibat buruknya akan menimpa dirinya dan pahalanya untuk dirimu. Dan jangan sekali-kali mencela seorang pun
(HR Abu Daud at Thayalisi, Ash Shahihah 770)

Jadilah Muslim yang baik, yang Allah bangga dengan keislamanmu
Yang membuat orang jadi salut dengan indahnya ajaran islam yang kau amalkan
Stop mencela dan menulis sesuatu yang kurang berguna yang dosanya akan kau tanggung

Barakallahu fik

Syafiq Riza Basalamah, حفظه الله تعالى

Sumber https://bbg-alilmucom/archives/27386

===============================

Wallahu a'lam bishawab

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“ [HR Muslim, 3509]

Jazaakumullahu khairan

Share:

Keutamaan Orang Yang Selalu Menjaga Wudhu

Keutamaan orang yang selalu Menjaga Wudhu
Disebutkan dalam hadits berikut tentang Bilal yang disebutkan bahwa suara sandal beliau sudah terdengar di surga.

Dari Abu Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam di pagi hari memanggil Bilal lalu berkata,

يَا بِلاَلُ بِمَ سَبَقْتَنِى إِلَى الْجَنَّةِ مَا دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَطُّ إِلاَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى دَخَلْتُ الْبَارِحَةَ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى

Wahai Bilal, kenapa engkau mendahuluiku masuk surga? Aku tidaklah masuk surga sama sekali melainkan aku mendengar suara sendalmu di hadapanku. Aku memasuki surga di malam hari dan aku dengar suara sendalmu di hadapanku.”

Bilal menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِى حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ عِنْدَهَا وَرَأَيْتُ أَنَّ لِلَّهِ عَلَىَّ رَكْعَتَيْنِ

Wahai Rasulullah, aku biasa tidak meninggalkan shalat dua raka’at sedikit pun. Setiap kali aku berhadats, aku lantas berwudhu dan aku membebani diriku dengan shalat dua raka’at setelah itu.” (HR. Tirmidzi no. 3689 dan Ahmad 5: 354. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan)

Syaikh Abu Malik dalam Fiqhus Sunnah lin Nisaa’ (hal. 49) menyatakan bahwa disunnahkan berwudhu setiap kali wudhu tersebut batal karena adanya hadats.

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Disunnahkan menjaga wudhu atau diri dalam keadaan suci. Termasuk juga kala tidur dalam keadaan suci.” (Kitab Matan Al Idhoh, hal. 20).

Semoga dimudahkan dalam menjaga wudhu. Hanya Allah yang memberi taufik.

-------------------------

Referensi:

• Fiqhus Sunnah lin Nisaa’, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 1422 H.

• Kitab Matan Al Idhoh fil Manasik, Syaikh Muhyiddin An Nawawi Asy Syafi’i, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Selengkapnya: https://rumaysho.com/10767-keutamaan-selalu-menjaga-wudhu.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, October 6, 2019

Cara Taubat dari Mencuri

Cara Taubat dari Mencuri
Yang jelas mencuri adalah dosa, bahkan dosa besar. Harta tersebut milik orang lain dan mesti dikembalikan pada yang punya.

Keterangan mengenai bagaimana cara mengembalikan harta curian, silakan baca dalam artikel Rumaysho kali ini.

Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah memberkahi umur beliau– menerangkan bahwa harta haram bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:

1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khamar (miras), babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.

2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram).” (HR. Muslim, no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim, no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizahullah dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 92-93 dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 21: 56-57.

Kaedah dalam Harta Haram Secara Umum

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan:

1- Harta haram karena zatnya seperti harta rampasan atau curian, maka haram untuk menerima dan membelinya.

2- Harta haram secara umum seperti khamar (minuman keras), rokok atau semacam itu tidak boleh diterima dan tidak boleh dibeli. (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, pertemuan ke-151, pertanyaan no. 15, 7: 180)

Mengembalikan Harta Hasil Curian

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa barang yang diambil tanpa ridha pemiliknya dan tidak diinginkan penggantinya, barang tersebut harus dikembalikan. Jika tidak bisa dikembalikan, maka akan menjadi beban utang yang wajib dilunasi. Jika tidak bisa ditunaikan sampai pemiliknya meninggal, maka wajib dikembalikan pada ahli warisnya. Jika tidak bisa pula, disedekahkan atas nama dirinya.

Jika pemiliknya menghendaki hal tadi diganti pahala untuknya pada hari kiamat, maka ia berhak mendapatkannya. Jika ia enggan, maka ia bisa mengambil kebaikan-kebaikan orang yang mengambil hartanya tanpa izin tadi. Kebaikan yang diambil setara dengan harta yang telah diambil tanpa izin. (Zaad Al-Ma’ad, 5: 690)

Semoga bermanfaat.



@ DS, Panggang, Gunungkidul, Senin Siang, 20 Rajab 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/15587-cara-taubat-dari-mencuri.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Berbohong saat Bercanda

Berbohong saat Bercanda
Tidak boleh berbohong pula dalam bercanda, bersandiwara atau hanya ingin membuat orang lain tertawa. Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”

📚(HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315. Al-Hafizh Abu Thaohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)



🌐Sumber : https://rumaysho.com/11175-bohong-saat-puasa-apakah-membatalkan-puasa.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Friday, October 4, 2019

Syarat Kredit Biar Tidak Riba

Syarat Kredit Biar Tidak Riba
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyatakan bagaimana agar kredit tidak jadi riba, ada syarat yang mesti dipenuhi yaitu:

  1. Bank harus memiliki kendaraan supaya tidak kena larangan menjual barang yang tidak dimiliki;
  2. Tidak ada tambahan dari kredit, misal setiap tahun ada tambahan 5% terpisah dari harga kendaraan karena konsekuensi dari kredit;
  3. Tidak ada denda jika terjadi keterlambatan pembayaran.

Dalam buku kami, Taubat dari Utang Riba dan Solusinya, ada bahasan yang kami cantumkan mengenai syarat jual beli kredit:

  • Akadnya tidak dimaksudkan untuk melegalkan riba, seperti dalam jual-beli ‘inah.
  • Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual-beli kredit dilangsungkan. Pihak jasa kredit tidak boleh lebih dahulu melangsungkan akad jual-beli kredit motor dengan konsumennya, kemudian baru setelah ia melakukan akad jual-beli dengan dealer (memesan motor dan membayarnya), lalu menyerahkannya kepada pembeli.
  • Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang “telah dibeli tetapi belum diterima dan belum berada di tangannya” kepada konsumen.
  • Barang yang dijual bukan merupakan emas, perak, atau mata uang. Tidak boleh menjual emas dengan kredit karena termasuk dalam riba jual beli (riba buyu’).
  • Barang yang dijual secara kredit harus diterima pembeli secara langsung saat akad terjadi. Transaksi jual-beli kredit tidak boleh dilakukan dilakukan hari ini dan barang diterima pada keesokan harinya, karena nanti termasuk jual beli utang dengan utang yang diharamkan.
  • Pada saat transaksi dibuat, beberapa hal harus ditetapkan dengan jelas: (1) satu harga yang akan digunakan, (2) besarnya angsuran, (3) serta jangka waktu pembayaran.
  • Akad jual beli kredit harus tegas. Akad tidak boleh dibuat dengan cara beli sewa (leasing).
  • Tidak boleh ada persyaratan kewajiban membayar denda atau harga barang menjadi bertambah, jika pembeli terlambat membayar angsuran karena ini adalah bentuk riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 385-386; Masail Mu’ashirah mimma Ta’ummu bihi Al-Balwa, hlm. 83-84.)


Sumber: https://rumaysho.com/20455-syarat-kredit-biar-tidak-riba.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, October 2, 2019

Yang Mampu Kerja, Wajib Mencari Nafkah

Yang Mampu Kerja, Wajib Mencari Nafkah
Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7).

Adapun urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat lainnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ

Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.” (HR. Muslim, no. 997)

Berdosa Jika Enggan Mencari Nafkah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ingat, Mencari Nafkah itu Berpahala

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen.).” (HR. Muslim no. 995).

Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka.” Dalam Syarh Muslim (7:82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdal dari sedekah yang hukumnya sunnah”.

Menganggur Juga Akan Ditanya

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi, no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Pasrah (Tawakkal) Bukan Berarti Malas Kerja

Allah memang yang memberi rezeki sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6). Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan, “Namun hal ini bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha dan bersandar pada apa yang diperoleh makhluk lainnya. Meninggalkan usaha sangat bertentangan dengan tawakkal itu sendiri.” (Fath Al-Bari, 11: 305)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي

Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”(HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”  Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rezeki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).” (Fath Al-Bari, 11:305)

Tips Mencari Kerja

1- Pahamilah, Setiap Jiwa Tidak Akan Mati Sampai Rezekinya Sempurna
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah, 8:129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).

2- Cari Pekerjaan yang Halal, Jauhi yang Haram
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?” (HR. Muslim no. 1015)

3- Cari Berkah dalam Pekerjaan, Bukan Besarnya Gaji
Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى

Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)

4- Jauhkan Diri dari Pekerjaan Meminta-Minta
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040)

Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)

Patut dipahami bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah berikut, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari, no. 1476). Orang miskin berarti bukan pengemis. Orang miskin adalah yang sudah bekerja, namun tetap belum mencukupi kebutuhan pokoknya.

5- Cari Pekerjaan yang Tidak Menyengsarakan Orang Lain
Ada salah satu pekerjaan yang terlarang yaitu menimbun barang sehingga mematikan stok barang di pasaran, terutama untuk barang kebutuhan pokok yang diperlukan masyarakat banyak. Dalam hadits disebutkan,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim no. 1605).

Apa hikmah terlarangnya menimbun barang?

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudarat bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43).

6- Banyak Doa Supaya dapat Rezeki yang Halal
Cobalah terus meminta pada Allah untuk mendapatkan pekerjaan yang halal sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan berikut ini,

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

ALLAHUMAK-FINII BI HALAALIKA ‘AN HAROOMIK, WA AGH-NINIY BI FADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK” (artinya: Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu). (HR. Tirmidzi, no. 3563, hasanmenurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al-Albani).

Kalau Sudah Jadi Pegawai

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An-Nisaa’: 58).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535;  Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, shahih).

Kalau Jadi Bendahara, Juga Amanat

Dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda,

الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ

Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).

Jadi Al-Qawiy Al-Amin

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26).

Kata Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hlm. 191:

1- Al-qowiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal-hal yang mendukung sehingga pekerjaan bisa sempurna.

2- Al-amiin, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang yang diserahi amanat.

Semoga Allah mudahkan kita dalam rezeki yang halal.

Disusun Ahad Pon, pagi hari penuh berkah, 24 Maret 2019

Sumber: https://rumaysho.com/19982-kerja-dong-jangan-jadi-pengangguran.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive