Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Tuesday, August 30, 2022

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah (10/13)

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-9...

Syubhat-Syubhat Ahli Bidah

Syubhat pertama: Allah ﷻ harus statis dan tidak boleh dinamis, jika Allah ﷻ tidak statis dan mengalami sesuatu yang baru pada zat Allah ﷻ berarti Allah ﷻ makhluk.

Jawaban:

Pertama: Justru ketika mengatakan Allah ﷻ harus statis maka ini menghilangkan maha kekuasaan Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman,

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj: 16)

Ahlusunah meyakini sifat-sifat Allah ﷻ semuanya sudah ada sejak azali. Berbeda dengan manusia yang belum bisa melihat, mendengar, dan berbicara ketika dilahirkan. Manusia baru bisa melihat, mendengar, dan berbicara setelah beberapa waktu kemudian. Ini menunjukkan sifat berbicara manusia datang belakangan. Allah ﷻ sejak zaman azali sudah sempurna zat dan sifat-sifat-Nya. Adapun kapan Allah ﷻ ingin mendengar dan bicara maka ini bukanlah suatu kekurangan. Justru ini menunjukkan kesempurnaan Allah ﷻ. Sebagaimana manusia dikatakan pandai berbicara ketika ia bisa berbicara kapan pun dengan siapa pun. Begitu juga kita katakan Allah ﷻ Maha berbicara, sifat berbicara Allah ﷻ sudah ada sejak azali bersama dzat-Nya. Adapun permasalahan kapan Allah ﷻ berbicara, dengan siapa, dan dengan bahasa apa maka ini terserah Allah ﷻ.

Permasalahan ini tidak logis menurut mereka, mereka mengatakan jika Allah ﷻ berbicara berkonsekuensi ada huruf-huruf yang baru, bahasa baru, dan lainnya. Semua ini menurut mereka dinafikan dari Allah ﷻ. Lalu bagaimana pendapat mereka tentang Al-Qur’an? Menurut mereka Al-Qur’an bukan firman Allah ﷻ, sejak azali Allah ﷻ hanya memiliki kalam an-nafsi yaitu suatu kalam yang tidak akan pernah berubah dan selalu statis. Kalam an-nafsi ini selanjutnya dipahami oleh Jibril yang kemudian diterjemahkan dengan bahasa Jibril atau bahasa Nabi Muhammad ﷺ, sehingga menjadi Al-Qur’an. Menurut mereka Al-Qur’an bukanlah firman Allah ﷻ karena dia dinamis, contohnya ketika kita membaca sebuah ayat,

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS. An-Nahl: 57)

Maka terdapat banyak perubahan perbuatan (dalam pengucapan), yaitu pertama mengucapkan وَيَجْعَلُونَ baru kemudian لِلَّهِ, dan kata الْبَنَاتِ muncul belakangan setelah pengucapan لِلَّهِ. Semua perubahan ini ditolak oleh mereka, ini dikarenakan mereka terkena syubhat Aristoteles dan Plato yang mengatakan bahwasanya Allah ﷻ harus statis. Lalu menurut mereka Al-Qur’an perkataan siapa? Maka mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Nabi Muhammad ﷺ.

Ahlusunah sangat mudah dalam memahami masalah ini, Ahlusunah mengatakan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ. Ahli bidah sulit untuk menerima ini, mereka mengafirkan orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ. Bahkan penulis pernah mendapatkan fatwa dari sebagian mereka, seorang tokoh majelis ulama dari kota tertentu yang mengatakan dilarang belajar kepada Wahabi atau salat di belakang Wahabi. Fatwa ini muncul karena Wahabi mengatakan Allah ﷻ di atas dan Allah ﷻ berbicara dengan suara. Karena sebab Wahabi mengatakan Allah ﷻ berbicara dengan suara yang di dengar oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan berdialog dengan Nabi Muhammad ﷺ membuat mereka mengkafirkan Wahabi.

Kita katakan bahwa Allah ﷻ tidak statis, akan tetapi bukan berarti Allah ﷻ berasal dari sesuatu yang tidak ada kemudian menjadi ada. Allah ﷻ sudah ada sejak azali dengan sifat-sifat-Nya. Ketika Allah ﷻ memiliki sifat berbicara maka Allah ﷻ akan berbicara kapan saja, dengan topik apa saja, dan dengan siapa saja. Ini semua terserah Allah ﷻ.

Kedua: Ini adalah bantahan ahli filsafat kepada orang-orang Asya’irah.

Ahli filsafat berkata, dahulu Allah ﷻ sendiri tanpa makhluk, jika Allah ﷻ statis maka jelaskan bagaimana proses penciptaan makhluk. Logikanya jika Allah ﷻ statis yaitu tidak ada sesuatu sebab yang baru sama sekali maka seharusnya tidak ada makhluk.

Adapun akidah Ahlusunah sangat mudah, Allah ﷻ sejak azali maha sempurna, dan ketika Allah ﷻ ingin menciptakan maka Allah ﷻ memiliki kehendak baru. 

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82)

Dalam ayat ini disebutkan “jika Allah ﷻ berkehendak” yang menunjukkan ada kehendak Allah ﷻ yang baru. Sifat kehendak Allah ﷻ azali, namun kehendak Allah ﷻ untuk melakukan sesuatu adalah sesuatu yang baru. Hal ini bukanlah suatu masalah, lalu mengapa mereka mempermasalahkan hal ini? Mengapa mereka mensyaratkan Tuhan harus tidak memiliki kehendak baru? Ini semua dikarenakan mereka terjebak oleh suatu pemikiran yang mereka anggap absolut dan tidak boleh diotak-atik, padahal pemikiran ini tidaklah absolut. Karena disebabkan mereka mengikuti pemikiran Aristoteles dan Plato akhirnya mereka menakwil kebanyakan ayat-ayat sifat.


Bersambung ke Bagian-11...


Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukun Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https://bekalislam.firanda.com/syarah-rukun-iman

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive