Bagi yang sudah belajar bahasa Arab tentu mereka paham, bahwa kata “salaf” (سلف) jika ditambahkan huruf “yaa' nisbah” maka artinya adalah penisbatan kepada salaf. Sebagaimana kata yang sudah sering kita dengar “Islami” adalah penisbatan kepada Islam. Jadilah “pakaian Islami, akhlak Islami dan lain-lain”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa beliau adalah “salaf”. Beliau berkata kepada putri beliau yaitu Fathimah:
اِتَّقِيْ اللهَ وَاصْبِرِي فَإِنَّ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Bertakwalah kamu dan bersabarlah karena sesungguhnya sebaik-baik Salaf bagi kamu adalah aku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu juga Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya yang hendak akan meninggal,
اِلْحَقِيْ بِسَلَفِنَا الصَّالِحِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ.
“Susul-lah para salaf (pendahulu) kita yang shalih, Utsman bin Mazh’un.” (HR ath Thabrani di dalam al Mu’jam al Ausath no. 5736)
Demikian juga dengan penyebutan “dakwah salafiyah”. Bagi yang sudah belajar bahasa Arab tentu paham. Artinya adalah dakwah menyeru kepada pemahaman (metodologi) para salaf dalam beragama. Para salaf tersebut adalah generasi terbaik dalam Islam yang mana pemahaman agama mereka yang paling baik dan tentu harus kita ikuti. Sebagaimana sabda NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
ْ“Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian generasisetelahnya (tabi’in), kemudian generasi setelahnya (tabi’ut tabi’in).“ (HR. Bukhari 2651 dan Muslim 6638)
Jadi jika ada ungkapan “saya keluar dari salafi”, tentu belum memahami benar istilah ini dan semoga mereka yang berkata demikian bisa memahami dan mendapatkan kebaikan yang banyak.
Kenapa sih kok ada istilah salafi?
Merujuk kepada hadits mengenai umat akan terpecah belah menjadi 73 golongan (aliran) semuanya akan masuk neraka (tidak kekal) kecuali satu yang selamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ الَّهلِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya, ‘Siapakah dia wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Golongan) yang menempuh jalan hidup (manhaj) yang aku dan para sahabatku tempuh.”(HR. At-Tirmidzi )
Nah, satu yang selamat inilah yang dimaksudkan oleh para ulama. Berdasarkan penelitian para ulama nama satu kelompok ini ada banyak misalnya Firqatun najiyyah, Ahlus sunnah wal jamaah, ahlul Hadits, Salafi dan lain-lain.
Dahulunya para ulama mengenalkan dan mempopulerkan istilah ahli hadits atau ahlus sunnah wal jamaah, akan tetapi tatkala semua pihak dan aliran yang menyimpang juga mengaku bahwa mereka adalah ahlus sunnah wal jamaah, maka para ulama belakangan mempopulerkan istilah “salafi”, akan tetapi saat inipun cukup banyak yang mengaku salafi tetapi akhlak, agama dan kepribadian mereka tidak sesuai dengan akhlak dan agama para salaf.
Jika ada yang berkomentar, “Salafi itu aliran keras dan maunya menang sendiri saja”
Bisa jadi karena ulah “oknum” yang mengaku-ngaku salafi. Cara bijak menyikapinya adalah jangan digeneralisir. Padahal para salaf mengajarkan agar dakwah itu hukum asalnya lembut, menghindari debat kusir walaupun kita menang secara ilmu, murah senyum dan berwajah ceria, serta menginginkan kebaikan kepada saudaranya.
Jika ada yang berkomentar, “Salafi itu gampang membid’ahkan, mengkafirkan, dikit-dikit bid’ah”.
Bisa jadi karena ulah “oknum” yang mengaku-ngaku, tetapi jangan digeneralisir. Padahal para salaf mengajarkan agar tidak sembarangan membi’dahkan dan mengkafirkan. Kehormatan seorang muslim itu tinggi. Jika benar seseorang melakukan perbuatan bid’ah atau syirik, maka pelakunya belum tentu langsung otomatis dicap ahli bid’ah dan ahli kesyirikan karena bisa jadi ada udzur syar’i.
Ingat, para salaf mengajarkan, dakwah adalah menginginkan kebaikan kepada saudaranya, caranya harus baik dan lembut dan tepat keadaan. Jika dakwah diterima alhamdulillah, jika ditolak mka mereka didoakan serta tidak boleh dimusuhi karena mereka adalah saudara kita dan memiliki hak-hak persaudaraan seIslam.
Ulama sejak dahulu sudah menggunakan Istilah “salaf”
Kata “salaf” bukanlah kata-kata yang baru ulama sejak dahulu sdah menggunakannya. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana pada hadits yang kami bawakan di awal.
Berikut kami nukil perkataan ulama-ulama sejak zaman dahulu yang sudah dikenal oleh kita:
1.Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H)
وأعرف حق السلف الذين اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، والأخذ بفضائلهم، وامسك عما شجر بينهم صغيره وكبيره
“Dan aku mengakui hak para SALAF yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menerima keutamaan-keutamaan mereka, dan aku menahan diri dari perkara yang mereka percekcokan baik yang kecil atau besar.” (Al-Amru bi-ittiba’, As-Suyuthiy)
2. Ahli tafsir Ibnu Katsir rahimahullah
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل
“Sedangkan firman Allah ta’ala: ‘Kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy’, maka orang-orang dalam masalah ini mempunyai pendapat yang sangat banyak. Dan ini bukanlah tempat untuk menjabarkannya. Pendapat inilah yang ditempuh oleh mazhabnya AS-SALAF ASH-SHALIH yaitu Imam Malik, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rohuyah dan imam-imam kaum muslimin baik yang dahulu dan sekarang, yakni menetapkannya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil.(Tafsir Ibnu Katsir 3/426-427, syamilah)
3. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata
وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ – رحمه الله – بِمَا رَوَى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍعن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَدَّهِنَ فِي عَظْمِ فِيلٍ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ، والسلف يطلقون الكراهة و يريدون بها التحريم
“Imam Asy-Syafii rahimahullah berhujjah dengan yang diriwayatkan oleh Amr bin Dinar dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa beliau memakruhkan memakai minyak dari tulang gajah, karena itu bangkai. Dan para SALAF memberikan istilah dengan makruh sedangkan maksud mereka adalah pengharaman.” (Al-Majmu’ 1/127)
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Raehanul Bahraen
Pemurajaah: Ustadz Abu Yazid Nurdin
Artikel www.muslim.or.id
===============================
Wallahu a'lam bishawab.
Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].
Jazaakumullahu khairan.