Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Sunday, September 30, 2018

Hukum Berwudhu di Kamar Mandi

Hukum Berwudhu di Kamar Mandi
Pertanyaan:

Assalamu’alaikum

Ustadz, saya ingin bertanya. Apakah kita diperbolehkan berwudhu setelah mandi? Saya ingin yang praktis saja jadi tidak perlu mengeringkan badan, pakai baju kemudian wudhu lagi.

Sekian terima kasih.

Wassalamu’alaikum

Dari: Wildan

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Para ulama memakruhkan mengucapkan dzikir kepada Allah di kamar mandi atau di WC, sebagai bentuk mengagungkan nama Allah, yang tidak selayaknya disebut di tempat semacam ini.

An-Nawawi mengatakan:

Dimakruhkan berdzikir dan berbicara ketika buang hajat. Baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, kecuali karena keadaan terpaksa. Sampai sebagian ulama madzhab kami (syafi’iyah) mengatakan: ‘Jika orang yang di dalam WC ini bersin maka tidak boleh membaca hamdalah, tidak pula mendoakan orang yang bersin, tidak menjawab salam, tidak menjawab adzan. Bahkan orang yang memberi salam kepada orang yang berada di WC dianggap bertindak ceroboh, sehingga tidak berhak dijawab’.”

Berbicara apapun dalam kondisi ini hukumnya makruh, meskipun tidak haram. Dan jika dia bersin, kemudian membaca hamdalah dengan hatinya, namun lisannya diam, maka tidak masalah. Demikian pula yang dilakukan ketika hubungan badan. (Al-Adzkar, Hal. 26)

Selanjutnya An-Nawawi membawakan dalil hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa ada seseorang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang buang air kecil. Orang ini memberi salam, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya. (HR. Muslim)

Seseorang yang berwudhu di kamar mandi, akan menjumpai masalah ketika dia hendak membaca basmalah sebelum berwudhu. Lalu apa yang harus dia lakukan?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

🔰 Pertama, membaca basmalah dalam hati, tanpa menggerakkan lisan

Syaikh Muhammad Ibn Utsaimin mengatakan:

‎إذا كان في الحمام ، فقد قال الإمام أحمد : إذا عطس الرجل حمد الله بقلبه، فيُخَرَّج من هذه الرواية أنه يسمي بقلبه

Apabila seseorang di kamar mandi, Imam Ahmad mengatakan, “Jika dia bersin maka baca hamdalah dalam hati.” Dari beberapa keterangan Imam Ahmad ini, disimpulkan bahwa membaca basmalah dalam hati. (As-Syarhul Mumthi’, 1:102)

🔰 Kedua, membaca basmalah dengan diucapkan

Imam Ibnu Baz menjelaskan:

Boleh berwudhu di dalam kamar mandi jika butuh melakukan hal itu. Tetap membaca basmalah di awal wudhu, dia ucapkan: “Bismillah..” karena membaca basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama, dan sunah muakkad menurut mayoritas ulama.

Oleh karena itu, orang ini tetap disyariatkan membaca basmalah, dan statusnya tidak makruh. Karena hukum makruh itu hilang, ketika ada kebutuhan untuk membaca basmalah. Sementara kita diperintahkan untuk membaca basmalah ketika mengawali wudhu. Maka dia harus membaca basmalah dan menyempurnakan wudhunya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10:28)

Hal yang sama juga difatwakan Komite Fatwa Ulama Saudi:

Makruh mengucapkan nama Allah di dalam kamar mandi, yang digunakan untuk buang hajat. Sebagai bentuk mensucikan dan memuliakan nama Allah. Namun  disyariatkan membaca basmalah ketika mengawali wudhu, karena basmalah hukumnya wajib ketika ingat, menurut sekelompok ulama.” (Fatwa Lajnah Daimah, 5:94)

📚 Disadur dari: Fatwa Islam tanya jawab no. 23308

Catatan:

Untuk memudahkan kita dalam memahami dua fatwa yang terakhir di atas, kita perlu memahami sebuah kaidah dalam ilmu fikih terkait hukum larangan, baik haram maupun makruh:

Sesuatu yang hukumnya haram, bisa menjadi mubah jika dalam kondisi darurat. Dan sesuatu yang hukumnya makruh bisa menjadi mubah jika ada hajah (kebutuhan).

Berdasarkan keterangan di atas, ulama menegaskan bahwa membaca basmalah di kamar mandi hukumnya makruh. Sementara membaca basmalah ketika wudhu statusnya disyariatkan. Artinya, membaca basmalah ketika wudhu termasuk amal yang dibutuhkan.

Karena ini dalam kondisi dibutuhkan, kita boleh membaca basmalah ketika wudhu di kamar mandi.

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Berobat dengan Air Bekas Wudhu?

Bolehkah Berobat dengan Air Bekas Wudhu?
Mau tanya…

Keponakan ana kena penyakit ain karena ana memujinya. Lalu suami ana menyuruh ana wudlu lalu mengusapkan air wudlu tersebut k keponakan, alhamdulillah sembuh. Kl dulu Rasulullah menyuruh mandi. Pertanyaannya, apakah hy untuk yg kena penyakit ain atau bisa untuk terapi penyembuhan y ustadz? (Air bekas wudlu)

Dari Isti, di Salatiga.

Jawaban:

Bismillah was sholaatu was Salam ‘ ala Rasuulillah. Amma ba’du.

✅ Pertama, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menerangkan, bahwa penyakit ‘ain (kesambet, bhs. Jawa) adalah benar adanya.

‎الْعَيْنُ حَقٌّ

Penyakit ‘ain itu benar-benar ada.” (HR. Bukhari dan Muslim).

✅ Kedua, Nabi kita -shallallahu ‘ alaihi wasallam- mengajarkan sebuah adab yang mulia, ketika melihat sesuatu hal yang menakjubkan pada diri seseorang. Yaitu mendoakan keberkahan untuk saudara kita. Agar dia tidak terkena ‘ain disebabkan pandangan takjub kita kepadanya.

Dahulu kejadian seperti ini pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Mari kita simak kisahnya dari sahabat Abu Umamah bin Sahl radhiyallahu’anhu berikut, “Suatu ketika Amir bin Rabi’ah melihat Sahl bin Hunaif sedang mandi. Lalu Amir berkata,

Aku tidak pernah melihat (pemandangan) seperti hari ini, dan tidak pernah kulihat kulit yang tersimpan sebagus ini.

Tak lama kemudian Sahl jatuh pingsan karena pandangan mata takjub itu.

Kemudian Suhail dibawa ke hadapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. “Suhail pingsan wahai Nabi.” kata seorang sahabat.

Nabi bertanya, “Siapa yang kalian curigai?”.

Amir bin Rabi’ah.” jawab para sahabat.

Nabi kemudian bersabda,

‎عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ, إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ

Atas dasar apa seorang diantara kalian mau membunuh saudaranya? Bila kalian melihat suatu yang menakjubkan pada diri saudara kalian, maka doakanlah keberkahan untuknya."

Kemudian beliau meminta untuk diambilkan air. Lalu beliau memerintahkan Amir untuk berwudhu. Amir pun membasuh wajahnya, kedua tangannya sampai ke siku, kedua lutut, dan bagian dalam sarungnya. Setelah itu, beliau perintahkan air bekas basuhan itu untuk disiramkan kepada Sahl.” (HR. Ibnu Majah dinilai shahih oleh Ibnu Hibban 1424)

✅ Ketiga, hadis di atas menerangkan bahwa, diantara terapi untuk penyakit ‘ain yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, adalah dengan menggunakan air bekas wudhu pelaku ‘ain, untuk mandi orang yang terkena ‘ain.

Keterangan senada juga disampaikan oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha,

‎كان يؤمر العائن فيتوضأ ثم يغتسل منه المعين

Orang yang melakukan ‘ain diperintahkan agar berwudhu, kemudian orang yang terkena ‘ain mandi dari air (bekas wudhu tadi)” (HR. Abu Dawud ).

Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Ustaimin rahimahullah menjelaskan,

‎ولكن من أصيب بالعين فماذا يصنع؟ يعالج بالقراءة وإذا علم عائنه فإنه يطلب منه أن يتوضأ ، ويؤخذ ما يتساقط من ماء وضوئه ثم يعطى للعائن يصب على رأسه وظهره ويسقى منه ، وبهذا يشفى بإذن الله .

Bagi yang terkena ‘ain, apa yang harus dilakukan? Diobati dengan bacaan ruqyah. Namun apabila pelaku ‘ain dapat diketahui, maka mintalah dia untuk berwudhu. Lalu air yang menetes dari basuhan wudhu, dikumpulkan. Kemudian diberikan kepada yang terkena ‘ain untuk dibalurkan pada kepala, dan punggung, atau disiramkan . Dengan cara ini, dia akan sembuh dengan izin Allah.” (Lihat: Majmu’ Muallafat Ibnu ‘Ustaimin 9/88).

Dari pemaparan Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘ Ustaimin di atas kita dapat simpulkan, bahwa dalam menangani korban ‘ain, ada dua macam metode:

  1. Bila diketahui pelakunya, maka diobati dengan membayurkan air bekas wudhunya.
  2. Bila tidak diketahui pelakunya, maka obatnya adalah bacaan ruqyah.


Namun, apakah air bekas wudhu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit lain?

Dalam fatawa Syabakah Islamiyah diterangkan,

‎فليعلم أننا لم نقف على دليل يفيد مشروعية الاغتسال بماء الوضوء لما ذكر، لا نقل بحسب اطلاعنا عن أحد من السلف، ولذا فإننا ننصح بالعدول عن هذه الطريقة واتباع الطرق الشرعية في علاج مثل هذه الأمراض من استعمال الرقى النافعة وكثرة الدعاء واللجوء إلى الله تعالى

Kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan disyariatkan membasuhkan air bekas wudhu untuk pengobatan sebagaimana yang disebutkan oleh penanya (pent, selain penyakit ‘ain). Dan sebatas penelitian kami, tidak satupun riwayat dari para salaf yang menerangkan tentang pengobatan menggunakan bekas air wudhu (pent. untuk selain penyakit ‘ain). Oleh karenanya, kami menyarankan untuk tidak menggunakan cara pengobatan semacam ini. Sebaiknya kembali pada metode pengobatan yang sudah jelas dalilnya; seperti ruqiyah, memperbanyak doa, atau memohon kesembuhan kepada Allah.” (Fatawa Syabakah Islamiyah no.139578)

Kesimpulannya, air bekas wudhu hanya bisa digunakan untuk mengobati penyakit ‘ain saja; bukan untuk penyembuhan penyakit lainnya. Sebagaimana keterangan dalam fatwa di atas.

Wallahua’lam bis showab.

👤 Dijawab oleh ustadz Ahmad Anshori

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Aqiqah untuk Anak Angkat

Aqiqah untuk Anak Angkat
Apakah anak angkat itu harus di aqiqahi oleh orang tua angkatnya? Bagaimana kejelasan hukum aqiqahnya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada asalnya, tugas aqiqah untuk anak merupakan tanggung jawab orang yang wajib memberi nafkah kepada anak. Baik ayahnya, kakeknya, atau ibunya. Sehingga, dana aqiqah diambilkan dari harta mereka. Dan ini merupakan pendapat Syafiiyah.

Berdasarkan kesimpulan ini, aqiqah temasuk ibadah maliyah. Seperti qurban atau sedekah atau semacamnya. Dan ibadah maliyah, boleh dikerjakan orang lain, jika mendapat izin dari yang bersangkutan.

Sehingga aqiqah untuk seorang anak, boleh dikerjakan orang lain, selama dia mendapat izin dari ayah sang anak.

Dari Samurah bin Judub Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ : تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih sebagai aqiqah untuknya di hari ketujuh… (HR. Abu Daud 2838, Turmudzi 1522 dan dishahihkan al-Albani).

Syaikh Dr. Muhammad Ali Ferkus menyimpulkan bahwa kalimat [تُذْبَحُ عَنْهُ] “yang disembelih sebagai aqiqah untuknya” menunjukkan bahwa kerabat dekat, selain kedua orang tuanya, boleh menjadi pelaksana aqiqah, termasuk orang lain.

🌐 Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-765

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-aqiqahi Hasan dan Husain. Karena beliau kakek mereka berdua. Disamping itu, beliau paling berhak terhadap semua kaum mukminin. Sehingga beliau berhak untuk meng-aqiqahi siapapun, apalagi cucunya sendiri. Allah berfirman,

‎النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

Nabi itu paling berhak terhadap kaum mukminin… (QS. Al-Ahzab: 6).

Aqiqah untuk Anak Angkat

Jika orang tua angkat meng-aqiqahi anak angkatnya, berarti dia meng-aqiqahi anak orang lain. Berdasarkan keterangan di atas, orang tua angkat boleh meng-aqiqahi anak angkat, jika dia mendapatkan izin dari orang tua kandungnya.

Syaikh Dr. Muhammad Ali Ferkus mengatakan,

‎الصحيح أنَّه تجوز النيابةُ في العبادات المالية بعد إِذْنِ المولودِ له «الأب» إِنْ كان حيًّا

Yang benar, boleh mewakilkan ke orang lain untuk ibadah maliyah, setelah dia mendapatkan izin dari ayahnya, jika ayahnya masih hidup.

Keterangan yang sama juga pernah disampaikan dalam fatwa Syabakah Islamiyah, menjawab pertanyaan, bolehkah meng-aqiqahi anak orang lain?

Jawaban Syabakah Islamiyah,

‎فلا حرج عليك ولا عليه في أن تسامحه بهذا المبلغ ما دام أنك عققت عن ولده بإذنه، فهو بمثابة دين أسقطته عنه، وإنما الخلاف في إجزاء العقيقة عن الغير بغير إذن من تلزمه نفقته

Tidak masalah bagi anda maupun bagi ayahnya, ketika anda menyediakan dana ini untuk aqiqah, selama pada waktu anda meng-aqiqahi anaknya, ada izin dari orang tuanya. Ini seperti utang yang digugurkan orang lain atas namanya.

Hanya saja, ada perbedaan pendapat mengenai keabsahan aqiqah untuk anak orang lain tanpa ada izin dari orang yang menanggung nafkah anak itu (ayahnya).

🌐 Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=60837

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Belum Di-Aqiqah Sampai Dewasa

Belum Diakikah Sampai Dewasa
Ustadz mhon pnjelasannya:bgmn halnya dg seseorang yg sdh dewasa ttpi blum di-aqiqah? jazaakallah khoiron

Dari : Sutiyonoripto, di Bantul

Jawaban :

Bismillah, walhamdulillah was sholaatu was salam ‘ala Rasulillah, waba’du.

Barangkali muncul kegelisahan, ketika mendapati diri atau anak kita sudah mencapai usia dewasa, belum juga di-aqiqah. Karena Nabi shallallahualaihiwa sallam menyebutkan, bahwa seorang anak yang terlahir statusnya tergadai, sampai dia di-aqiqah.

Dari sahabat Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dinilai shahih oleh al-Albani).

Perlu kita ketahui, bahwa hukum aqiqah sebenarnya adalah sunah muakkadah.

Terkait waktu pelaksanaannya, para ulama sepakat, bahwa waktu aqiqah yang paling afdhol adalah hari ketujuh kelahiran. Berdasarkan hadis dari sahabat Samurah bin Jundub di atas. Cara menghitungnya, dimulai sejak hari kelahiran, kemudian ditambah enam hari berikutnya.

Namun, bila tidak mampu, aqiqah boleh dilakukan setelahnya sampai ada kemampuan, meskipun si anak sudah mencapai dewasa. Hal ini berdasar pada perbuatan Nabi shallallahua’alaihi wa sallam, dimana beliau meng-aqiqah diri beliau sendiri di saat beliau sudah mencapai usia dewasa. Imam Tabrani meriwayatkan hadis yang menjadi dasar kesimpulan ini,

‎أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد ما بعث نبياً

Bahwa Nabi shallallahua’alahi wa sallam meng-aqiqah diri beliau sendiri, setelah beliau diutus menjadi Nabi. (Dinilai shahih oleh Syaikh Albani, dalam Silsilah As-Shahihah).

Inilah pendapat yang kami nilai kuat diantara persilangan pendapat ulama yang ada dalam masalah ini. Riwayat di atas, juga menunjukkan bolehnya seorang meng-aqiqah dirinya sendiri, apabila orangtuanya belum meng-aqiqah dirinya ketika kecil atau karena orangtuanya tidak mampu menunaikan aqiqah untuknya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,

‎فلو ذبحها بعد السابع أو قبله وبعد الولادة أجزأه وإن ذبحها قبل الولادة لم تجزه بلا خلاف, بل تكون شاة لحم

Seandainya kambing aqiqah disembelih sebelum atau setelah hari ketujuh, maka hukumnya sah. Adapun bila disembelih sebelum kelahiran, para ulama sepakat aqiqah tidak sah. Status kambing yang disembelih adalah sembelihan biasa (tidak teranggap sebagai aqiqah). (Al-Majmu’ 8/411).

Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

‎ووقتها يوم السابع، هذا هو الأفضل اليوم السابع، وإن ذبحت بعد ذلك فلا حرج، ولو بعد سنة أو سنتين، وإذا لم يعق عنه أبوه وأحب أن يعق عن نفسه فهذا حسن فمشروع في حق الأب لكن لو عق عن نفسه أو عقت عن أمه أو أخوه فلا بأس

Waktu pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran. Inilah waktu yang paling utama, yaitu hari ketujuh. Namun bila kambing aqiqah disembelih setelah hari ketujuh, tidak mengapa. Bahkan sampai satu atau dua tahun setelahnya pun tidak mengapa. Jika ayahnya belum menunaikan aqiqah anaknya, sementara anak tersebut ingin meng-aqiqah dirinya, inipun baik (sah). Meski sebenarnya aqiqah adalah tanggungan ayah, akan tetapi bila seorang ingin meng-aqiqah dirinya, atau meng-aqiqah ibu atau saudaranya, maka tidak mengapa.

(Fatwa beliau bisa disimak di sini : https://www.binbaz.org.sa/noor/2817)

Wallahua’lam bis showab.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Memakan Aqiqah Anak Sendiri

Memakan Aqiqah Anak Sendiri
Bolehkah memakan daging aqiqah anaknya sendiri? Trim’s

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dibolehkan bagi orang tua untuk memakan sebagian dari aqiqah anaknya, dengan beberapa alasan,

1. Secara prinsip, aturan aqiqah sama dengan aturan qurban. Ibnu Qudamah mengatakan,

‎وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها ـ يعني سبيل العقيقة كسبيل الأضحية .. وبهذا قال الشافعي .

Aturan aqiqah terkait jatah boleh dimakan, dihadiahkan, disedekahkan, sama seperti aturan qurban… dan ini pendapat as-Syafii.

Kemudian beliau menyebutkan khilaf ulama dalam masalah ini. Lalu beliau menyimpulkan,

‎والأشبه قياسها على الأضحية لأنها نسيكة مشروعة غير واجبة فأشبهت الأضحية ولأنها أشبهتها في صفاتها وسنها وقدرها وشروطها فأشبهتها في مصرفها

Yang lebih mendekati, aqiqah diqiyaskan dengan berqurban. Karena ini ibadah yang disyariatkan dan tidak wajib. Seperti qurban. Karena sama dengan qurban terkait sifatnya, sunah-sunahnya, ukurannya, dan syaratnya. Sehingga dalam aturan penyalurannya juga disamakan. (al-Mughni, 11/120).

Dan dalam aturan ibadah qurban, sohibul qurban dibolehkan untuk memakan sebagian daging qurbannya.

Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah,

‎فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ

Makanlah dari sebagian hewan qurban itu dan berikan kepada orang yang sangat membutuhkan.” (Qs. Al-Haj: 28)

Imam Malik pernah mengatakan,

‎أحب أن يأكل من أضحيته؛ لأن الله يقول: فَكُلُوا مِنْهَا

Saya suka jika sohibul qurban makan daging qurbannya. Karena Allah berfirman, yang artinya: ‘Makanlah bagian hewan qurban’.” Ibnu Wahb mengatakan, Saya bertanya kepada Al-Laits dan ia menjawab dengan jawaban yang sama. (Tafsir Ibn Katsir, 5/416).

2. Terdapat keterangan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha terkait aqiqah,

‎السُنّةُ عَنِ الغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَان وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ يُطْبَخُ جُدُولًا وَلَا يُكسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ

Aqiqah yang sesuai sunah, untuk anak lelaki 2 kambing, anak perempuan seekor kambing. Dimasak utuh tulangnya, tidak dipecah tulangnya, dimakan sendiri, diberikan ke orang lain, dan disedekahkan.
(Musnad Ishaq bin Rahuyah, no. 1292)

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa maksud tidak dipecah tulangnya adalah dalam rangka membangun sikap optimis (at-Tafaul) terhadap keselamatan anak dan tidak mengalami kecelakaan badannya. Beliau juga menegaskan, meskipun saya tidak menjumpai dalil yang menenangkan dalam hal ini. (as-Syarh al-Mumthi’, 7/499).

Berdasarkan keterangan di atas, makan daging aqiqah sendiri atau aqiqah anaknya, hukumnya diperbolehkan.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Kakek Mengaqiqahi Cucunya?

Bolehkah Kakek Mengaqiqahi Cucunya?
Ustadz, ana mau tanya...bolehkah seorang kakek mengaqiahi cucunya tanpa seizin suami?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Pada dasarnya, aqiqah anak merupakan tanggungan orang tua. Ini bagian dari kewajiban nafkah anak yang menjadi tanggung jawab orang tuanya. Hanya saja, terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kakek boleh mengaqiqahi cucunya. Diantaranya,

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

‎أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain, masing-masing dengan kambing jantan. (HR. Abu Daud 2843 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menyatakan,

‎عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضى الله عنهما بِكَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma, masing-masing dengan dua ekor kambing. (HR. Nasai 4236 dan dishahihkan al-Albani).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi cucu beliau, Hasan dan Husain, putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah bintu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendekatan Fiqhiyah

Ada beberapa pendekatan yang disampaikan ulama terkait alasan fiqh, sehingga kakek boleh mengaqiqahi anaknya,

✅ Pertama, bahwa ibadah maliyah, yang bentuknya mengeluarkan harta, seperti zakat, sedekah atau qurban, boleh diwakilkan orang lain, setelah mendapat izin dari pihak pertama.

Dalam Fatwa Dar al-Ifta Mesir dinyatakan,

‎والحكم في هذه المسألة أن الأب هو المخاطب أصالة بالعقيقة، أما إذا كان الأب معسرًا ففعلها الجد فلا بأس به، بل هو مستحب. وأما إذا فعلها الجد ابتداء دون إذن من الأب فأقره الأب جاز، وإلا دفع إليه ثمنها إن شاء

Hukum dalam masalah ini, bahwa ayah, dialah yang utama mendapat beban aqiqah. Jika ayah tidak mampu, kemudian digantikan oleh kakek, hukumnya boleh. Bahkan dianjurkan. Namun jika langsung dilakukan kakek tanpa izin dari ayah, kemudian si ayah menyetujuinya, hukumya boleh. Jika tidak, dia bisa ganti seharga kambing, jika bersedia. (Fatwa Dar al-Ifta Mesir: http://www.dar-alifta.org/ViewResearch.aspx?ID=197)

✅ Kedua, sesungguhnya kakek termasuk bapak. Dia posisinya layaknya bapak.

Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu was salam pernah menyebutkan kebanggaannya sebagai ahli tauhid,

‎وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آَبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ

Aku mengikuti agama ayah-ayahku, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub… (QS. Yusuf: 38)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebut Hasan sebagai anak beliau,

‎إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ يُصْلِحُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ عَظِيمَتَيْنِ

Sesungguhnya putraku ini (Hasan) adalah pemimpin. Allah ta’ala akan mendamaikan dua kelompok besar di kalangan kaum mukminin. (HR. Bukhari 2704, Ahmad 20929 dan yang lainnya).

Karena statusnya layaknya orang tua, kakek berhak mengaqiqahi cucunya, sekalipun tidak mendapat izin dari ayahnya.

Dalam Fatwa Dar al-Ifta Mesir dinyatakan,

‎وإن كان بغير إذنه جاز لأنه والد في الجملة؛ ولأن بينهما ميراثًا، ولو أعسر الوالد لوجبت النفقة على الجد الموسر

Jika aqiqah ini dilakukan tanpa seizin ayahnya, hukumnya boleh, karena statusnya sama dengan ayah secara umum, dan karena ada hubungan saling mewarisi. Jika ayah tidak punya harta, kakek yang memiliki kelonggaran, dia wajib memberi nafkah. (Fatwa Dar al-Ifta Mesir: http://www.dar-alifta.org/ViewResearch.aspx?ID=197)

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Kapan Waktu Mencukur Rambut Bayi Saat Aqiqah?

Kapan Waktu Mencukur Rambut Bayi Saat Aqiqah?
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu,

Ustadz yang di rahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Mengenai waktu menggundul bayi yang baru lahir, bolehkah tidak dibarengkan dengan waktu pelaksanaan aqiqah?

Misalnya karena belum mempunyai kelapangan, jadi aqiqah kami laksanakan di hari ke 21. Apakah boleh rambut bayi kami gundul tetap di hari ke 7 tanpa menunggu waktu pelaksanaan aqiqahnya?

Jazakumullahu khairan

Dari: Abu Azzam

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Waktu mencukur rambut bayi yang sesuai sunah adalah ketika hari ketujuh pasca-kelahiran. Berdasarkan beberapa dalil yang menjelaskan tentang aqiqah, diantaranya,

Hadis dari Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah di hari ketujuh dan hilangkan kotoran dari bayi itu.” (HR. Bukhari 5471).

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan digundul kepalanya.” (HR. Nasai 4149, Abu Daud 2837, dan Turmudzi 1522)

Ibnu Qudamah mengatakan,

‎يستحب أن يحلق رأس الصبي يوم السابع, ويسمى; لحديث سمرة. وإن تصدق بزنة شعره فضة فحسن; لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لفاطمة, لما ولدت الحسن: احلقي رأسه, وتصدقي بزنة شعره فضة على المساكين والأفاوض

Dianjurkan menggundul kepala bayi pada hari ketujuh dan diberi nama. Berdasarkan hadis Samurah. Jika dia bersedekah dengan perak seberat rambut itu, maka itu merupakan perbuatan yang baik. Berdasarkan hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Fatimah ketika melahirkan Hasan: “Cukur rambutnya, bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang miskin dan ahlus sufah.” (HR. Ahmad)… (al-Mughni, 22:8)

Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,

‎ذهب الجمهور المالكية والشافعية والحنابلة إلى استحباب حلق شعر رأس المولود يوم السابع, والتصدق بزنة شعره ذهباً أو فضة عند المالكية والشافعية, وفضة عند الحنابلة. وإن لم يحلق تحرى وتصدق به. ويكون الحلق بعد ذبح العقيقة..

Mayoritas ulama di kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat dianjurkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh, kemudian bersedekah dengan emas atau perak seberat rambut menurut Malikiyah dan Syafiiyah, sementara menurut Hambali, sedekahnya dengan perak saja. Jika bayi tidak dicukur, orang tuanya bisa memperkirakan berat rambutnya dan bersedekah seberat rambut itu. Kemudian mencukur rambut dilakukan setelah menyembelih aqiqah.. (Mausu’ah al-Fiqhiyah, 26:107).

Berdasarkan keterangan di atas, penentuan waktu pelaksanaan aqiqah di hari ketujuh, hukumnya tidak wajib. Demikian pula, aqiqah dan mencukur rambut, tidak harus dilakukan bersamaan.

Allahu a’lam

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Makna Hadis Anak Tergadaikan dengan Aqiqahnya

Makna Hadis Anak Tergadaikan dengan Aqiqahnya
Apa makna hadis, setiap "anak tergadai dengan aqiqahnya"? Dan apakah hadis ini shahih? Terima kasih.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Hadis yang anda sebutkan statusnya shahih, dari sahabat Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani).

Ulama berbeda pendapat tentang makna kalimat ‘Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya’.

Berikut rincian perbedaan keterangan ulama tentang makna hadis,

⚜ Pendapat Pertama, syafaat yang diberikan anak kepada orang tua tergadaikan dengan aqiqahnya. Artinya, jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tua tidak mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat.

Pendapat ini diriwayatkan dari Atha al-Khurasani – ulama tabi’in – dan Imam Ahmad. Al-Khithabi menyebutkan keterangan Imam Ahmad.

‎قال أحمد : هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه

Menurut Imam Ahmad, hadis ini berbicara mengenai syafaat. Yang beliau maksudkan, bahwa ketika anak tidak diaqiqahi, kemudian dia meninggal masih bayi, tidak bisa memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya. (Ma’alim as-Sunan, 4/285)

Semetara keterangan dari Atha’ al-Khurasani diriwayatkan al-Baihaqi dari jalur Yahya bin Hamzah, bahwa beliau pernah bertanya kepada Atha’, tentang makna ‘Anak tergadaikan dengan aqiqahnya.’ Jawab Atha’,

‎يحرم شفاعة ولده

Dia (orang tua) tidak bisa mendapatkan syafaat anaknya.” (Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, 9/299)

⚜ Pendapat Kedua, keselamatan anak dari setiap bahaya itu tergadaikan dengan aqiqahnya. Jika diberi aqiqah maka diharapkan anak akan mendapatkan keselamatan dari mara bahaya kehidupan. Atau orang tua tidak bisa secara sempurna mendapatkan kenikmatan dari keberadaan anaknya. Ini merupakan keterangan Mula Ali Qori (ulama madzhab hanafi). Beliau mengatakan,

‎مرهون بعقيقته يعني أنه محبوس سلامته عن الآفات بها أو أنه كالشيء المرهون لا يتم الاستمتاع به دون أن يقابل بها لأنه نعمة من الله على والديه فلا بد لهما من الشكر عليه

Tergadaikan dengan aqiqahnya, artinya jaminan keselamatan untuknya dari segala bahaya, tertahan dengan aqiqahnya. Atau si anak seperti sesuatu yang tergadai, tidak bisa dinikmati secara sempurna, tanpa ditebus dengan aqiqah. Karena anak merupakan nikmat dari Allah bagi orang tuanya, sehingga keduanya harus bersyukur. (Mirqah al-Mafatih, 12/412)

⚜ Pendapat  Ketiga, Allah jadikan aqiqah bagi bayi sebagai sarana untuk membebaskan bayi dari kekangan setan. Karena setiap bayi yang lahir akan diikuti setan dan dihalangi untuk melakukan usaha kebaikan bagi akhiratnya. Dengannya, aqiqah menjadi sebab yang membebaskan bayi dari kekangan setan dan bala tentaranya. Ini merupakan pendapat Ibnul Qoyim. Beliau juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah menjadi syarat adanya syafaat anak bagi orang tuanya.

Beliau mengatakan,

‎كونه والداً له ليس للشفاعة فيه. وكذا سائر القرابات والأرحام وقد قال تعالى : يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا

Status seseorang sebagai orang tua bagi si anak, bukan sebab dia mendapatkan syafaat. Demikian pula hubungan kerabat dan keluarga (tidak bisa saling memberi syafaat). Allah telah menegaskan,

‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun (QS. Luqman: 33)

Kemudian, Ibnul Qoyim melanjutkan,

‎فلا يشفع أحد لأحد يوم القيامة إلا من بعد أن يأذن الله لمن يشاء ويرضى ، فإذنه سبحانه وتعالى في الشفاعة موقوف على عمل المشفوع له من توحيده وإخلاصه

Karena itu, seseorang tidak bisa memberikan syafaat kepada orang lain pada hari kiamat, kecuali setelah Allah izinkan, untuk diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia ridhai. Sementara izin Allah dalam syafaat, tergantung dari tauhid dan kekuatan ikhlas dari orang yang mendapat syafaat itu. (Tuhfah al-Maudud, hlm. 73).

Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan tafsir hadis di atas,

‎المرتهن هو المحبوس إما بفعل منه أو فعل من غيره … وقد جعل الله سبحانه النسيكة عن الولد سببا لفك رهانه من الشيطان الذي يعلق به من حين خروجه إلى الدنيا وطعن في خاصرته فكانت العقيقة فداء وتخليصا له من حبس الشيطان له وسجنه في أسره ومنعه له من سعيه في مصالح آخرته التي إليها معاده

Tergadai artinya tertahan, baik karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain… dan Allah jadikan aqiqah untuk anak sebagai sebab untuk melepaskan kekangan dari setan, yang dia selalu mengiringi bayi sejak lahir ke dunia, dan menusuk bagian pinggang dengan jarinya. Sehingga aqiqah menjadi tebusan untuk membebaskan bayi dari jerat setan, yang menghalanginya untuk melakukan kebaikan bagi akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya. (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74)

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hal Lain yang Harus Dilakukan Selain Aqiqah - Bag.2

Hal Lain yang Harus Dilakukan Selain Aqiqah
Lanjutan dari Bagian-1...

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Beberapa amalan yang disyariatkan untuk dilakukan di hari ketujuh setelah kelahiran:

1. Mencukur rambut bayi dan bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut.

Dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, bahwa ketika aqiqahnya Hasan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Fatimah: “Hai Fatimah, cukur rambutnya dan sedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada orang miskin.” (HR. Ahmad, At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani).

Dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Yaitu disembelihkan (kambing) untuknya di hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i dan dishahihkan Al Albani).

Keterangan:
  • Dianjurkan untuk menggundul rambut bayi –sebisa mungkin– di hari ketujuh setelah kelahiran
  • Yang mencukur adalah orang tua bayi, Ibunya atau bapaknya. Dan tidak disyariatkan mencukur bayi bareng-bareng ketika perayaan aqiqah.
  • Rambut yang sudah dicukur ditimbang (boleh dikira-kira jika rambutnya terlalu sedikit) Bersedekah dengan uang seharga perak yang beratnya sama dengan rambut bayi, diserahkan kepada fakir miskin.
2. Memberi nama bayi dan mengumumkannya

Dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Yaitu disembelihkan (kambing) untuknya di hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, An Nasa’i dan dishahihkan Al Albani)

Keterangan:

Bagi yang belum memberi nama bayi di hari pertama, maka hendaknya memberi nama bayi di hari ketujuh bersama dengan aqiqahnya. Boleh memberi nama setelah hari ketujuh. Namun sebaiknya TIDAK menunda setelah aqiqah.

3. Aqiqah

Aqiqah untuk bayi hukumnya wajib bagi yang mampu. Bahkan Imam Ahmad menganjurkan untuk berhutang bagi yang kurang mampu. Imam Ahmad mengatakan, “Allah akan membantu melunasinya karena dia telah melestarikan sunnah.

Diantara dalil bahwa aqiqah itu wajib bagi yang mampu adalah hadis dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya…” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, An Nasa’i dan dishahihkan Al Albani).

Makna hadis:

Ada dua penjelasan ulama tentang makna hadis:

☑ Pertama, syafa’at yang diberikan anak kepada orang tua tergadaikan dengan aqiqahnya. Artinya, jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tua tidak mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat. Ini adalah keterangan dari Imam Ahmad.

☑ Kedua, keselamatan anak dari setiap bahaya itu tergadaikan dengan aqiqahnya. Jika diberi aqiqah maka diharapkan anak akan mendapatkan keselamatan dari mara bahaya kehidupan. Atau orang tua tidak bisa secara sempurna mendapatkan kenikmatan dari keberadaan anaknya. Keterangan Mula Ali Qori (ulama madzhab hanafi).

☑ Ketiga, Allah jadikan aqiqah bagi bayi sebagai sarana untuk membebaskan bayi dari kekangan setan. Karena setiap bayi yang lahir akan diikuti setan dan dihalangi untuk melakukan usaha kebaikan bagi akhirat. Dengan aqiqah akan membebaskan bayi dari kekangan setan dan bala tentaranya.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hal Lain yang Harus Dilakukan Selain Aqiqah - Bag.1

Hal Lain yang Harus Dilakukan Selain Aqiqah
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jika kita telah melahirkan anak, baik laki-laki ataupun perempuan, kita disyariatkan untuk melaksanakan Aqiqah jika mampu. Apakah ada hal lain lagi yang harus dilakukan selain aqiqah? Yang saya tau ada hal mencukur rambut anak lalu berat rambut tersebut ditimbang dan hasilnya di kalikan dengan nilai per gram emas yang berlaku saat ini. Apakah hal tersebut ada dan disunahkan?

Jazakumullah Khairan Katsiran. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Penanya: tamiXXXXXXXX@yahoo.com

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Kelahiran Anak dan Aqiqah

Hari Pertama Kelahiran

Ada beberapa hal yang disyariatkan di hari pertama kelahiran anak:

1. Tidak boleh merasa sedih karena mendapat anak perempuan.

Di antara kebiasaan masyarakat musyrikin jahiliyah adalah bersedih dan marah ketika mendapat anak perempuan. Allah mencela mereka melalui firman-Nya,

‎وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُ مْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

Apabila seseorang dari mereka (musyrikin jahiliyah) diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah wajahnya dan dia sangat marah.”

2. Bersyukur atas nikmat Allah

Anak termasuk nikmat Allah. Allah berfirman, yang artinya: “Harta dan anak adalah berhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al Kahfi: 46). Oleh karena itu, apapun keadaannya wajib disyukuri. Allah telah berjanji akan menambahkan nikmatnya. Allah berfirman, yang artinya, “Jika kamu bersyukur maka sungguh kami akan menambahkan nikmat untuk kalian.” (QS. Ibrahim: 7).

Bertambahnya nikmat ini bermacam-macam. Bentuknya bisa berupa ketaatan anak pada orang tua, pengabdian anak, keberkahan bagi keluarga, dan nikmat lainnya.

3. Adzan di Telinga Bayi

Terdapat sebuah hadits dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga kanan Hasan bin Ali di hari ketika dia dilahirkan, dan iqamah di telinga kanannya. (HR. Al Baihaqi). Namun, hadits ini adalah hadits yang lemah, karena itu tidak boleh dijadikan dalil.

Kesimpulannya, tidak disyariatkan mengumandangkan adzan di telinga bayi ketika baru dilahirkan.

4. Tahnik

Tahnik adalah menyuapi bayi dengan kurma yang sudah dilumatkan. Dianjurkan untuk mentahnik bayi di hari kelahirannya, dalilnya: Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi memberi nama bayiku Ibrahim dan men-tahnik dengan kurma lalu mendoakannya dengan keberkahan.“ (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Thalhah radliallahu ‘anhu, ketika anaknya lahir, Anas bin Malik membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa beberapa kurma. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunyah kurma tersebut dan meletakkannya di mulut bayi (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Beberapa adab ketika men-tahnik bayi:
  • Hendaknya menggunakan kurma. Jika tidak ada bisa menggunakan madu.
  • Kurma dikunyah kemudian diletakkan di langit-langit mulut bayi.
  • Yang men-tahnik adalah orang yang shalih di kampungnya.
  • Orang yang men-tahnik bayi, hendaknya mendoakan keberkahan untuk bayi
5. Memberi ucapan selamat kepada orang tua bayi

Dianjurkan bagi kerabat dekat, keluarga, tetangga untuk memberi ucapan selamat kepada orang tua bayi. Karena Allah memberi ucapan selamat kepada para nabi yang mendapatkan anak. Allah berfirman, yang artinya: “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya..” (QS. Maryam: 7).

Diantara yang dicontohkan adalah:

‎بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الـمَوهُوبِ لَكَ , وَ شَكَرْتَ الوَاهِبَ , وَ بَلَغَ أَشُدَّهُ , وَ رُزِقْتَ بِرَّهُ

Semoga Allah memberkahi anak yang diberikan kepadamu, semoga kamu bisa mensyukuri Dzat Yang Memberi, dia bisa sampai dewasa, dan kamu mendapatkan ketaatan anakmu.” (Hisnul Muslim).

6. Menguburkan ari-ari

Tidak ada tata cara khusus ketika menguburkan ari-ari. Karena semua kebiasaan masyarakat ketika menguburkan ari-ari, semua berasal dari adat jawa. Tujuan ari-ari dikubur, agar tidak mengganggu orang lain.

7. Memberi nama

Dibolehkan memberi nama bayi di hari lahir, dan baru diumumkan ketika aqiqah. Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi memberi nama bayiku: Ibrahim dan men-tahnik dengan kurma, dan mendo’akannya dengan keberkahan.“ (HR. Al Bukhari dan Muslim).


Bersambung ke Bagian-2...

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Apakah Khutbah Jum'at harus Berbahasa Arab?

Apakah Khutbah Jum'at harus Berbahasa Arab?
Assalamu’alaikum ustadz

Saya kebetulan baru pindah tugas ke daerah lain. Saat saya melaksanakan sholat jum’at di dekat kantor baru saya, saya agak terkejut saat khotbah jum’at dilakukan dengan bahasa arab. Awalnya saya berfikir mungkin orang di sana mengerti apa isi khotbah dan sayalah yang bodoh karena tidak faham bahasa arab. Namun saat saya tanya salah satu orang asli di tempat saya sholat jum’at ternyata sebagian besar jamaah sholat jum’at juga tidak memahami isi khotbah tersebut. Dan ternyata tidak hanya khotbah jum’at saja yang menggunakan bahasa arab, ternyata khotbah sholat ied juga menggunakan bahasa arab

Yang ingin saya tanyakan yaitu:

1. Apakah khotbah jum’at menggunakan bahasa arab yang sebagian tidak dipahami jamaah diperbolehkan?

2. Apakah saya harus sholat jum’at di tempat lain, atau boleh sholat jum’at di masjid tersebut? karena ternyata masjid di sekitar tempat tinggal dan kantor saya menggunakan bahasa arab untuk khotbah jum’at, dan masjid yang menggunakan bahasa yang saya pahami letaknya agak jauh?

Terima kasih sebelumnya atas jawabannya

Wassalamu’alaikum

Dari Septia Kurniawan

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ulama berbeda pendapat apakah khutbah Jum'at harus berbahasa arab. Ada 3 pendapat dalam masalah ini (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/180),

☑ Pertama, khutbah disyaratkan harus berbahasa arab, meskipun pendengar tidak memahami bahasa arab. Ini meruapakan pendapat Malikiyah (al-Fawakih ad-Dawani, 1/306) dan pendapat sebagian ulama Hambali (Kasyaf al-Qana’, 2/34)

☑ Kedua, disyaratkan menggunakan bahasa arab bagi yang mampu, kecuali jika semua jamaah tidak memahami bahasa arab, maka khatib menggunakan bahasa mereka. Ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan syafiiyah (al-Majmu’, 4/522) dan pendapat sebagian hambali

☑ Ketiga, dianjurkan menggunakan bahasa arab dan bukan syarat. Khatib boleh menggunakan bahasa selain arab. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah (Rad al-Mukhtar, 1/543) dan sebagian Syafiiyah.

Pendapat yang ketiga inilah yang lebih kuat, dan yang dipilih para ulama kontemporer. Diantara alasannya,
  1. Tidak ada dalil tegas yang mewajibkan khutbah harus berbahasa arab.
  2. Tujuan inti khutbah adalah memberikan nasehat dan ceramah kepada masyarakat. dan itu tidak mungkin bisa disampaikan kepada mereka kecuali dengan bahasa yang dipahami jamaah.
  3. Sejalan dengan prinsip syariah, bahwa Allah mengutus para nabi-Nya dengan bahasa kaumnya. Allah berfirman,
‎وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul-pun, kecuali dengan bahasa kaumnya. Agar rasul itu menjelaskan (kebenaran) kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)

Kesimpulan menarik dari as-Syaukani,

‎ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة

Ketahuilah bahwa khutbah yang disyariatkan adalah kkhutbah yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memotivasi masyarakat dan memberi peringatan bagi mereka. Pada hakekatnya, bagian ini adalah inti khutbah, yang karenanya, disyariatkan adanya khutbah Jum'at. Sementara persyaratan memuji Allah, shalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membaca beberapa ayat al-Quran, semua ini bukan tujuan utama disyariatkannya khutbah.

Kemudian beliau menegaskan,

‎ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده

Orang cerdas tidak akan ragu bahwa tujuan utama dalam khutbah nasehat (bagi jamaah), bukan pujian atau shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, kebiasaan masyarakat arab turun-temurun, ketika mereka hendak menyampaikan ceramahnya, mereka mulai dengan memuji Allah dan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini kebiasaan yang sangat bagus dan mulia. Namun, ini bukan tujuan utama khutbah. Yang menjadi inti khutbah adalah nasehat setelahnya. (ar-Raudhah an-Nadiyah, 1/137)

Al-Majma’ al-Fiqhi di bawah Rabithah Alam Islami juga menguatkan pendapat yang menyatakan, bahasa arab bukan syarat khutbah Jum'at. Dalam sebuah keputusannya dinyatakan,

‎الرأي الأعدل هو أن اللغة العربية في أداء خطبة الجمعة والعيدين في غير البلاد الناطقة بها ليست شرطاً لصحتها ، ولكن الأحسن أداء مقدمات الخطبة وما تضمنته من آيات قرآنية باللغة العربية ، لتعويد غير العرب على سماع العربية والقرآن ، مما يسهل تعلمها ، وقراءة القرآن باللغة التي نزل بها ، ثم يتابع الخطيب ما يعظهم به بلغتهم التي يفهمونها

Pendapat paling kuat, bahwa bahasa arab untuk bahasa pengantar khutbah Jum'at atau khutbah id, di selain negeri yang tidak berbahasa arab, bukanlah bagian dari syarat sah khutbah. Hanya saja yang terbaik, menyampaikan mukaddimah khutbah dan ayat al-Quran yang dibaca, menggunakan bahasa arab. Untuk membiasakan orang non arab agar mendengarkan bahasa arab dan al-Quran. Yang ini memudahkan mereka belajar bahasa arab, serta membaca al-Quran dengan bahasa asli dia diturunkan. Selanjutnya khatib bisa menyampaikan nasehat dengan bahasa mereka, yang bisa mereka pahami.

(Keputusan al-Majma’ al-Fiqhi, volume 5, keputusan ke-5, hlm. 99)

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Jum'at

Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Jum'at
Dari Muthi’ bin Hakam radhiallahu’anhu ia menuturkan, “Apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, kami menghadapkan wajah-wajah kami kepadanya.” (Silssilah Ahadits Shahihah, no. 2080)

Imam Bukhari meriwayatkan hadis di atas pada Bab Imam Menghadapkan Wajah ke Arah Jamaah, Jamaah Menghadapkan Wajah ke Arah Imam Pada Saat Ia Berkhutbah, Ibnu Umar dan Anas Menghadapkan Wajah ke Arah Imam. Kemudian Imam Bukhari memuat hadis Abu Sa’id di bawahnya.

Ibnu Hajar mengatakan, “Imam Bukhari mengambil hukum dari hadis tersebut berupa judul bab di atas. Beliau berargumentasi dengan duduknya para sahabat mengitari rasulullah untuk mendengarkan sabdanya umumnya disertai dengan menghadapkan wajah-wajah mereka. Keadaan para sahabat pada saat duduk di majelis-majelis nabi (di luar khutbah Jum'at) tidak bertentangan dengan kondisi khutbah Jum'at dimana rasulullah berdiri di atas mimbar. Karena kondisi khutbah Jum'at sama seperti majelis lainnya, yaitu rasulullah berbicara pada tempat yang lebih tinggi dan para sahabat duduk di tempat yang lebih rendah. Apabila kondisi demikian terjadi di luar khutbah Jum'at, tentunya pada saat khutbah Jum'at lebih ditekankan lagi karena ada keharusan untuk mendengar dan diam pada saat khutbah berlangsung.“

Imam Bukhari melanjutkan, “Di antara hikmah menghadapkan wajah tersebut adalah sebagai ekspresi kesiapan mendengarkan khutbah dan wujud etika terhadap imam. Jika seseorang menghadapkan wajahnya disertai menghadirkan hati dan pikirannya maka ia akan mudah memahami dan memetik nasihat imam dan mengamalkan apa yang dinasihatkan tersebut.“

🗣 Syaikh Muhammd Nashirudin Al-Albani

👥 Diterjemahkan oleh tim yufid dari http://www.sahab.net/home/?p=43

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Belajar Bersyukur Dengan Tiga Hal

Belajar Bersyukur Dengan Tiga Hal
Dari Shahabat Nu’man bin Basyir -rodhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan:

“Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda di atas mimbar:

« مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ، لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ، لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ. التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ»

1️⃣ - ”Barangsiapa belum mampu mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia belum mampu mensyukuri nikmat yang banyak.”
2️⃣ - ”Barangsiapa belum bisa berterima kasih kepada manusia, maka ia belum bisa bersyukur kepada Allah –Ta’ala-.”
3️⃣ - ”Membicarakan nikmat Allah -Ta’ala- merupakan satu bentuk rasa syukur, meninggalkannya adalah satu bentuk kufur nikmat.

📋 [ HR. Ahmad no. 18449, 18450, Al-Baihaqi dalam  “Asy-Syu’ab”  no.4105, 8698, Ibnu Abid Dunia dalam  “Asy-Syukr” no.64. Lafadz di atas diambil dari "Musnad Ahmad". ] , 📎 Derajat Hadits: Hasan.

Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- dalam kitab “Shohih At-Targhib”no.976, “Ash-Shohihah” pada pembahasan hadits no.667.


Senantiasa kita meminta pertolongan kepada Allah -Ta'ala- agar bisa menjadi hamba-hamba Nya yang bersyukur, Aamiin.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Nasihat Umar Bin Al-Khaththab radiallahu 'anhu

Nasihat Umar Bin Al-Khaththab radiallahu 'anhu
Wadi’ah al-Anshari mengatakan bahwa dia mendengar Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu menasihati seseorang,

لاَ تَكَلَّمْ فِيمَا لاَ يَعْنِيكَ، وَاعْرِف ْعَدُوَّكَ، وَاحْذَرْ صَدِيقَكَ إِلاَّ الْأَمِينَ،وَلاَ أَمِينَ إِلاَّ مَنْ يَخْشَى اللهَ، وَتَمْشِي مَعَ الْفَاجِرِ فَيُعَلِّمَكَ مِنْفُجُورِهِ، وَ تُطَلِّعْهُ عَلَى سِرِّكَ، وَلاَتُشَاوِرْ فِي أَمْرِكَ إِلاَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَاللهَ عَزَّ وَجَلَّ

● “Janganlah engkau berbicara dalam urusan yang tidak engkau perlukan. Kenali musuhmu.

● Waspadalah dari temanmu, kecuali yang terpercaya. Tidak ada orang terpercaya kecuali yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


● Janganlah engkau berjalan bersama orang yang rusak, sehingga dia akan mengajarimu sebagian keburukannya. Jangan pula engkau beritahukan rahasiamu kepadanya.


● Janganlah engkau bermusyawarah tentang urusanmu kecuali dengan orang-orang yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla
.”

(Shifatu ash-Shafwah hlm. 109)

🌏 Sumber || http://asysyariah.com/nasihat-umar-bin-al-khaththab-radhiallahu-anhu/

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Saturday, September 29, 2018

Tadabur Al-Qur'an, Surah Az-Zumar (42-44)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Az-Zumar (42-44)
Surah Az-Zumar, 42:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Allah memegang nyawa (seseorang) ketika matinya dan (memegang) nyawa (seseorang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Surah Az-Zumar, 43:

أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ

Bahkan mereka mengambil pemberi syafa'at selain Allah. Katakanlah: "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?"

Surah Az-Zumar, 44:

قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan"

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hukum Merusak Sarang Laba-laba

Hukum Merusak Sarang Laba-laba
Banyak orang mengatakan, laba-laba itu hewan berjasa karena pernah menyelamatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bersembunyi di gua Tsur saat dikejar orang kafir.  Sehingga wajib diistimewakan, tidak boleh diganggu atau dibunuh. Membunuh laba-laba termasuk perbuatan dosa. Apa itu benar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita akan melihat lebih dekat mengenai riwayat yang menyebutkan adanya laba-laba ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersembunyi di gua Tsur.

Disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah keluarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Mekah, beliau dikejar orang musyrikin hingga beliau bersembuyi di gua Tsur.

‎فمروا بالغار، فرأوا على بابه نسيج العنكبوت، فقالوا: لو دخل ههنا لم يكن نسيج العنكبوت على بابه، فمكث فيه ثلاث ليال

Mereka melewati gua itu, dan mereka melihat di pintunya ada sarang laba-laba. Mereka berkomentar, ‘Andai Muhammad masuk gua ini, tidak mungkin ada sarang laba-laba di pintu gua ini.’ dan beliau tetap tinggal di dalam gua selama 3 hari.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad (no. 3251) dan sanadnya dinilai dhaif oleh Syuaib al-Arnauth. Permasalahannya adalah ada perawi yang bernama Utsman al-Jazari. Termasuk yang menilai dhaif adalah Syaikh Ahmad Syakir, sebagaimana keterangan beliau dalam ta’liq Musnad Ahmad.

Meskipun ada beberapa ulama yang menilainya hasan. Diantaranya adalah Ibnu Katsir dan al-Hafidz Ibnu Hajar,

Ibnu Katsir mengatakan,

‎وهذا إسناد حسن وهو من أجود ما روي في قصة نسج العنكبوت على فم الغار

Riwayat ini sanadnya hasan, dan sanadnya adalah riwayat yang paling bagus terkait kisah sarang laba-laba di mulut gua. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 3/181)

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan (Fathul Bari, 7/236), hanya saja beliau mengomentari salah satu perawinya, Utsman al-Jazari bahwa beliau ada sisi lemah.

Di sisi lain, ada beberapa pertimbangan yang menunjukkan bahwa riwayat ini lemah,

🔰 Pertama, hadis ini didhaifkan banyak ulama karena keberadaan perawi Utsman al-Jazari.

Abu Hatim mengatakan tentang Utsman al-Jazari,

‎يُكتب حديثه ولا يحتج به

Hadisnya ditulis namun tidak dijadikan hujah. (at-Tahdzib, 7/145)

🔰 Kedua, hadis ini bertentangan dengan dzahir al-Quran.

Mengenai peristiwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersembunyi di gua Tsur, Allah ceritakan dalam al-Quran,

‎فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا

Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. (QS. at-Taubah: 40).

Dalam ayat di atas, Allah menolong Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tentara yang tidak kelihatan,

‎وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا

Allah membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya..”

Dan ini tidak sejalan jika dipahami bahwa bala tentara itu adalah laba-laba yang membuat sarang. Karena jelas sarang laba-laba bisa kelihatan. Dan makna tentara yang tidak dilihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Malaikat. Al-Baghawi menjelaskan ayat ini,

‎وهم الملائكة نزلوا يصرفون وجوه الكفار وأبصارهم عن رؤيته؛ وقيل: ألقوا الرعب في قلوب الكفار حتى رجعوا

Mereka adalah para malaikat yang turun, memalingkan wajah orang-orang kafir dan penglihatan mereka sehingga tidak melihat beliau. Ada yang mengatakan, Allah menyematkan rasa takut di hati orang-orang kafir itu sampai mereka kembali. (Tafsir al-Baghawi, 4/53).

Kesimpulannya, keberadaan laba-laba di gua Tsur ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersembunyi bersama Abu Bakr belum bisa kita pastikan adanya. Karena itu, riwayat ini tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil bahwa laba-laba adalah hewan istimewa atau memiliki keutamaan khusus.

Hukum Mengusir Laba-Laba

Pada prinsipnya semua yang mengganggu manusia boleh untuk diusir. Sementara dalil yang menyatakan bahwa laba-laba pernah berjasa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dijadikan alasan, karena tidak kuat, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menghilangkan sarang laba-laba dan mengusirnya dari rumah.

Jawaban beliau

‎إزالة العنكبوت من زوايا البيوت لا بأس بها وذلك لأن العنكبوت تؤذي وتلوث الحيطان وربما تعشش على الكتب وعلى الملابس فهي من الحشرات المؤذية وإن كانت أذيتها خفيفة بالنسبة لغيرها فإذا حصل منها أذية فإنه لا بأس بإزالة ما بنته من العش

Mengusir laba-laba dari sudut-sudut rumah diperbolehkan. Karena laba-laba mengganggu dan mengotori dinding. Terkadang mengotori kitab, pakaian. Laba-laba termasuk hewan yang mengganggu. Jika gangguannya ringan jika dibandingkan hewan lainnya, tidak masalah menghilangkan sarangnya. (Fatwa Nur ala Ad-Darbi, Imam Ibnu Utsaimin)

Keterangan Imam Ibnu Baz

‎لا حرج في إزالة آثار العنكبوت ولا نعلم ما يدل على كراهة ذلك فإزالتها لا حرج في ذلك أما كونها بنت على الغار الذي دخل فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – وصاحبه أبو بكر فهذا ورد في بعض الأحاديث وبصحته نظر ولكنه مشهور ولو فرضنا صحته فإنه لا يمنع من إزالتها من البيوت … التي ليس لوجودها حاجة فيها

Tidak masalah menghilangkan sarang laba-laba. Dan saya tidak mengetahui adanya dalil yang memakruhkan hal ini. Sementara peristiwa laba-laba membuat sarang di pintu gua yang dimasuki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, ini disebutkan dalam sebagian hadis, namun status keabsahannya perlu dipertimbangkan. Meskipun riwayat ini masyhur. Jika kita anggap riwayat ini shahih, tidak masalah mengusirnya dari rumah… karena keberadaan sarang laba-laba di rumah tidak dibutuhkan. (Fatawa Ibnu Baz, no. 11021)

Untuk masalah membunuhnya, selama laba-laba bisa diusir tanpa harus dibunuh, maka pada asalnya semua binatang yang gangguannya tidak signifikan, cukup diusir tanpa harus dibunuh.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hukum Yoga dalam Islam

Hukum Yoga dalam Islam
Mohon dijelaskan bagaimana hukum yoga dalam Islam?

Jawab;

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelum membahas hukum yoga, kita perlu mengenal apa itu yoga.

Yoga berasal dari suku kata yuj, dalam bahasa Sansekerta berarti “menghubungkan” atau “mempersatukan”. Secara bahasa yoga bermakna menyatu, manunggal dengan kesadaran Tuhan atau kenyataan diri sendiri. Dengan kata lain yoga merupakan salah satu ritual yang mengantarkan seseorang pada kemanunggalan dirinya dengan sang pencipta.

Dalam Yoga, meditasi disebut dengan Dhyana yang artinya adalah aliran pikiran. Meditasi dalam Yoga berdasarkan pada pengetahuan Tantra (yang selanjutnya dikenal sebagai Astaunga Yoga). Tantra berarti kebebasan dari kegelapan dengan cara penyatuan dengan Yang Maha Tinggi (Tuhan). Arti lain dari meditasi adalah Samadhi. Samadhi adalah “persatuan dengan Tuhan” (Sam artinya “dengan”, Adhi artinya “Tuhan”)

Keberadaan yoga yang banyak dilakukan oleh masyarakat, terutama pada perkumpulan yoga hari ini, sebenarnya bukan yoga yang murni olah tubuh. Para praktisi yoga banyak mencampur adukkan gerakan yoga dari tahapan meditasi diam hingga meditasi gerak.

Yoga memang tak ubahnya dengan meditasi. Secara umum, senam yoga adalah meditasi dalam gerak.

Sebab dalam melakukan gerakan yoga juga pikiran kita dilatih untuk tenang dan khusyuk dengan selalu mengiringinya dengan bacaan-bacaan khusus disertai dengan menghadirkan hati dan kekhusyu’an.

Memusatkan pikiran dan konsentrasi, atau melihat pada objek gambar tertentu. Setelah mereka melakukannya, biasanya mereka merasakan sensasi yang berbeda.

Terutama bagi praktisi yoga yang ingin mendapatkan suatu kesaktian tertentu, ada yang mengklaim mereka didatangi mahkluk astral (Dewa-dewi) yang sesungguhnya itu adalah setan. Sumber: metafisis.net

Hukum Yoga

Kita sepakat bahwa yoga berasal dari agama paganisme, hindu dan budha. Dan di sana ada dua unsur mendasar dalam yoga,

1. Gerakan dan olah badan

2. Olah jiwa, konsentrasi, dengan mengkondisikan bayangan tertentu dalam pikiran.

Untuk memaksimalkan unsur kedua ini, yoga kebanyakan dilakukan di waktu matahari terbit atau matahari terbenam, di tempat terbuka yang bisa melihat langsung matahari. Karena itu, motivasi terbesar yoga biasanya bukan kesegaran badan, tappi lebih pada ketenangan batin. Sehingga erat kaitannya dengan aqidah.

Berdasarkan keterangan di atas, jika salah satu dari dua unsur ini tidak ada, tidak bisa disebut yoga. Sehingga yoga tidak sebatas aktivitas olah raga, yang hukum asalnya mubah. Tapi lebih dari sebatas olah badan dan fisik.

Dengan pertimbangan di atas, dalam Fatwa Islam dinyatakan bahwa yoga hukumnya terlarang,

‎وخلاصة القول : أنه لا يجوز للمسلم أن يمارس اليوغا البتة ، سواء أكانت ممارسته عن عقيدة ، أو عن تقليد ، أو كانت طلباً للفائدة المزعومة

Kesimpulannya, tidak boleh bagi seorang muslim melakukan senam yoga sama sekali. Baik karena latar belakang aqidah, atau sebatas ikut-ikutan, atau untuk mendapatkan manfaat berupa ketenangan yang sifatnya dugaan.

Selanjutnya fatwa islam menyebutkan beberapa pertimbangan sisi aqidah,

1. Yoga bersinggungan dengan aqidah tauhid, ada upaya mendekatkan diri kepada selain Allah, atau minimal membangun keyakinan menyimpang tentang hubungan tuhan dengan makhluk, yaitu keyakinan manunggal.

2. Ritual ini dilakukan dengan mengikuti aktivitas matahari. Yang ini sama persis seperti ibadahnya orang kafir, seperti agama shinto.

Karena alasan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita shalat di waktu matahari terbit dan hendak terbenam. Karena setan berada di tempat matahari terbit dan terbenam, agar disembah manusia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎وَلاَ تَحَيَّنُوا بِصَلاَتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوبَهَا ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ

Janganlah kalian secara sengaja memilih waktu shalat ketika matahari terbit atau terbenam, karena dia terbit diantara dua tanduk setan. (HR. Bukhari 3099)

3. Kegiatan ini meniru ritual orang pagan, penyembah berhala. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan,

‎مَن تشبَّه بقوم فهو منهم

Siapa yang meniru satu kaum maka dia bagian dari kaum itu… (HR. Abu Daud 4033).

(Fatwa Islam, no. 101591)

Pengganti Yoga

Untuk masalah olah raga, hukum asalnya halal, selama tidak melanggar syariat, tidak dikaitkan dengan keyakinan, dan sifatnya untuk olah badan agar lebih sehat.

Karena itu, olah raga, murni urusan dunia. Dan manusia bisa bebas berkreasi untuk semua urusan dunia, dengan batasan di atas. Untuk bisa sehat, tidak harus yoga.

Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sekilas Terdengar Biasa Tapi Bisa Berbahaya

1. Saudara laki2nya bertanya saat kunjungan seminggu setelah adik perempuannya melahirkan :

"Hadiah apa yang diberikan suamimu setelah engkau melahirkan ?"
"Tidak ada" jawab adiknya pendek.
Saudara laki2 nya berkata lagi :
"Masa sih, apa engkau tidak berharga disisinya? aku bahkan sering memberi hadiah istriku walau tanpa alasan yang istimewa".

Siang itu, ketika suaminya lelah pulang dari kantor menemukan istrinya merajuk dirumah, keduanya lalu terlibat pertengkaran. Sebulan kemudian, antara suami istri ini terjadi perceraian.

Dari mana sumber masalahnya ? Dari kalimat sederhana yang diucapkan saudara laki2 kepada adik perempuannya

2. Saat arisan seorang ibu bertanya :

"Rumahmu ini apa tidak terlalu sempit ? bukankah anak2 mu banyak ?".

Rumah yang tadinya terasa lapang sejak saat itu mulai dirasa sempit oleh penghuninya. Ketenangan pun hilang saat keluarga ini mulai terbelit hutang kala mencoba membeli rumah besar dengan cara kredit ke bank.

3. Seorang teman bertanya :

'Berapa gajimu sebulan kerja di toko itu ?".
Ia menjawab : "1,5 juta rupiah".
"Cuma 1,5 juta rupiah? sedikit sekali ia menghargai keringatmu. Apa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu ?".

Sejak saat itu ia jadi membenci pekerjaannya. Ia lalu meminta kenaikan gaji pada pemilik toko, pemilik toko menolak dan malah mem PHK nya. Kini ia malah tidak berpenghasilan dan jadi pengangguran.

4. Seseorang bertanya pada kakek tua itu :

"Berapa kali anakmu mengunjungimu dalam sebulan ?"
Si kakek menjawab : "Sebulan sekali".
Yang bertanya menimpali : "Wah keterlaluan sekali anak2mu itu. Diusia senjamu ini seharusnya mereka mengunjungimu lebih sering".

Hati si kakek menjadi sempit padahal tadinya ia amat rela terhadap anak2 nya. Ia jadi sering menangis dan ini memperburuk kesehatan dan kondisi badannya.

Apa sebenarnya keuntungan yang kita dapat ketika bertanya seperti pertanyaan2 diatas ?.

Jagalah diri dari mencampuri kehidupan orang lain.
Mengecilkan dunia mereka. Menanamkan rasa tak rela pada yang mereka miliki. Mengkritisi penghasilan dan keluarga mereka dst dst.
Kita akan menjadi agen kerusakan di muka bumi dengan cara ini. Bila ada bom yang meledak cobalah introspeksi diri, bisa jadi kitalah yang menyalakan sumbunya.

Sudah tau kan bahaya lisan? Terlihat biasa perkataanmu tapi justru itulah yg menyebabkan bahaya.

Jaga lisan,

Tri Widayanti
Founder Komunitas Emakpreuneur Indonesia
One family one business.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Apakah Harta Haram Menjadi Halal setelah Dizakati?

Harta Haram Menjadi Halal setelah Dizakati?
Ustadz mau tanya, apakah benar semua harta apabila sudah zakat menjadi suci atau halal? walaupun harta tsb didapat dari hasil dari korupsi, rampok, mencuri dan sebagainya

Dari D. Setiawan via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Beberapa orang meyakini bahwa harta haram, jika dizakati akan menjadi halal. Alasan mereka, harta haram itu kotor, dan zakat berfungsi menyucikan harta. Setelah dizakati, harta akan menjadi suci dan halal. Demikian ’logika’ sederhana mereka.

Yang memprihatinkan, ternyata logika ini tidak hanya dalam dataran teori, tapi hingga menjadi praktek. Ada salah satu penanya di konsultasisyariah.com yang pernah mengingatkan temannya agar keluar dari bank riba. Tapi dia mengelak dan beralasan, tidak masalah berpenghasilan riba, toh nanti kalo sudah dizakati jadi halal.

Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…

Awas! Setan Membisikkan..

Bagian penting yang perlu kita sadari, tidak ada kemaksiatan di alam ini yang dilakukan tanpa alasan.

Ketika Allah mengharamkan bangkai, orang-orang musyrik beralasan, bagaimana mungkin bangkai yang disembelih, Allah kalian haramkan, sementara hewan yang kalian sembelih sendiri kalian halalkan.??

Di sebuah kompleks kos-kosan orang Indonesia timur, beberapa anak kos menangkapi ayam tetangga dan menyembelihnya. Ketika diminta tanggung jawab, mereka beralasan, Inikan milik tuhan, dan tuhan ciptakan ini untuk dinikmati bersama, mengapa kamu larang.?? (ini kisah nyata)

Ketika orang dilarang onani, mereka beralasan, onani itu menyehatkan organ reprosuksi, karena jika tidak dibuang akan terjadi tumpukan sperma yang bisa membahayakan tubuh.

Ketika khamr diharamkan, mereka beralasan, khamr bisa menghangatkan badan dan bisa untuk jamu. ??

Ketika nonton porno dilarang, mereka beralasan, ini untuk berbagi cara berfantasi, menyegarkan kehidupan rumah tangga.??

Ketika syirik dilarang, mereka koar-koar, ini bagian kearifan lokal, yang selayaknya kita pertahankan dan kita lestarikan.??

Ketika mereka dilarang mencari penghasilan yang haram, mereka beralasan, nanti kalo sudah dizakati kan jadi halal.??

Dan masih ada sejuta alasan lainnya, sebagai pembelaan terhadap kemaksiatan.

‎وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ . وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ

Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jin, satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. (QS. Al-An’am: 112 – 113)

Para ulama menyebut bisikan-bisikan ini sebagai syubhat. Alasan yang merusak pemikiran manusia, sehingga mereka bisa menikmati yang halal tanpa beban dosa.

Zakat dan Harta Haram

Allah menyatakan bahwa fungsi zakat adalah mensucikan harta dan jiwa orang yang menunaikannya,

‎خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS. At-Taubah: 103)

Dan kita tahu, suatu benda bisa dibersihkan dan disucikan, jika asal benda itu adalah suci, kemudian kecampuran sedikit kotoran. Bagian kotoran ini yang kita bersihkan.

Berbeda dengan benda yang sejak awalnya kotor atau dia sumber kotoran, dibersihkan dengan bagaimanapun caranya, akan tetap kotor.

Sebagai ilustrasi – tapi mohon maaf, agak jorok – Tinja kering, meskipun dibersihkan dan digosok sampai mengkilap, statusnya tetap najis. Karena tinja seluruhnya najis dan bahkan sumber najis. Sehingga treatment apapun tidak akan mengubahnya menjadi suci.

Harta haram, seluruhnya kotoran dan ini sumber kotoran. Jika dicampur dengan harta yang halal, justru mengotori harta yang halal itu. Karena itulah, zakat dari harta haram tidak diterima.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari harta ghulul (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya).

Karena Allah hanya menerima zakat dari harta yang baik dan halal.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَل

Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari  usahanya yang halal lagi baik, Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung”. (Muttafaq ’alaih).

Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,
‎‏
‎والمال الحرام كله خبث لا يطهر، والواجب في المال الحرام رده إلى أصحابه إن أمكن معرفتهم وإلا وجب إخراجه كله ‏عن ملكه على سبيل التخلص منه لا على سبيل التصدق به، وهذا متفق عليه بين أصحاب المذاهب

Harta haram semuanya kotor, sehingga tidak bisa dibersihkan. Yang wajib dilakukan terhadap ‎harta haram adalah mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, jika memungkinkan untuk ‎mengetahui siapa pemiliknya. Jika tidak, wajib mengeluarkan semua harta haram itu dari‎wilayah kepemilikannnya, dalam rangka membebaskan diri dari harta haram, dan bukan ‎diniatkan untuk bersedekah. Ini yang disepakati diantara semua ulama dari berbagai madzhab. ‎(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 23/249)

Demikian, Allahu a’lam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Hukum Sedekah dari Barang Haram

Hukum Sedekah dari Barang Haram
Assalamu’alaikum

Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dengan latar belakang pendidikan saya yang kurang tinggi, saya mendapatkan penghasilan dari pekerjaan saya tiap bulany lebih dari cukup untuk karyawan yang hanya lulusan SMA. Kalau saya bandingkan dengan karyawan perusahaan lain yang berpendidikan lebih tinggi dari saya mungkin hampir menyamai mereka.

Tapi penghasilan saya itu tidak seluruhnya berasal dari keringat saya, ada yang berasal dari hasil berbohong, tapi sebenarnya kalau tidak begitu penghasilan saya tidak akan cukup untuk membiayai kehidupan saya selama sebulan, bahkan sebulan sekali saya (maaf tidak bermaksud takabur) memberikan zakat kepada fakir miskin untuk mensucikan harta saya.

Yang jadi pertanyaan saya, sah atau tidakkah zakat saya itu?

Bagaimana saya menghindari perbuatan yang menurutku itu tidak baik?

Terima kasih

Wassalamu’alaikum

Dari: Hamba Allah

Jawaban:

Wa’alaikumussalam,

Sebelumnya, kami ingin memberitahukan kepada saudara dan pihak lain yang senasib dengan saudara.

Bahwa, tugas ulama, ustazd, dan mufti adalah menerangkan hukum Islam, mana yang halal dan mana yang haram. Adapun mencarikan pekerjaan untuk penanya pertanyaan, bukanlah tugas ustadz.

Karena terkadang, ada beberapa pertanyaan yang memberikan beban berlebihan pada ustazd. Yaitu bertanya mengenai pekerjaannya yang haram, ia juga bertanya pada ustazd, “Kalau pekerjaan ini haram, lalu saya harus kerja di mana?” Sebenarnya ini pertanyaan bukan pada tempatnya, karena ustadz tersebut bukan bertugas mencarikan pekerjaan bagi umat, tapi tugasnya hanya menerangkan hukum Islam pada umat.

Adapun bila Anda sudah tahu hukum dari pekerjaan Anda, maka ketahuilah bahwa Allah tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang haram.

👤 Dijawab oleh Ustadz Muhammad Yasir, Lc (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive