Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Sunday, September 29, 2019

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Permasalahan ini adalah permasalahan yang sering dibingungkan oleh sebagian orang. Dan kebanyakan kaum muslimin menganggap bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Inilah yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin di negeri ini karena kebanyakan mereka menganut madzhab Syafi’i yang berpendapat seperti ini.

Lalu manakah yang tepat? Tentu saja kita mesti mengembalikan hal ini pada pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.[1]

Silang Pendapat

Perlu diketahui, dalam masalah apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ataukah tidak, para ulama ada tiga macam pendapat.

Pendapat pertama: menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm, juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.

Pendapat kedua: menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat ini dipilih oleh madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu ‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat ketiga: menyentuh wanita membatalkan wudhu jika dengan syahwat. Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad yang  masyhur.

Untuk melihat manakah pendapat yang lebih kuat, mari kita lihat beberapa yang digunakan untuk masing-masing pendapat.

Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita Melalui Dalil Al Qur’an?

Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu karena menyentuh wanita, berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan. Landasannya adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,

اللَّمْسُ، مَا دُوْنَ الجِمَاعِ.

Al lams (lamastum) bermakna selain jima’”.[2] Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh Ibnu ‘Umar.[3] Jadi, menurut keduanya lamastumun nisaa’ bermakna selain berhubungan badan seperti menyentuh.

Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini bertentangan dengan perkataan sahabat -yang lebih pakar dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau mengatakan,

إن”المس” و”اللمس”، و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء

Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang ia suka.

Dalam perkataan lainnya disebutkan,

أو لامستم النساء”، قال: هو الجماع.

Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’ (berhubungan badan).”[4]

Manakah dua tafsiran di atas yang lebih tepat?

Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:

Pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna “lamastmun nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan dengan makna lain dari kata al lams. Alasannya, terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa  beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.

Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang perowi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.[5] Juga terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy, dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan oleh Al Albani.[6]

Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar karena beliau lebih pakar dalam hal ini.[7]

Ketiga: Kita pun bisa melihat pada konteks ayat surat Al Maidah ayat 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”: Dalam ayat ini disebutkan mengenai thoharoh (bersuci) dengan air dari hadats kecil.

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

dan jika kamu junub maka mandilah”: Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari hadats besar.

Lalu setelah itu, Allah menyebut:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.”

Dalam firman Allah: “maka bertayamumlah”. Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah pengganti untuk dua thoharoh sekaligus jika tidak memungkinkan menggunakan air.

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

atau kembali dari tempat buang air (kakus)”: ini adalah untuk hadats kecil. Jadi tayamum bisa sebagai pengganti wudhu.

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

atau lamastumun nisaa’”: ini adalah untuk hadats besar. Jadi tayamum bisa mengganti mandi junub. Sehingga dari sini, lamastumun nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi maknanya bukan hanya sekedar mencium atau menyentuh.

Catatan: Memang kata al lams bisa bermakna menyentuh (meraba) dengan tangan sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ

Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri” (QS. Al An’am: 7)

Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

Zinanya tangan adalah dengan meraba.”[8]

Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari, makna “lamastmun nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima‘ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan dengan makna lain dari kata al lams.

Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu

Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ

Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau sedang (shalat) di masjid …”[9]

Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا . قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.”[10]

Ketiga: Sudah diketahui bahwa para sahabat pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun tidak diketahui kalau ada satu perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berwudhu dan tidak ada satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat berwudhu. Padahal seperti ini sudah sering terjadi ketika itu. Bahkan yang diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya dann tanpa berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini diperselisihkan oleh para ulama mengenai keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau berwudhu karena sebab bersentuhan dengan wanita. [11] -Inilah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang kami sarikan-

Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat saja yang membatalkan wudhu, maka ini adalah pendapat yang TIDAK berdalil. Namun jika SEKEDAR MENGANJURKAN untuk berwudhu sebagaimana orang yang marah dianjurkan untuk berwudhu, maka ini baik. Akan tetapi, hal ini bukanlah wajib. Wallahu Ta’ala a’lam.

Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahrom

Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita di atas berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu bagaimana dengan hukum menyentuh wanita yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak? Ada hadits yang bisa kita perhatikan, yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[12] Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom dan di sini disebut dengan zina sehingga ini menunjukkan haramnya. Karena ada kaedah: “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.”[13].Semoga kita bisa memperhatikan hal ini.

Kesimpulan: Menyentuh wanita tidak membatalkan menurut pendapat yang lebih kuat. Namun jika menyentuh wanita bukan mahrom, ada konsekuensi berdosa berdasarkan penjelasan terakhir di atas. Wallahu a’lam.

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Disusun di rumah mertua tercinta: Panggang-Gunung Kidul, 8 Muharram 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/961-apakah-menyentuh-wanita-membatalkan-wudhu.html#_ftn4

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Jangan Makan Dengan Tangan Kiri

Jangan Makan Dengan Tangan Kiri
Kalau seorang makan diantara kalian, makanlah dengan tangan kanannya, dan jika minum maka hendaklah minum dengan tangan kanannya. Karena syaitan makan dan minum dengan tangan kirinya” ( HR. Muslim : 2020 , Abu dawud : 3776, At tirmidzi : 1800 )

Kenapa dilarang oleh Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam ?

Disebabkan syaitan itu kalau makan minum pakai tangan kiri. Maka jangan jadi syaitan, kita nggak ingin menjadi seperti musuh kita, bahkan kalau kita melihat musuh kita, mungkin kita akan berpaling atau mencoba menyerang dia, sekarang ini syaitan musuh kita, masak kita mau berteman dengan syaitan ? dia yang menyebabkan adam ‘alaihissalam tergoda sehingga memakan buah di dalam surga yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka berkaitan dengan itu, Salamah bin ‘Amr bin Aqwa Rodhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang makan di sisi Rosulullah shollallahu ‘alayhi wasallam, dia makan bersama Nabi, lalu dilihat sama Nabi bahwa lelaki ini makan dengan tangan kirinya. Maka apa kata Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam : “Makanlah dengan tangan kananmu !

Maka lelaki ini menjawab “Aku tidak bisa makan dengan tangan kananku, aku nggak bisa

Ada orang-orang yang kidal, yang kalau dikatakan pada dia untuk makan dengan tangan kanannya maka berat bagi dia , karena dia sudah terbiasa dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bahkan lebih kuat dari tangan kanannya, apakah dibiarkan ? nggak boleh dibiarkan ! tetep usahakan dengan tangan kanannya.

Dan pria ini, ketika disuruh makan dengan tangan kanannya dia menjawab “aku tidak bisa”, lalu Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam mengatakan “Semoga kamu benar-benar tidak bisa (baca : makan dengan tangan kanan)

Maka kita lihat, pria ini sebetulnya mampu menggunakan tangan kanannya, tangannya masih utuh, masih bisa diangkat, tapi dia enggan melakukannya maka Nabi mendoakannya “semoga kamu tidak bisa” dan Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam mengatakan “tidak ada yang menghalangi dia melakukan perintahku kecuali rasa sombong”, artinya ada orang-orang sombong yang menolak kebenaran, dikasih tau nggak mau tau.

Oleh : Ustadz DR. Syafiq Riza Basalamah MA.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Canda Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Kriteria dan Tujuannya

Canda Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Canda tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi jika kita hidup ditengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode pendidikan yang jitu. Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas yang menguras konsentrasi dan tenaga. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat.

HUKUM CANDA DALAM ISLAM

Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda.

Al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang bercanda? Maka kami jawab, ‘Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman, baik itu bagi orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda, atau bagi keduanya.[2]

Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-Adzkâr (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab (disukai).

Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam kitab asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ غَيْرَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا

Para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau mencadai kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.[3]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi, no.1991 dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu anhu , seorang laki-laki meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ

Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasûlullâh! Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.”[4]

Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.

3. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:

يَا أَبَا عُميرٍ مَا فَعلَ النُّغَيرُ

Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]

an-Nughair adalah burung kecil.

Hadit-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda itu boleh, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang hukum mubah (boleh) ini bisa naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan) apabila maksudnya untuk merealisasikan sebuah kebaikan atau menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Imam Nawawi di atas.

Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.”[6]

Izzuddin bin Abdissalam as-Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Dahulu aku pernah ditanya tentang canda, materinya dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunnahkan diantara saudara, teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.”[7]

Dalam kitab al-Mausû’ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan bahwa bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syari’at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta, tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya sunnah. Karena hukum asal perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunnah untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh para Ulama.

Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui  bahwa bercanda hukum asalnya mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung. Ini didukung dengan hadits dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa  anak Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada suatu hari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk mencandainya, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya sedang bersedih?” Para Sahabat menjawab, “Wahai Rasûlullâh! Burung kecil yang biasa dia ajak bermain mati.” Lalu Rasûlullâhpun memanggilnya, “Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh nughair?

Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penggalan kisah di atas bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu Abu Umair Radhiyallahu anhu yang kehilangan burung kesayangannya.

HIKMAH DARI PENSYARIATAN CANDA

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu menghibur saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika materinya berisi hal-hal yang bisa menghibur pelaku saja, atau orang yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah.

Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk kategori canda yang tercela dan terlarang.

KRITERIA CANDA YANG DIBOLEHKAN

Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:

1. Selalu jujur dan tidak bohong

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Ketika para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau menyandai kami.” Beliau bersabda, “Betul, hanya saja saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur).

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubârak bin Fadhâlah dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata bahwa ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasûlullâh! Mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla agar aku dimasukkan ke dalam surga.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ﴿٣٥﴾ فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾ عُرُبًا أَتْرَابًا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Wâqi’ah/56:35-37][8]

2. Canda itu tidak berlebihan dan tidak dilakukan secara rutin

Ar-Rhâgib al-Asfahani rahimahullah berkata, “Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji.

Canda yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa menjatuhkan wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allâh dan melalaikan hal-hal penting dalam agama. Sedangkan canda yang rutin akan menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia. Al-Murthada az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, “Para imam mengatakan bahwa canda yang berlebihan mencoreng kewibawaan, dan menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar sunnah dan sirah nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”[9]

Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura (akting), seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari’at Islam sebagai bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan dan tuduhan. Ini semua karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka lemah. Na’udzu billah. Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakîm dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia… Celakalah dia[10]

Disebutkan dalam kitab Faidul Qadîr, “Rasûlullâh mengulang-ulang do’anya dengan maksud memberikan gambaran betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila dusta menyatu dengan keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati, menyebabkan lupa, maka akhirnya perbuatan ini menjadi keburukan yang paling jelek.”

Sebagian Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda sebagai profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian dia berdalih dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk melihat dan menikmati tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang pada hari raya. Ini sebuah kesalahan.

3. Candanya tidak menimbulkan rasa dongkol, marah dan dendam.

Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah satu diantara haram atau makruh.[11]

Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa diajak bercanda. Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu sebab permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang menganggap semua perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka bercanda dengan orang tertentu. Berdasarkan ini, kita harus mengenali keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan berefek buruk ketika bercanda.

4. Candanya bukan dengan seuatu yang menakutkan.

Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.

Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sâ-ib bin Yazîd dari bapaknya, dari kakeknya, dia mendengar Rasûlullâh bersabda:

لاَيَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا

Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka bercanda ataupun serius.[12]

Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat akan mengembalikannya.[13]

Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami diberitahukan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika mereka melakukan perjalanan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian salah seorang dari mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan, sehingga semua orang tertawa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah yang membuat kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut.” Mendengar ini, Rasûlullâh bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti  Muslim lainnya[14]

5. Canda dilakukan denga tutur kata yang baik dan perbuatan yang elok.

Orang yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek dan keji, juga harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang dengan adab kepada teman. Karena itu semua berpotensi mendatangkan kebencian dan kedengkian.

6. Canda hendaknya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkannya, seperti wanita dan anak-anak.

Begitulah canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya candaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak.

TUJUAN DARI CANDA YANG DIPERBOLEHKAN

Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:

Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat. Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk ingin selalu jumpa.
Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu) dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan, sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.

Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara jika mereka tidak mau bercanda.[15]

Ini juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk beribadah, bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.

Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak.

Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka lemah.
Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.

Senyum dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun senyum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering terlihat daripada tawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dan bercanda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebahagian dan rasa suka cita dalam hati-hati mereka.

Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya. Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mâzini Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Ibuku memintaku untuk membawakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah aku sampai dan menyerahkan anggur tersebut Beliau memegang telingaku seraya bersabda, “Wahai ghudar”[16]

Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil ini.

Inilah sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa memperhatikan tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah canda yang diperbolehkan. Namun, barangsiapa melanggarnya atau melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur kebenaran, dan terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda yang merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan.

Diantara kriteria canda yang tercela sebagai berikut:

Canda yang mengandung unsur ejekan terhadap agama Islam atau salah satu syari’atnya. Candaan seperti bisa menyebabkan orang yang melakukannya keluar dari Islam, karena mengejak ajaran Islam salah satu diantara yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” , Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengejek Allâh, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya itu.”[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, “… Sesungguhnya menghina atau mengejek Allâh Azza wa Jalla , ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena pokok ajaran agama ini terbangun diatas pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla , pengaguangan terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya bertentangan menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya.

Semisal dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti mengejek jenggot, hijab atau celana yang di atas mata kaki atau sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang munafik. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat berbahaya ini.

Masalah ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat dan mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan mengejek, atau menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang yang berani melakukan itu, berarti dia telah kufur. Karena perbuatannya tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari’at-Nya. Orang yang pernah melakukannya wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatannya yang jelek tersebut.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini yaitu menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai bahan candaan, seperti masalah surga, neraka atau siksa kubur yang dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai pengingat dan motivator bagi seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.

Mengejek orang lain dengan kedipan mata atau dengan sindiran. Dalam al-Qur’an, Allâh telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-Hujurat/49: 11],

Ibnu Katsir rahimahulla berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan mengejek manusia, yaitu perbuatan meremehkan, dan mengoolok-olok manusia, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,

Perbuatan merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa Jalla , atau lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.[18]

Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan bahan ketawaan dan candaan. Na’ûdzu billâh. Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan hendaklah orang-orang seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ …  كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya dan meremehkannya …. sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]

Canda yang bisa mencelakai orang yang dicandai. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ

Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka[20],

Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أشَارَ إلَى أخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، فَإنَّ المَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ ، وَإنْ كَانَ أخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ

Barangsiapa mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat Malaikat sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan sebapak.[21]

Al-Hafiz Ibnu Hajar t berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.”[22]

Pada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Walaupun itu saudara kandungnya” terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak diperbolehkan bercanda seperti diatas kepada siapapun, dan dalam situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena membuat muslim menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai saudaranya tanpa sengaja.[23]

Maka hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan yang bisa menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Canda yang mengandung dusta dan ghibah. Poin pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan pada penjelasan di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini merupakan penyakit yang buruk dan termasuk dosa besar. Cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra’ mi’raj mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan ini. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُون بها وُجُوْهَهُمْ وصُدورَهم فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُـحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم

Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.’[24]

Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang sebagian orang, sehingga dia tertarik untuk melakukannya. Semua dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Tahukah kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.’[25]

Jadi, canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia tidak bisa dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Akhirnya, inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

Sumber: https://almanhaj.or.id/6290-canda-menurut-sunnah-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kriteria-dan-tujuannya.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Thursday, September 26, 2019

Musibah Menghapus Dosa

Musibah Menghapus Dosa
Tatkala kita mengetahui besarnya jumlah utang kita
Dan kita mengetahui pula bahwa jumlah aset kita tidak cukup untuk melunasinya
Bahkan kalau kita mempekerjakan diri kita dan keluarga kita untuk menebus hutang
Maka kita tergolong orang yang bangkrut, pailit.

Sekarang coba bayangkan, dalam setiap harinya, berapa banyak dosa yang kita lakukan
Kita tidak pernah menghitungnya, kalau amal kebajikan insyaAllah dihitung…
Sebagian tidak merasa berbuat dosa, karena memang ia tidak mengetahui mana yang dosa dan mana yang bukan…

Lepas dari semua itu, Allah, Ar Rahman Ar Rahiem…
Yang Maha mengetahui dengan segala kekurangan hambanya, telah membuat suatu sistem pelunasan dosa yang sangat indah…
Yaitu, dengan menurunkan berbagai macam musibah

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى
حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih , kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”
(HR. Bukhari no.5641 dan Muslim no. 2573)

Jadi yang lagi sakit, pada hakekatnya dia sedang melunasi hutang-hutangnya
Maka tiada kata yang lebih pantas diucapkan pada waktu itu kecuali bersyukur kepada Allah
Salah satu ulama’ salaf berkata:

لولا مصائب الدنيا لوردنا الآخرة مفلسين

Andai kata bukan karena musibah-musibah dunia, niscaya kita akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bangkrut”.

Bagi akhi ukhti yang sedang dapat musibah…
saatnya menjadikan musibah itu sebagai ladang pelunasan dosa…
Dengan menata hati
Bersabar
Meridhoi takdir Ilahi
Bersyukur kepada Rabbi
Selamat mengamalkan

Oleh : Ustadz DR. Syafiq Riza Basalamah MA,  حفظه الله تعالى
🌐 Sumber https://bbg-alilmu.com/archives/43065

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Wednesday, September 25, 2019

Mencaci dan Melaknat Orang Kafir dan Pelaku Dosa Besar

Mencaci dan Melaknat Orang Kafir dan Pelaku Dosa Besar
Terkadang kita mencaci dan melaknat kaum kafir atau kaum musyrik; Atau kadang kita menyamakan mereka dengan hewan. Mereka memang pelaku kesyirikan –wal iyâdzu billâh-. Mereka memanjatkan doa kepada selain Allâh Azza wa Jalla , bahkan sebagian mereka pun adalah pelaku perdukunan (sihir). Sebagian ada yang masih hidup, yang lain sudah meninggal; Sebagian mereka ada yang menjadi imam di sebagian masjid. Apakah cacian dan laknat seperti ini diperbolehkan ataukah tidak?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah menjawab:

Terkaitan perbuatan melaknat orang kafir dan musyrik, juga orang fasik dikarenakan ia telah melakukan dosa besar, bila laknat ini diungkapkan secara UMUM (tanpa menyebut person dan individu tertentu), maka itu tidak mengapa. Misalnya, kita mengatakan, “Laknat Allâh atas orang zhalim!  Laknat Allâh atas orang kafir! Atau laknat Allâh atas orang fasik! Semoga Allâh Azza wa Jalla melaknat para pemakan riba, yang memberi riba, dua saksinya, dan juga penulisnya!

Jadi tidak mengapa melaknat para pelaku dosa secara umum, baik itu pelaku dosa syirik, pelaku kekufuran, atau dosa besar. Adapun kalau melaknat orang tertentu atau individu tertentu, maka ini hal yang diperselisihkan oleh para Ulama.

Yang benar adalah tidak boleh melaknat orang tertentu. Karena kita tidak tahu bagaimanakah kesudahan hidup dari orang yang kita laknat tersebut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

Read more https://almanhaj.or.id/8911-mencaci-dan-melaknat-orang-kafir-dan-pelaku-dosa-besar.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Tuesday, September 24, 2019

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-Jasiyah (29-33)

Tadabur Al-Qur'an, Surah Al-Jasiyah (29-33)
Surah Al-Jasiyah, 29:

هٰذَا كِتٰبُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۗاِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

(Allah berfirman), “Inilah Kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”

Surah Al-Jasiyah, 30:

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ

Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Demikian itulah kemenangan yang nyata.

Surah Al-Jasiyah, 31:

وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اَفَلَمْ تَكُنْ اٰيٰتِيْ تُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاسْتَكْبَرْتُمْ وَكُنْتُمْ قَوْمًا مُّجْرِمِيْنَ

Dan adapun (kepada) orang-orang yang kafir (difirmankan), “Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu tetapi kamu menyombongkan diri dan kamu menjadi orang-orang yang berbuat dosa?”

Surah Al-Jasiyah, 32:

وَاِذَا قِيْلَ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّالسَّاعَةُ لَا رَيْبَ فِيْهَا قُلْتُمْ مَّا نَدْرِيْ مَا السَّاعَةُۙ اِنْ نَّظُنُّ اِلَّا ظَنًّا وَّمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِيْنَ

Dan apabila dikatakan (kepadamu), “Sungguh, janji Allah itu benar, dan hari Kiamat itu tidak diragukan adanya,” kamu menjawab, “Kami tidak tahu apakah hari Kiamat itu, kami hanyalah menduga-duga saja, dan kami tidak yakin.”

Surah Al-Jasiyah, 33:

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّاٰتُ مَا عَمِلُوْا وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan yang mereka kerjakan, dan berlakulah (azab) terhadap mereka yang dahulu mereka perolok-olokkan.

===============================

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Kerdilkan dan Rendahkan Mereka

Kerdilkan dan Rendahkan Mereka
Ternyata merendahkan sesuatu tidak selalu buruk, saudaraku.

Ibnul Qoyyim -rohimahullah- berkata:
Dan diantara tanda amal ibadah kita diterima adalah kita akan merendahkan, mengkerdilkan dan menganggapnya kecil di hati kita.”
(Madarijus Saalikiin 2/62)

Shalat, puasa, tarawih, tilawah, dzikir, umrah, i’tikaf, dan amal ibadah kita lainnya.

Sebesar apapun...
Sebanyak apapun...
Sehebat apapun...
Kerdilkanlah, tanamkanlah dalam hati ini bahwa semua itu hanyalah serpihan-serpihan kecil yang tidak pantas menuai puji dan rasa bangga.

Sedangkan membesar-besarkan, merasa diri berjasa lalu mulai mengungkitnya... sebaiknya ia renungkan ayat berikut ini:

‏﴿٢٦٤﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ

(264) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)...
(QS. Al Baqarah: 264)

Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri,  حفظه الله تعالى.
🌐 Sumber: https://bbg-alilmu.com/archives/28935

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bertemu Dengan Saudara

Bertemu Dengan Saudara
‘Urwah -rohimahullah- menuturkan:

Jika engkau melihat seseorang mengerjakan kebaikan maka ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki banyak saudara (kebaikan-kebaikan yang lain), dan jika engkau melihat seseorang mengerjakan keburukan maka ketahuilah bahwa keburukan itu memiliki banyak saudara (keburukan-keburukan yang lain).

Sesungguhnya kebaikan itu mengarahkan kita ke saudara-saudaranya (sesama amal shalih) dan keburukan itu mengarahkan kita ke saudara-saudaranya (sesama dosa dan keburukan).”

( Hilyatul Auliya’ 2/177 )

Saudaraku,
Maka pertanyaan besarnya adalah:
Dalam suasana ‘Ied dan Syawal ini, “saudara-saudara” siapa yang bercengkrama dan menemani hari-hari kita ?

Jawabannya adalah cermin apa yang kita perbuat di bulan suci Ramadhan

Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri Lc,  حفظه الله تعالى
🌐 Sumber : https://bbg-alilmu.com/archives/43061

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Haram Nonton Film di Bioskop

Haram Nonton Film di Bioskop
Syaikh Ibnu Baz _rahimahullah_ yang pernah menjabat sebagai mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam dalam fatwanya menerangkan.

Hukum nonton bioskop dan teater perlu dirinci:

Pertama:
Jika dalam teater dan bioskop ada hal yang manfaat bagi kaum muslimin dan sesuai syariat seperti teater yang ada penampilan yang menampilkan kebenaran dan menyebarkan kebenaran dan juga menjelaskan perjalanan salafush shalih, atau ada tayangan yang menerangkan hal-hal penting bagi kaum muslimin selama di dalamnya tidak ada gambar buka-bukaan aurat, tidak ada kerusakan, tidak ada iktilath (campur baur), tidak ada musik, dan kemungkaran semacamnya, selama di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin, maka tidaklah masalah.

Kedua:
Adapun bioskop dan teater yang saat ini ada semuanya di dalamnya ada ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, atau di dalamnya ada musik dan alat musik, juga nampak wanita yang buka-bukaan aurat, serta hal mungkar lainnya, maka tidaklah boleh masuk ke dalamnya dan juga mendatanginya, tidak boleh meridainya, bahkan wajib mengingkarinya.

👤 Muhammad Abduh Tuasikal

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Lelah Dalam Kebaikan

Lelah Dalam Kebaikan
Jika Anda LELAH dalam kebaikan, maka hiburlah diri Anda, karena kebaikan itu akan menetap, sedang lelahnya akan pergi.

Sebaliknya, meskipun Anda sangat menikmati DOSA, maka kenikmatan itu pasti akan pergi, sedang dosanya akan terus bersama Anda.

========

Ingatlah sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

SURGA itu diselimuti dengan hal-hal yang tidak disukai, sedang NERAKA diselimuti oleh hal-hal yang menyenangkan”. (HR. Muslim: 2822)

Ditulis oleh Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA,  حفظه الله تعالى.
🌐 Sumber https://bbg-alilmu.com/archives/8376

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Ternyata Benar, Ada Sunga-sungai Pencuci Dosa

Sunga-sungai Pencuci Dosa
Ibnul Qayyim -rohimahulloh- mengatakan:

Bagi mereka yang banyak dosa, ada tiga sungai besar yang dapat membersihkan mereka di dunia, jika itu tidak cukup membersihkan mereka, nantinya mereka akan dibersihkan di sungai (neraka) jahim pada hari kiamat.

1. Sungai taubat nasuha.
2. Sungai amal-amal kebaikan yang dapat menenggelamkan dosa-dosa yang mengelilingi pelakunya.
3. Sungai musibah besar yang dapat menebus dosanya.

Maka, jika Allah menginginkan hambanya kebaikan; Dia akan memasukkannya ke tiga sungai ini, sehingga pada hari kiamat nanti dia akan datang dalam keadaan baik dan bersih, sehingga dia tidak perlu lagi pembersihan keempat.

(Madarijus Salikin 1/312)

Oleh Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA,  حفظه الله تعالى .
🌐 Sumber https://bbg-alilmu.com/archives/20153

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Sunday, September 22, 2019

Amalan Yang Bisa Berpahala Tanpa Niat

Amalan Yang Bisa Berpahala Tanpa Niat
Syeikh Utsaimin -rohimahulloh- mengatakan:

Jika seseorang melakukan perbuatan yang MUBAH dan dia tidak meniatkannya untuk ibadah, maka tidak ada pahala padanya.

KECUALI bila ada manfaatnya bagi makhluk lain, misalnya: ketika seseorang memberikan nafkah kepada orang yang wajib dinafakahinya, maka mungkin saja dia tidak menghadirkan niat TAPI dia mendapatkan pahala.

Begitu pula jika seseorang menanam biji, atau menanam pohon, lalu sebagiannya dimakan oleh burung atau hewan melata, atau orang, maka sungguh dicatat baginya pahala kebaikan.”

(Liqo’ bab maftuh 5/53)

-------------------------

Bila tanpa niat saja berpahala, bagaimana bila diniatkan untuk ibadah… Bagaimana bila niatnya adalah tujuan-tujuan baik yang bisa bermacam-macam… Oleh karenanya ada perkataan yang bagus: “Niat adalah ladang bisnisnya para ulama.”

Oleh : Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى
🌐 Sumber  https://bbg-alilmu.com/archives/9397

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Orang Kafir Masuk Surga Jika Beramal Shalih?

Orang Kafir Masuk Surga Jika Beramal Shalih?
Benarkah dengan amal shalih orang kafir bisa masuk Surga ?

Dari Sugeng

Jawaban:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad. Amma Ba’du:

Kebaikan ada yang bersifat universal, artinya orang mukmin dan kafir menganggap itu sebagai kebaikan, seperti sifat jujur, berbakti kepada orangtua dan membantu orang miskin.

Kebaikan yang disebut sebagai amal sholeh adalah kebaikan yang sifatnya lebih spesifik menurut pandangan Islam. Artinya, kebaikan tersebut harus sesuai dengan standar dan berada dalam koridor ajaran agama Islam.

Dari sini bisa dipahami bahwa kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir tidak disebut sebagai amal sholeh, karena tidak memenuhi syarat yaitu pelakunya harus seorang muslim.

Apakah kebaikan orang kafir sia-sia saja?

Kebaikan orang kafir tidak pernah sia-sia, kebaikan orang kafir mendapatkan balasan di dunia tapi tidak mendapatkan balasan di akhirat.

Orang kafir tidak mendapatkan balasan di akhirat, karena orang kafir tersebut tidak mengharapkan amalannya agar dibalas di akhirat nanti atau ia mengharapkan balasan tapi tidak memenuhi syarat untuk dibalas di akhirat, yaitu syarat sebagai seorang yang beragama Islam.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan kami perlihatkan segala amal kebaikan yang dilakukan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al Furqan:23)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan arti ayat tersebut dengan berkata: ”Ketika Allah Ta’ala menghisab amalan para hambaNya yang baik dan yang buruk pada hari kiamat. Pada waktu itu amalan orang-orang musyrikin yang disangka membawa kebaikan bagi mereka, ternyata tidak memiliki nilai apapun. Hal itu disebabkan tidak terpenuhinya syarat diterimanya amalan, yaitu ikhlas hanya kepada Allah dan sesuai dengan syariat Allah” (Tafsir Ibnu Katsir 6/103)

Dan Allah menjelaskan dalam firmanNya yang lain:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا

Dan orang-orang yang kafir kapada Allah, amal-amal yang mereka kerjakan tidaklah diberikan pahala sama sekali, ia laksana fatamorgana di tanah yang rendah lagi datar, yang dilihat dan disangka air oleh orang-orang yang sangat dahaga, lalu ia pun mendatanginya, tetapi ketika mendatanginya dia tidak mendapati apapun. (An Nur:39)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً، يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ، لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا

Bahwasanya Allah Ta’ala tidak mendzolimi seorang mukmin atas amalan kebaikan yang dia lakukan, Allah membalas kebaikannya di dunia dan di akhirat. Adapun orang kafir Allah memberinya makanan (rizki) di dunia sebagai balasan atas kebaikannya, akan tetapi ketika seorang di akhirat nanti, maka kebaikannya tidak ada nilainya lagi dan dia tidak mendapatkan balasan apa-apa. (HR. Muslim No.2162)

Imam An Nawawi berkata: ”Seluruh ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa seorang kafir setelah dia meninggal dunia, dia tidak mendapatkan pahala di akhirat dan tidak mendapatkan balasan atas amalan kebaikan yang dia lakukan di dunia”. (Syarah Shohih Muslim, 17/150)

Dari penjelasan dan dalil-dalil yang disebutkan, dengan jelas kita mengetahui bahwa balasan perbuatan orang kafir hanya di dunia, dan tidak mendapatkan balasan Allah Taala di akhirat karena dia tidak mengharap dari amalannya balasan di akhirat atau amalannya tersebut tidak ikhlas karena Allah dan tidak sesuai dengan syariat Allah. Artinya, orang kafir tidak mungkin masuk surga karena amalan kebaikan yang dia lakukan tidak memenuhi syarat sebagai amal sholeh yang memasukkannya ke dalam surga. Bahkan seorang muslimpun tidak mendapatkan pahala kebaikannya apabila tidak memenuhi syarat ikhlas dan sesuai syariat.

Wallahu’alam.

👤 Dijawab oleh Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf , Lc. MA. (Dosen Ilmu Hadits STDI Jember)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Seperti Bangkai Keledai

Seperti Bangkai Keledai
Bagaimana rasanya jika kita duduk dekat bangkai keledai yang bau busuknya menusuk ?

Seperti itulah jika kita duduk di majelis yang kosong dari sholawat dan dzikir kepada Allah.

Dari Abu Hurairah, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقومونَ منْ مَجْلسٍ لاَ يَذكُرُون الله تَعَالَى فِيهِ إِلاَّ قَاموا عَنْ مِثلِ جيفَةِ حِمَارٍ وكانَ لَهُمْ حَسْرَةً

Tidaklah suatu kaum bangkit dari majelis yang tidak mengingat Allah padanya kecuali mereka bangkit dari seperti bangkai keledai dan menjadi penyesalan untuk mereka kelak.” (HR Abu Dawud)

Majelis ngopi, majelis ngobrol, grup wa atau semisalnya bila kosong dari dzikir kepada Allah maka nasibnya sama dengan bangkai keledai.

Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى .

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Ucapan Salam Diantara Kaum Muslimin

Ucapan Salam Diantara Kaum Muslimin
Apakah setiap kali bertemu, sebagai kaum muslimin wajib megucapkan salam? Tolong diperjelas!

Jawaban.

Hukum mengucapkan salam ketika bertemu adalah mustahab/sunnah. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits shahîh, antara lain:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُما أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari ‘Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Manakah Islam yang terbaik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal”.[1]

Adapun menjawab salam adalah wajib, karena diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. [an-Nisâ`/4:86].

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bahwasanya memulai salam adalah Sunnah, mustahab (disukai), tidak wajib. Yaitu Sunnah kifayah. Jika yang memberi salam itu sekelompok orang, ucapan salam satu dari mereka sudah mencukupi, jika mereka semua mengucapkan salam, itu lebih utama”.[2]

Beliau juga berkata: “Adapun menjawab salam, jika yang diberi salam itu satu orang, maka ia wajib menjawab. Jika mereka sekelompok orang, maka menjawab salam itu fardhu kifayah. Jika satu dari mereka sudah menjawab, yang lain tidak berdosa. Jika mereka semua meninggalkannya (yakni tidak menjawab), mereka semua berdosa. Jika mereka semua membalas salam, maka itu puncak kesempurnaan dan keutamaan”.[3]

Hal ini dikecualikan para ahli bid’ah atau pelaku maksiat terang-terangan yang dihukum dengan hajr (pemboikotan), maka tidak diucapkan salam kepadanya dan salamnya tidak dijawab. Tetapi penerapan metode hajr salam ini menimbang mashlahat dan madharat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.[4]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika seseorang menampakkan kemungkaran-kemungkaran, ia wajib diingkari dengan terang-terangan, dan tidak berdosa ghibah terhadapnya. Dan dia wajib dihukum secara terang-terangan dengan perkara yang menghentikannya dari hal itu, dengan hajr (pemboikotan) atau selainnya. Maka kepadanya tidak diucapkan salam dan salam darinya tidak dijawab, jika pelaku hajr itu mampu melakukannya dengan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar”.[5] Sehingga bukan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan hikmah, mereka menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah –padahal tidak ada bid’ah padanya- kemudian menghajrnya dengan salam atau lainnya.

Wallahul-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

Source: https://almanhaj.or.id/4605-ucapan-salam.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Bolehkah Memutus Hubungan Dengan Penyebar Berita Bohong?

Bolehkah Memutus Hubungan Dengan Penyebar Berita Bohong?
Ada sebagian orang yang sengaja menyebarkan berita bohong tentang saya. Mereka menyifati pribadi saya dengan berbagai sifat buruk, sementara saya tidak seperti yang mereka ceritakan. Supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, saya memutus hubungan pertemanan dengan orang itu. Setelah itu, hati saya terasa tenang. Pertanyaannya, apakah benar tindakan saya yang memutus hubungan pertemanan dengan mereka itu? Apakah dengan tetap bersabar berteman dengan mereka, saya bisa mendapatkan kebaikan-kebaikan? Mohon nasehat! Jazakumullah khairan.

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah menjawab[1]:

Saudara wajib memperbaiki hubungan saudara dengan Allâh Azza wa Jalla . Juga saudara wajib memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah saudara lakukan. Jika ini sudah saudara lakukan, maka cerita-cerita bohong yang mereka sebarkan tidak akan bisa membahayakan saudara. Justru akan membahayakan diri mereka sendiri. Mereka yang berdosa, sementara saudara tidak berdosa.

Yang seharusnya saudara lakukan adalah tidak berteman dengan mereka selama mereka masih melakukan itu, masih menebar berita-berita bohong tentang saudara, masih menyakiti saudara. Janganlah saudara berteman dengan mereka! Karena berteman dengan mereka dalam kondisi seperti sekarang ini bisa jadi hanya akan mendatangkan kerusakan dan keburukan. Bukan hal yang mustahil, akan terjadi tindakan saling menzhalimi antara saudara dengan mereka atau mu’amalah yang kurang baik atau hal-hal buruk lainnya. Maka jauhilah mereka! Kecuali jika saudara memandang bahwa dengan berteman atau bergaul mereka ada harapan untuk menghilangkan pikiran buruk mereka terkait saudara – sambil saudara sendiri terus memperbaiki prilaku dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang pernah saudara lakukan – , maka ini baik.

Adapun, jika bergaul dengan mereka hanya akan menambah keburukan atau menimbulkan tuduhan atau kecurigaan baru terhadap saudara, maka jauhilah mereka dan perbaikilah hubungan saudara dengan Allâh Azza wa Jalla , maka tidak akan seorang pun yang bisa menimpakan mudharat kepada saudara.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

Source : https://almanhaj.or.id/8940-memutus-hubugan-dengan-penyebar-berita-bohong.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Orang Termulia

Orang Termulia
Orang termulia bukanlah orang yang dilayani oleh banyak orang, tetapi orang yang paling mulia adalah orang yang paling banyak melayani orang lain.

Karenanya :
  • semakin engkau melayani orang lain karena Allah maka engkau semakin mulia di sisi Allah

خيركم أنفعكم للناس
Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (al-hadits)

  • semakin engkau merendahkan dirimu karena Allah untuk melayani orang lain maka engkau semakin mulia di sisiNya

من تواضع لله رفعه الله

Barang siapa yang merendahkan dirinya karena Allah maka Allah akan mengangkat derajatnya”(al-hadits)

Ustadz DR. Firanda Andirja MA,  حفظه الله تعالى
🌐 Sumber https://bbg-alilmu.com/archives/28941

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Benarkah Bulan Suro, Bulan Sial Untuk Menikah?

Benarkah Bulan Suro, Bulan Sial Untuk Menikah?
Mohon pencerahannya Ust, ttg bulan suro yg katanya klo menikah di bulan ini bs pamali. Bgmn pandangan Islam ttg mitos ini?

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Dalam kalender Hijriyah, suro disebut sebagai bulan Muharram.

Berkaitan keyakinan yang seperti itu, tentu saja tidak benar. Karena alasan berikut:

[1] Muharram adalah salahsatu dari empat bulan suci dalam Islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan keempat bulan ini,

إنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar; antara Jumadi tsaniah dan Sya'ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengingat Muharram adalah bulan suci di sisi Allah. Bahkan merupakan bulan terbaik diantara empat bulan suci itu. Ini menunjukkan, Muharram atau suro adalah bulan yang berkah, BUKAN bulan sial.

[2] Muharram adalah bulannya Allah.

Satu-satunya bulan yang Allah nisbatkan kepada diriNya yang maha mulia, adalah bulan Muharram.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram”. (HR. Muslim 1163)

Bagaimana mungkin bulan yang disebut Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sebagai bulannya Allah, menjadi waktu yang sial?! Tentu ini adalah waktu penuh keberkahan.

[3] Tidak boleh mencela waktu.

Menganggap suro atau Muharram sebagai bulan sial, ini adalah bentuk tindakan mencela waktu. Padahal mencela waktu dilarang dalam Islam. Apalagi jika yang dicela adalah bulan yang istimewa, disebut sebagai bulannya Allah.

Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

Janganlah kalian mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr”. (HR Muslim, dari Abu Hurairah)

Dilarang mencela waktu, karena seorang yang mencela waktu, dia telah mencela Tuhan yang mengatur waktu, yaitu Allah ‘azza wa jalla.

Oleh karenanya dalam hadis yang lain diterangkan. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِيَ الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”. (HR. Bukhori & Muslim, dari Abu Hurairah)

Ibnu Katsir menukil pernyataan Imam Syafi’i dan Abu Ubaidah –rahimahumullah-, menjelaskan maksud hadis ini,

كانت العرب في جاهليتها إذا أصابهم شدة أو بلاء أو نكبة قالوا : ” يا خيبة الدهر ” فيسندون تلك الأفعال إلى الدهر ويسبونه وإنما فاعلها هو الله تعالى فكأنهم إنما سبوا الله عز وجل لأنه فاعل ذلك في الحقيقة فلهذا نهى عن سب الدهر بهذا الاعتبار لأن الله تعالى هو الدهر الذي يصونه ويسندون إليه تلك الأفعال .
وهذا أحسن ما قيل في تفسيره ، وهو المراد . والله أعلم

Dahulu orang Arab saat masa Jahiliah jika tertimpa musibah mereka berucap,

“Dasar waktu sial..!”

Mereka menyandarkan sebab musibah itu kepada waktu, kemudian mencelanya. Padahal yang menciptakan segala kejadian adalah Allah. Maka seakan-akan mereka telah mencela Allah ‘azza wajalla. Karena pada hakikatnya Allah yang menimpakan kejadian itu. Inilah sisi alasan larangan mencela waktu. Karena Allah lah yang mengatur waktu dan sejatinya mereka telah menyandarkan kesialan musibah itu kepadaNya. Penjelasan ini adalah penjelasan paling baik untuk makna hadis di ini.

(Umdah at Tafsir Ibnu Katsir, 3/295-296)

Paparan ini juga menunjukkan bahwa, mitos menganggap waktu sial adalah budaya jahiliah. Inilah alasan ke empat.

[4] Menganggap waktu sebagai sumber sial adalah budaya kaum Jahiliyah.

Orang Jahiliyah dahulu juga punya mitos yang sama, yang berbeda hanya bulannya. Mereka meyakini menikah di bulan Syawal, dapat mengundang kesialan. Mitos ini kemudian ditepis oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dengan menikahi Aisyah di bulan Syawal.

تزوجني رسول الله صلى الله عليه و سلم في شوال وبنى بي في شوال فأي نساء رسول الله صلى الله عليه و سلم كان أحظى عنده منى ؟ قال وكانت عائشة تستحب أن تدخل نساءها في شوال

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?

Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (HR. Muslim, An-Nasa’i, dan yang lain)

Sehingga menganggap Suro sebagai bulan sial, adalah perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan kaum Jahiliah.

Ada sebuah keteladanan Nabi dari kisah yang diceritakan Ibunda Aisyah di atas. Bahwa dianjurkan untuk bersikap menyelisihi mitos anggapan sial. Agar keyakinan khurofat seperti ini, hilang dari masyarakat.

[5] Termasuk perbuatan Thiyaroh.

Dalam kajian masalah aqidah, berkeyakinan sial karena melihat peristiwa tertentu atau terhadap hari tertentu disebut thiyarah atau tathayur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut perbuatan ini sebagai kesyirikan, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari sahabat Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا

Thiyarah itu syirik…, Thiyarah itu syirik…, (diulang 3 kali)” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan yang lainnya. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Sanadnya shahih).

Wallahua’lam bis showab.

👤Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Duduk Bersama Orang Yang Meninggalkan Sholat

Duduk Bersama Orang Yang Meninggalkan Sholat
Apakah boleh kita duduk-duduk dan bergabung dengan orang-orang yang terus-terusan meninggalkan shalat?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah[1] menjawab:

Kalian tidak boleh duduk-duduk bersama mereka dan tidak boleh bergabung bersama mereka ketika makan-makan atau minum-minum kecuali jika kalian bisa menasehati mereka serta bisa mengingkari perbuatan buruk mereka serta kalian masih ada harapan agar Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada mereka lewat perantara usaha kalian. Jika kalian bisa melakukan ini ketika bersama mereka, maka kalian boleh duduk-duduk atau bergabung bersama mereka atau bahkan bisa menjadi wajib bagi kalian untuk melakukannya terhadap mereka itu. Karena ini termasuk usaha mengingkari kemungkaran dan berdakwah kepada Allâh. Semoga Allâh memberikan hidayah kepadanya dengan  perantara usaha kalian.

Namun, jika kalian bergabung dengan mereka dan duduk-duduk bersama mereka, makan dan minum bersama mereka, tanpa ada usaha mengingkari perbuatan buruknya, sementara dia tetap meninggalkan shalat atau melakukan salah satu dosa besar, maka kalian tidak boleh bergaul dengan mereka.

Sungguh, Allâh Azza wa Jalla telah melaknat Bani Israil karena melakukan perbuatan seperti di atass. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ﴿٧٨﴾كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. [Al-Mâidah/5:78-79]

Dalam tafsir tentang ayat tersebut di atas dijelaskan:

Sesungguhnya dahulu, jika salah seorang dari mereka melihat yang lain melakukan perbuatan maksiat, maka orang itu akan melarang orang lain tersebut dari perbuatan maksiatnya. Kemudian di hari yang lain, orang itu bertemu lagi dengan mereka yang sedang melakukan maksiat,  namun orang itu tidak lagi melarangnya malah bergabung dengan mereka. Sehingga akhirnya, dia menjadi teman makan dan minumnya serta menjadi teman duduknya. Ketika Allâh melihat hal ini dari mereka,  Allâh menjadikan hati mereka berselisih satu dengan lainnya. Dan Allâh Azza wa Jalla melaknat mereka melalui lisan para Nabi-Nya. Nabi kita n pun telah memperingatkan kita akan hal ini agar kita tidak terkena siksa sebagaimana hukuman atau siksa yang telah menimpa mereka. Wallahua’lam

-------------------------

Seperti mereka atau para pelaku sebagian maksiat lainnya, apakah sebaiknya kita bergaul dengan mereka sambil terus menasehati mereka dengan harapan bisa memperbaiki keadaan mereka ataukah menjauhi dan meninggalkan mereka ?

Jawaban.

Yang lebih utama adalah menasehati mereka. Kecuali, jika dengan menghajr (meninggalkan)nya ada maslahat (kebaikan) yang terwujud, misalnya dia bisa tertahan dari perbuatan buruk, dia merasa tercela dan merasa malu, maka ini boleh kalian hajr. Namun, jika hajr (pengucilan) tidak mendatangkan manfaat sedikitpun, maka kalian bisa memilih salah satu dari dua yaitu bergaul dengan mereka sambil terus berusaha menasehati, menyuruhnya atau mendorongnya melakukan yang baik serta melarangnya dari yang mungkar; Akan tetapi, jika tidak terlihat faedah atau manfaat sama sekalinya, maka kalian sebaiknya meninggalkannya dan menghajrnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

Sumber : https://almanhaj.or.id/11520-duduk-bersama-orang-yang-meninggalkan-shalat.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

Share:

Popular Posts

Blog Archive