Media pembelajaran seputar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Wednesday, August 31, 2022

Yakin Anda Seorang Mukmin?

Bismillah...

Orang yang beriman tentu 100% percaya bahwa Allah Dzat yang mengatur alam ini lebih mengetahui kemaslahatan hamba-Nya sehingga dirinya berbaik sangka kepada Allah ketika Dia memilihkan untuknya suatu keadaan dan mengilhaminya untuk bersyukur.

Apabila dia ingin beranjak kepada keadaan lain maka dia meminta kepada Allah seraya menyadari ketidaktahuannya mana yang jauh lebih bermaslahat bagi dirinya lalu menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik.

Tidak sebagaimana keadaan orang-orang yang jauh dari keimanan, hari-harinya diliputi dengan keluhan, ratapan, dadanya sempit, sehingga sholat dan ibadahnya pun terasa hambar.

Padahal begitu banyak kenikmatan yang sampai kepadanya namun dirinya tak pandai bersyukur karena selalu merasa kurang lantaran suka membanding-bandingkan dengan keadaan orang lain.

Dari sini kita mengetahui mengapa Rosulullah ﷺ begitu takjub dengan kehidupan seorang mukmin. Dari Shuhaib bin Sinan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda,

عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله له خير وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له

"Sungguh menakjubkan kehidupan seorang mukmin, semua urusannya baik dan kondisi itu tidak akan dijumpai kecuali hanya ada pada diri orang yang beriman. Apabila diliputi kenikmatan dia bersyukur dan syukurnya itu menjadi sebab kebaikan bagi dirinya, dan apabila ditimpa kesulitan dia bersabar dan sabarnya itu menjadi sebab kebaikan bagi dirinya." (HR. Muslim 2999)

Semoga ilmu yang kita pelajari dapat menambah keimanan dan menganugerahkan kepada kita keistiqomahan.


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02u3818dgJAZsV3v27EQDjMqJzSzAU7VQzz7kkyPJc5QW8QkRzpb47wG7BYWrX4HMXl&id=100001764454087

https://t.me/manhajulhaq

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Mau Tau Tips Ulama Mengatasi Konflik Rumah Tangga?

Tips Ulama Mengatasi Konflik Rumah Tangga
Bismillah...

Nasehat Syaikh Muhammad bin Mukhtar Asy- Syinqithiy hafidzahullah 

Oleh karena itu, bersemangatlah melaksanakan shalat-shalat sunnah di rumah. Itulah diantara tujuan sunnah Nabi. Rumah yang banyak dilakukan shalat didalamnya, maka Allah akan menjadikan didalamnya kebaikan yang banyak. 

Hal ini banyak diperbincangakan para ulama dan orang-orang shalih. Sebagian orang mengeluhkan di rumahnya selalu ada masalah. 

Dia bercerita, “Kemudian aku mendatangi salah seorang ulama dan beliau bertanya kepadaku tentang shalat malam dan shalat rowatib.” 

Ulama bertanya, “Apakah engkau termasuk orang yang menyia-nyiakan shalat sunnah rowatib?“ Jawab orang tadi, “Ya benar.” 

Rowatib maksudnya shalat sunnah yang dikerjakan sesudah atau sebelum shalat fardhu. 

Ulama tersebut bertanya lagi, “Apakah engkau juga tidak shalat witir?

Jawabnya, “Benar aku juga tidak shalat witir.” Ulama tersebut berkata, “Kalau begitu rutinkan shalat sunnah rowatib dan tunaikan seperti Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menunaikan shalat tersebut di rumahmu. Begitupula rutinkan shalat witir jangan pernah engkau tinggalkan. Al-Witir itu adalah kebenaran. Barangsiapa yang tidak shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR. Ahmad dan Abu Daawud. Dinilai shahih oleh Al-Hakim) 

Wahai Ahlul Qur’an, shalat witirlah kalian karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla itu witir (Maha Esa) dan mencintai orang-orang yang melakukan shalat Witir.” 

Sungguh Allah telah melengkapi kalian dengan suatu shalat yang lebih baik dari unta merah.” Para sahabat bertanya, “Shalat apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Shalat Witir yang dikerjakan antara waktu ‘Isya dan terbit fajar.

Kemudian subhanallah dalam waktu satu minggu, tiba-tiba di rumahnya keadaan berubah sempurna; akhlak istri berubah, anak-anak mudah diarahkan. Semua perkara telah berubah. 

Karena apa?

 ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺟﺎﻋﻞ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ خيرأ 

Maka Allah jadikan baginya di rumahnya banyak kebaikan dari shalat yang dia lakukan.” (HR. Muslim no.778) 

Khairan dalam hadis ini bentuknya nakiroh (umum) mencakup semua kebaikan. Jika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa didalamnya ada kebaikan pasti ada kebaikan. 

Sungguh apa yang beliau sabdakan adalah kebenaran. Dan tidaklah beliu berucap mengikuti hawa nafsu, sesungguhnya itu adalah wahyu yang diturunkan. Wallallahua’lam bishshowab. 

Sumber: Channel Duror Asy Syaikh Muhammad bin Mukhtar Asy Syinqithi. Copas


Artikel lengkap: https://www.fotodakwah.com/2022/08/tips-ulama-mengatasi-konflik-rumah.html?m=1

Via © @fotodakwah

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Mazhab Shuufiyyah

Mazhab Shuufiyyah
Bismillah...

Kebatilan, kebodohan, dan kesesatan terkumpul semua dalam madzhab shufi. Mereka menjadikan tarian, musik dan nyanyian sebagai ritual pendekatan diri kepada Allah. Betul-betul mereka jauh dari bimbingan alquran dan as sunnah serta para ulama salaf. Tidak sebagaimana majlis Rasulullah dan para sahabatnya yang penuh ketenangan, tidak bising dan ribut. 

Abu Bakr Ath-Thurthuusiy Al-Maalikiy (wafat 520H) rahimahullah berkata:

مذهب الصوفية بطالة وجهالة وضلالة، وما الإسلام إلا كتاب الله وسنة رسوله

MADZHAB SHUUFIYYAH hanyalah kebatilan, kebodohan, dan kesesatan. Islam itu hanyalah KITABULLAH (al quran) dan SUNNAH RASULNYA (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). (Tafsiir Al-Qurthubiy, 11/238].

Lengkapnya perkataan beliau : 

مذهب الصوفية بطالة وجهالة وضلالة، وما الإسلام إلا كتاب الله وسنة رسول، وأما الرقص والتواجد فأول من أحدثه أصحاب السامري، لما اتخذ لهم عجلا جسدا له خوار قاموا يرقصون حواليه ويتواجدون؛ فهو دين الكفار وعباد العجل؛ ....... وإنما كان يجلس النبي صلى الله عليه وسلم مع أصحابه كأنما على رؤوسهم الطير من الوقار؛ فينبغي للسلطان ونوابه أن يمنعهم عن الحضور في المساجد وغيرها؛ ولا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يحضر معهم، ولا يعينهم على باطلهم؛ هذا مذهب مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وغيرهم من أئمة المسلمين وبالله التوفيق.

MADZHAB SHUUFIYYAH hanyalah kebatilan, kebodohan, dan kesesatan. Islam itu hanyalah KITABULLAH (al quran) dan SUNNAH RASULNYA (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Adapun tarian dan sikap berkasih-kasihan, yang pertama kali mengadakannya adalah rekan-rekannya Saamiriy. Ketika ia berhasil membuat patung anak sapi yang bisa bersuara, maka mereka berdiri menari di sekitarnya sambil berkasih-kasihan. Perbuatan tersebut merupakan agama orang kafir dan penyembah anak sapi.

Adapun majelis Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabatnya, (keadaannya) adalah seakan-akan di kepala-kepala mereka terdapat burung karena ketenangannya. Sudah seharusnya sulthan (raja) dan para wakilnya melarang mereka (shufi) menghadiri masjid-masjid dan yang lainnya. Tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir hadir pada kegiatan mereka. Tidak diperbolehkan menolong kebathilan mereka. Inilah madzhab Maalik, Abu Haniifah, Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, dan yang lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin. Wabillaahit-taufiiq” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 11/238].

Jika seseorang memiliki kekuasaan dan kekuatan, lantas menjumpai orang-orang shufi menari, menyanyi dan menabuh rebana di masjid, menurut Imam As Suyuti rahimahullah hendaklah mengusirnya dari masjid.

Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah :

ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.

فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.

“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya DIUSIR dan DIPUKUL, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam).


https://www.facebook.com/903924823277358/posts/pfbid02SkLrubkqVv3KVnXGn9wZzz6zsRpoku9B2VQiCAmudnkTPRr3AMUxEX9GdYgP82e6l/

AFM

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaa

Share:

Bercanda Itu Sunnah

Bercanda Itu Sunnah
Bismillah...

🌴🌴🌴

Sufyan bin Uyainah rohimahullah ditanya, “Apakah bercanda itu aib..?” 

Beliau berkata:

بل سنَّة ، ولكن الشأن فيمن يحسنه ويضعه مواضعه

Justru sunnah.. tetapi itu untuk orang berbuat ihsan (dalam bercanda) dan meletakkannya pada tempat tempatnya..” (Syarhussunnah Imam Al Baghowi 13/184)

🌴🌴🌴

Imam Ibnu Hibban rohimahullah berkata dalam kitab Roudhotul Uqola (1/77)

الواجب على العاقل أن يستميل قلوب الناس إليه بالمزاح وترك التعبس , والمزاح على ضربين : فمزاح محمود , ومزاح مذموم , فأما المزاح المحمود فهو : الذي لا يشوبه مَا كره اللَّه عز وجل ، ولا يكون بإثم ولا قطيعة رحم . وأما المزاح المذموم : فالذي يثير العداوة ، ويذهب البهاء ويقطع الصداقة ويجرىء الدنيء عليه ويحقد الشريف به “

Kewajiban orang yang berakal adalah mengambil hati manusia dengan bercanda dan tidak bermuka masam.. dan bercanda itu ada dua macam: Bercanda yang terpuji dan bercanda yang tercela..

🌴🌴🌴

Adapun yang terpuji adalah yang tidak dikotori oleh perbuatan yang dibenci oleh Allah, bukan dosa dan bukan memutuskan hubungan..

Adapun yang tercela adalah yang menimbulkan permusuhan, menghilangkan kewibawaan, memutuskan pertemanan, membuat orang bodoh menjadi tak sopan kepadanya dan membuat orang mulia dengki kepadanya..

🌴🌴🌴

Para shahabat berkata, “Wahai Rosulullah, engkau bercanda dengan kami..?” 

Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali dengan benar..

(HR Attirmidzi no 1990 dari hadits Abu Hurairah)


🌐 https://bbg-alilmu.com/archives/58946

Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Setiap Jasad Tidak Lepas Dari Hasad

Setiap Jasad Tidak Lepas Dari Hasad
Bismillah...

-Kita yang hasad atau mereka yang riya'? agak tipis terlihat bukan? 

Ketika seseorang "terlihat menampakkan nikmat"

-Semoga bukan keduanya, karena kita berpotensi riya' dan setiap hasad ada pada jasad, orang baik akan melawan dan tidak menampakkanya sdgkan orang buruk menampakkannya

Ibnu Taimiyyah  berkata,

 ما خلا جسد من حسد لكن اللئيم يبديه والكريم يخفيه

 “Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad. Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.”

-Hasad  sebenarnya adalah siksaan bagi mereka yang mengidapnya

"Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah"

Kasihan dan tersiksanya orang yang hasad

-Tetapi kerasnya hati membuat siksaan itu terasa nikmat, padahal menyebabkan ia hancur dari dalam

-Hasad umumnya terjadi pada suatu hal yang memiliki kesamaan tujuan dan orientasi

misalnya tukang batu akan hasad sesama tukang batu dan direktur akan hasad dengan sesama direktur. 

Sangat kecil kemungkinan tukang batu hasad dengan direktur. Dan sesama penuntut ilmu agama juga memiliki tujuan dan orientasi yang sama.

Semoga kita bisa terhindari dari penyakit hasad yang berbahaya ini.


Artikel lengkap : https://muslimafiyah.com/setiap-jasad-tidak-lepas-dari-hasad.html

Penyusun: Ustadz dr Raehanul Bahraen

------------------------------

🟩 Follow Instagram https://instagram.com/kajianislamadina?utm_medium=copy_link

🟩 Gabung dalam WAGroup Kajian ISLAMADINA ▶️ Click  https://chat.whatsapp.com/KLFWwxvcrOCLfNmcIiIovY

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah (12/13)

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-11...

Syubhat-Syubhat Ahli Bidah

Syubhat ketiga: Allah tidak memiliki sifat marah, karena jika Allah marah tentu akan seperti manusia, hal ini karena marah adalah bentuk bergejolaknya darah pada jantung, padahal Allah tidak memiliki darah dan jantung. Karenanya mau tidak mau kita harus mentakwil sifat “marah” Allah dengan “kehendak untuk membalas/mengadzab”.

Jawabannya : Berkaitan dengan sifat murka Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِنَّ رَبِّي غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ

Sesungguhnya Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya.” ([HR. Bukhari No. 3340 dan Muslim No. 194)]

Dalam hadis ini disebutkan Allah ﷻ memiliki murka yang baru yang belum pernah ada sebelumnya dan juga belum pernah ada setelahnya. Mereka menolak Allah ﷻ memiliki sifat murka terlebih lagi murka tersebut sesuatu yang baru. Hal ini dikarenakan mereka meyakini Allah ﷻ statis. Akhirnya mereka mentakwil sifat murka Allah ﷻ dengan kehendak untuk menghukum.

Mengapa mereka menolak sifat murka Allah ﷻ? Karena menurut mereka murka adalah gejolak darah yang ada di jantung. Kita katakan bahwa itu adalah murkanya manusia adapun Allah ﷻ maka berbeda. 

Contohnya malaikat yang tidak memiliki darah dan tercipta dari cahaya, apakah ketika malaikat marah menunjukkan ada darah yang bergejolak di tubuh malaikat? Tentu tidak. Malaikat yang ketika marah tidak mengharuskan ada darah yang bergejolak maka terlebih lagi Allah ﷻ. Mengapa harus melazimkan jika Allah ﷻ murka harus ada jantung yang bergejolak?

Bukankah gejolak jantung efek dari marah? Adapun kemarahan sendiri bukan harus ada jantung yang darhnya bergejolak. Sehingga dari sini kita ketahui bahwa marah Allah ﷻ tidak sama dengan marah manusia.

Asya’irah mengartikan marah Allah ﷻ dengan kehendak memberikan hukuman. 

Kita katakan kepada mereka, “bukankah manusia juga memiliki kehendak?”. Jika mentakwilkannya dengan mengatakan Allah ﷻ memiliki kehendak sedangkan manusia juga memiliki kehendak, bukankah ini juga tasybih?. Jika mereka mengatakan bahwa kehendak Allah ﷻ tidak sama dengan kehendak makhluk maka begitu juga kita katakan bahwa marah Allah ﷻ tidak sama dengan marah makhluk.

Mereka juga mentakwil sifat rahmat karena menurut mereka rahmat adalah rasa perhatian, sayang, dan butuh kepada yang lain. Menurut mereka Allah ﷻ dinafikan dari semua ini. Rahmat menurut mereka artinya kehendak untuk memberikan kebaikan atau pahala. 

Kita katakan, bukankah manusia juga memiliki sifat kehendak? Tentu mereka akan menjawab iya. Lalu kita katakan kembali kepada mereka, “jika begitu berarti kalian telah menyerupai Allah ﷻ dengan makhluk-Nya.” Mereka akan menjawab, “kami tidak menyerupai Allah ﷻ dengan manusia karena kehendak Allah ﷻ tidak sama dengan kehendak manusia.” Kita katakan, “maka begitu juga kasih sayang Allah ﷻ tidak sama dengan kasih sayang manusia karena kasih sayang Allah ﷻ maha sempurna berbeda dengan kasih sayang manusia.”

Intinya ahli bidah telah terjebak dengan pemikiran-pemikiran filsafat yang mereka sebut dengan qath’iyat. Qath’iyat adalah suatu logika yang tidak perlu diragukan atau disebut juga dengan perkara absolut. Sehingga seluruh ayat-ayat dan hadis-hadis yang bertentangan dengan sesuatu yang mereka anggap dengan absolut perlu ditakwil. 

Ar-Razi memiliki qanun yang dinamakan dengan qanun kulli (undang-undang komprehensif) “taqdiim al-‘aql ‘ala an-naql”. Dia mengatakan jika akal bertentangan dengan dalil maka akal lebih didahulukan dari pada dalil. Semua ini disebabkan dia menganggap apa yang telah ditetapkan oleh ahli filsafat adalah sebuah qath’iyat yang tidak bisa diselisihi.


Bersambung ke Bagian-13...


Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukun Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https://bekalislam.firanda.com/syarah-rukun-iman

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Wanita Bercadar, Meninggal Setelah Berzina

Wanita Bercadar, Meninggal Setelah Berzina
Bismillah...

Sebuah kisah yang patut menjadi renungan bagi kita. Kisah tentang seorang ibu yang akhir kehidupannya berada dalam perbuatan maksiat kepada Allah ta'ala.

Cerita ini diceritakan oleh Al-Ustadz Luthfy Abdul Jabbar حفظه الله.

Dikisahkan oleh beliau bahwa ada seorang ibu yang sudah mengenal sunnah. Sudah bercadar, sering ikut kajian layaknya ummahat pada umumnya yang sudah kita ketahui. Suaminya pun sudah mengenal sunnah, serta anak-anaknya yang belajar di pondok-pondok sunnah.

Kisah ini bermula ketika seorang ibu ini bergabung di group WA SMP nya dengan alasan untuk menyambung tali ukhuwah. Qoddarullaah, seorang ibu ini bertemu dengan mantan pacarnya di group tersebut.

Wal hasil, sang ibu dan mantan pacarnya menjalin hubungan terlarang secara diam-diam. Kemudian sampailah di satu hari, di mana suami sang ibu ini mendapati hubungan tersebut dan memutuskan untuk menghancurkan hp sang ibu.

"Walaupun hp sudah hancur, tapi nomor si pacar masih ada di hati. Bagaimana?"

Akhirnya sang ibu masih menjalin hubungan terlarang atau pacaran dengan sang mantan. Sampailah pada satu waktu di mana mereka pun akhirnya bertemu untuk kesekian kalinya dan terakhir kalinya.

Mereka bertemu di sebuah mobil di siang hari.

Wal akhir, mereka berzina di dalam mobil itu di siang hari. Setelah berzina, sang ibu pun tersadarkan dan berkata ke sang mantan bahwa kita tidak boleh meneruskan hubungan ini karena ini perbuatan yang mendatangkan dosa.

Sang mantan pun tidak terima untuk dinasihati, akhirnya sang mantan pun marah dan mengikat leher sang ibu dengan tali kemudian sang ibu mati tercekik.

Pada akhirnya, mayat sang ibu dilemparkan ke depan masjid oleh sang mantan. Setelah diperiksa oleh polisi, ternyata ADA AIR MANI YANG MASIH TERSISA DI KEMALUAN SANG IBU.

Wal iyyadzubillaah.

Seketika masjid AMWA terasa begitu hening ketika al ustadz mengisahkan cerita ini.

Bayangkan yaa akhawat. Sang ibu ini sudah Allah anugerahi sunnah, tetapi Allah lebih tahu isi hatinya.

Di antara sebab suul khotimah adalah beramal shalih hanya ketika dilihat manusia.

✍🏼 PELAJARAN BAGI KITA

Hendaknya setiap kita memperhatikan setiap amalan kita. Apakah amalan kita benar - benar telah ikhlas karena Allah ta'ala atau hanya sekedar karena nampak di hadapan manusia. Karena diantara sebab suul khotiman adalah seseorang beramal sholih hanya ketika nampak di hadapan manusia.

Hendaknya kita hindarkan diri dari bermudah - mudahan dalam sebuah pintu kemaksiatan atau maksiat yang nampak kecil. Karena dari sini semua akan bermula. Jangan pernah ada dari kita yang merasa aman dari makar syaitan. Sedikit saja kita lengah, maka syaitan akan mempermainkan kita disana.

Hendaknya bagi kita juga menghindari dari berikhtilat, bercampur baur antara laki - laki dan perempuan asing yang bukan mahrom. Karena ini adalah salah satu bentuk kemaksiatan kepada Allah ta'ala yang dapat menghantarkan seseorang kepada kemaksiatan yang lebih besar lagi.

Bagi seorang istri juga hendaknya ia jadikan ketaatan kepada suami menjadi pola kehidupan sehari - harinya. Jadikan ketaatan dalam hal yang baik, ada di depan atau di belakang suami - suami anda. Jangan hanya sekedar nampak taat, namun di belakang bermaksiat.

Jika seandainya manusia tidak melihat maksiat dan dosa anda di belakang manusia, maka yakinlah Allah subhanahu wa ta'ala pasti melihat, mencatat perbuatan anda, dan kelak anda akan di mintai pertanggung jawaban atasnya.

Yang terakhir yang ingin kami sampaikan dalam tulisan yang singkat kita, hendaknya kita memperbesar lagi muraqabatullah, yaitu selalu merasa di awasi oleh Allah ta'ala. Sehingga dalam keadaan ramai maupun sepi, kita akan selalu waspada dan takut berbuat maksiat karena selalu merasa dalam pantauan dan pengawasan Allah tabaraka wa ta'ala.

Di akhir kata, kami bermohon kepada Allah ta'ala agar menjaga kita, keluarga kita, anak - anak kita dari berbagai macam perbuatan maksiat dan dosa seperti ini. Semoga Allah ta'ala selalu berikan rasa takut berbuat maksiat pada diri kita, keluarga dan anak - anak kita. Dan semoga Allah ta'ala berikan akhir kehidupan yang baik bagi kita semua. Amiin. 

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah (11/13)

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-10...

Syubhat-Syubhat Ahli Bidah

Syubhat kedua: ketika kita menetapkan sifat wajah -misalnya- untuk Allah ﷻ maka kita telah menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk.

Jawabannya:

Pertama: Lafaz yang sama tidak mengharuskan hakikat yang sama.

Kita katakan kepada mereka, *“Allah ﷻ memiliki zat*, sama seperti kita. Apakah zat Allah ﷻ sama dengan zat kita? Tentu jawabannya berbeda. Jika zat Allah ﷻ berbeda dengan zat kita maka begitu juga wajah Allah ﷻ berbeda dengan wajah kita.

Kedua: jika mereka mengartikan wajah dengan zat. Maksudnya berupa majas yang menyebutkan sesuatu sebagai perwakilan dari seluruhnya

Seperti seseorang mengatakan, “saya belum melihat batang hidungnya’, maksudnya belum melihat seluruh jasadnya. Kita katakan kepada mereka bahwasanya jika kalian menganggap batang hidung mewakili zat tubuh seluruhnya maka kita sepakat dengan mereka. Namun majas ini tidak mungkin terjadi kecuali kepada zat yang benar-benar memiliki wajah. Tidak boleh bagi kita menjadikan wajah sebagai perwakilan dari zat kecuali zat tersebut benar-benar memiliki wajah. Jika zat tersebut tidak memiliki wajah maka tidak bisa kita menjadikan wajah sebagai perwakilan dari zat. 

Contohnya kita mengatakan, “saya belum melihat batang hidung meja.” Maka ini tidak cocok karena meja tidak memiliki batang hidung. Ketika seseorang mengatakan wajah Allah ﷻ sebagai perwakilan dari zat Allah ﷻ maka ini menunjukkan Allah ﷻ memiliki wajah.

Contoh lainnya yang menunjukkan sebagian anggota tubuh sebagai majas adalah ungkapan ‘ringan tangan’ yang artinya mudah membantu. Tidaklah kita mengatakan seseorang ringan tangan kecuali memang dia memiliki tangan. Seandainya ada zat yang tidak memiliki tangan maka tidak mungkin kita menggunakan istilah tersebut untuknya. 

Contohnya kita tidak mungkin mengatakan, “anjing itu ringan tangan.” Hal ini karena anjing tidak memiliki tangan walaupun anjing tersebut sering membantu majikannya.

Jika kita mengikuti takwil mereka yang mengatakan wajah adalah ibarat dari zat dan tangan adalah ibarat dari kedermawanan maka kita katakan ini semakin menunjukkan bahwa Allah ﷻ memiliki wajah dan tangan.


Bersambung ke Bagian-12...


Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukun Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https://bekalislam.firanda.com/syarah-rukun-iman

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Tuesday, August 30, 2022

Adakah Anjuran Memperlama Sujud Terakhir untuk Berdo’a?

Adakah Anjuran Memperlama Sujud Terakhir untuk Berdo’a?
Bismillah...

Segala puji bagi Allah, pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita ketahui bersama bahwa do’a ketika sujud adalah waktu terbaik untuk berdo’a.

Seperti disebutkan dalam hadits,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah)

Namun seringkali kita lihat di lapangan, sebagian orang malah seringnya memperlama sujud terakhir ketika shalat, tujuannya adalah agar memperbanyak do’a ketika itu. Apakah benar bahwa saat sujud terakhir mesti demikian? Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Al Baro’ bin ‘Azib mengatakan,

كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ

Ruku’, sujud, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninahnya).” (HR. Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya,

Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?

Beliau rahimahullah menjawab,

Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan  adalah seseorang melakukan shalat antara ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), sujud dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya.  Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ” Inilah yang afdhol. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud (sebelum salam). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan ‘Abdullah bin Mas’ud tasyahud, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B)

Dalam Fatawa Al Islamiyah (1/258), Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menyebutkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Yang disebutkan dalam berbagai hadits, rukun shalat atau keadaan lainnya itu hampir sama lamanya.

Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah juga menjelaskan, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menganjurkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Akan tetapi, memang sebagian imam melakukan seperti ini sebagai isyarat pada makmum bahwa ketika itu adalah raka’at terakhir atau ketika itu adalah amalan terkahir dalam shalat. Karenanya, mereka pun memperpanjang sujud ketika itu. Dari sinilah, mereka maksudkan agar para jama’ah tahu bahwa setelah itu adalah duduk terakhir yaitu duduk tasyahud akhir. Namun alasan semacam ini tidaklah menjadi sebab dianjurkan memperpanjang sujud terakhir ketika itu.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Ahkam Qoth’ush Sholah, Fatawan no. 2046 dari website beliau)

Dari penjelasan singkat ini, nampaklah bahwa tidak ada anjuran untuk memperlama sujud terakhir ketika shalat agar bisa memperbanyak do’a ketika itu. Yang tepat, hendaklah gerakan rukun yang ada sama atau hampir sama lamanya dan thuma’ninahnya. Silakan membaca do’a ketika sujud terakhir, namun hendaknya lamanya hampir sama dengan sujud sebelumnya atau sama dengan rukun lainnya. Apalagi jika imam sudah selesai dari sujud terkahir dan sedang tasyahud, maka selaku makmum hendaklah mengikuti imam ketika itu. Karena imam tentu saja diangkat untuk diikuti. Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلا

َ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR. Bukhari no. 722, dari Abu Hurairah)


Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

📚 Referensi: Website Syaikh Sholih Al Munajid – Al Islam Sual wa Jawab (http://islamqa.com/ar/ref/111889/ )

------------------------------

🟩 Follow Instagram https://instagram.com/kajianislamadina?utm_medium=copy_link

🟩 Gabung dalam WAGroup Kajian ISLAMADINA ▶️ Click  https://chat.whatsapp.com/KLFWwxvcrOCLfNmcIiIovY

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Muharram Bulan Sial?

Muharram Bulan Sial?
Bismillah...

Seseorang menceritakan kepada saya, bahwa ada yang rencana menikah bulan MUHARRAM, tetapi orang tua kedua belah pihak tidak setuju, maunya bulan SHAFAR, karena menurut adat di daerah tersebut, bulan MUHARRAM bulan yang tidak baik, bulan sial.

Lain lagi dengan keyakinan sebagian orang di kampung saya, justru bulan SHAFAR bulan yang sial, bulan yang tidak baik kalau diselenggarakan pesta atau hajatan pernikahan.

Di tempat saya tinggal sekarang, sebagian orang, awal memasukkan anaknya ke SD dan TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an), menunggu waktu yang baik. 

Seharusnya mulai masuk sekolah atau TPA itu hari senin, tapi karena menurut perhitungannya bukan hari yang baik, dia masukkan anaknya pada hari kamis.

Hitung-hitungan hari baik, hari jelek, untung sial ternyata hampir diseluruh urusan, itu terjadi hampir di seluruh wilayah di negeri kita. 

Rumah mau dibongkar, nunggu hari baik. Pindah rumah nunggu hari baik. Tanam padi dan panen nunggu hari baik. Haqikah dan sunatan nunggu hari baik dan lain sebagainya.

Keyakinan yang lain yang masih tersebar di sebagian masyarakat kita, kalau ada burung hantu, diyakini ada kematian. Kalau ada kupu-kupu, ada tamu. Kalau siram kucing, akan turun hujan. Nabrak kucing, tanda ada kesialan. Gadis duduk dipintu, susah jodoh dan lain sebagainya.

Keyakinan seperti itu sudah turun temurun, dari generasi ke generasi, bahkan orang-orang jahiliyah di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam mempunyai keyakinan seperti itu. 

Orang jahiliyah apabila mereka mau berpergian berniaga, mereka menerbangkan dulu seekor burung. Kalau burung terbang ke arah kiri, menunjukkan atau pertanda kesialan, mereka pun membatalkan keberangkatannya. Namun apabila burung tersebut terbang ke arah kanan, mereka pun jadi berangkat, karena pertanda keberuntungan. 

Kalau mereka melihat burung hantu,  pertanda kematian, kalau lihat bintang ini, akan terjadi hujan dan lain sebagainya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

 لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر، 

Tidak ada adwa (penularan penyakit. kecuali atas kehendak Allah) , tidak ada thiyarah (merasa bernasib sial atau nasib buruk) , tidak ada hamah (merasa bernasib sial apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah) dan tidak ada shafar (orang-orang beranggapan bahwa bulan tersebut adalah bulan sial)“. (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan  ولا نوء ( tidak ada bintang yang menyebabkan terjadinya ini itu).

Hal tersebut mereka yakini seyakin yakinnya. Kalau melanggar, mereka takutnya setengah mati, takut bala dan bencana menimpanya, apalagi kalau sudah ada yang terbukti, bertambahlah ketakutannya.  Padahal keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang jatuh pada kesyirikan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Bukhari di  Al-Adabul Mufrad dan Abu Daud).

Seseorang mengurungkan pernikahannya, mengurungkan kepergiannya, dan apa saja karena anggapan ada tanggal sial, hari sial, bulan sial dan sesuatu apa saja yang menjadikannya mengurungkan niatnya,  maka ini pun jatuh pada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” 

Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (penyebab sial atau untung) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” ( HR. Ahmad. Berkata Syaikh Ahmad Syakir  : Hadits Shahih).

Kalau di zaman Fir'aun lain lagi, mereka menganggap ada orang yang membawa sial, yakni mereka menganggap Musa alaihi sallam dan pengikutnya adalah orang-orang yang membawa sial, pembawa musibah dan bencana. Musa dan pengikutnya harus diusir dan diasingkan. 

Begitu pula ada sebagian orang di zaman kita ini yang menganggap orang lain pembawa sial. Orang tersebut harus di usir dari kampung. Bahkan ada yang lebih parah lagi yakni seorang ayah atau seorang ibu yang mengatakan kepada anaknya: "Pergilah kau, anak pembawa sial !"

Allah Ta'ala berfirman:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُون

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).

Berkata As Sa'di rahimahullah, 

(Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran) yakni kesuburan dan kelimpahan rizki, (mereka berkata ini adalah karena (usaha) kami) yakni kami berhak atasnya. Mereka tidak bersyukur kepada Allah atas karunia tersebut (dan jika mereka ditimpa kesusahan) yakni kekeringan dan paceklik (mereka melemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya) yakni mereka berkata (kesialan ini menimpa kami karena kedatangan Musa dan bani israil mengikutinya). Allah menjawab (ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah) yakni dengan qadha dan qadarNya tidak seperti yang mereka katakan, justru penyebabnya adalah kekufuran dan dosa-dosa mereka, akan tetapi (kebanyakan mereka tidak mengetahui), oleh karena itu mereka berkata begitu. (Tafsir As Sa'di) 

Tawakkal dan menerima ketetapan Allah Ta'ala itu jalan keluar yang terbaik untuk menghindara prasangka bahwa sesuatu itu membawa sial atau membawa keberuntungan. Yang pasti kita sudah berusaha maksimal dan hasilnya kita berserah diri kepada Allah Ta'ala, kita terima apa yang Allah Ta'ala kehendaki, yakinlah ketetapan Allah itu yang terbaik.


AFM

https://www.facebook.com/903924823277358/posts/pfbid02FA99pL32KJNGd3UKCj1TAKfTSZHguBDUtuweWmosMdAVVFzWCdXxKjYgjr71Jemhl/

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (4/4)

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-3...

Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang

ILMU SYARI’AT DITINJAU DARI SISI MATERI INTI ATAU TIDAKNYA TERBAGI MENJADI DUA, YAITU ILMU INTI DAN ILMU PENUNJANG

Asy-Syathibi rahimahullah, di dalam kitabnya Al-Muwafaqat berkata,

من العلم ما هو من صلب العلم ، ومنه ما هو ملح العلم لا من صلبه، ومنه ما ليس من صلبه ولا ملحه

Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang int, dan ada juga yang penunjang, yang tidak termasuk inti ilmu. Di samping itu, juga ada yang tidak termasuk ilmu inti dan tidak pula ilmu penunjang.” [1]

Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,

من المعلوم أنّ العلم قسمان كما يقول طائفة من أهل العلم منهم الشاطبي في أول الموافقات: ((العلم قسمان عُقَدٌ وملَح))، والعقد تعقد القلب مع العلم والملح لابد منها للمسير في طلب العلم

Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa disiplin ilmu Syar’i terbagi menjadi dua, sebagaimana disebutkan oleh sekelompok Ulama diantaranya adalah Asy-Syathibi di awal kitab Al-Muwafaqat, bahwa ilmu Syar’i ada dua macam, ‘Uqod (inti) dan Mulah (penunjang). ‘Uqod (ilmu inti) sifatnya adalah ilmu yang mengikat hati dengan kuat, sedangkan Mulah (ilmu penunjang) sifatnya adalah ilmu yang harus ada untuk keistiqomahan perjalanan menuntut ilmu Syar’i.” [2]

Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu Syari’at ditinjau dari sisi, materi inti atau tidaknya, terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Ilmu Inti (Shulbul ‘Ilmi)

Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan ‘Uqodul ‘Ilmi (Simpul Ilmu) karena sifatnya sebagai simpul pengikat hati, sehingga ilmu itu benar-benar terikat kuat dan erat dalam hati.

Ada pula yang menyebut ilmu ini dengan sebutan Shulbul ‘Ilmi (Inti Ilmu) karena sifatnya sebagai inti utama ilmu Syari’at, dijadikan pegangan oleh seorang hamba dalam memahami dan mengamalkan agama Islam.

Ilmu Ini Terbagi Menjadi Dua, yaitu:

Ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu Pokok/Tujuan) atau Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan), yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir), As-Sunnah (ilmu Hadits), Tauhid dan Fiqh.

Ilmu Ash-Shinaiyyah (Ilmu Alat) atau Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana), seperti : Ushul Fikih,Ushul Tafsir,Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya (Penjelasan lebih lanjut baca Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (3))

Sifat Ilmu Inti

Ulama menjelaskan bahwa sifat ilmu Inti ini adalah sebagai ilmu yang pokok, menjadi pegangan, pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu dan puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya, sebagaimana perkataan Asy-Syathibi rahimahullah setelah menyampaikan ketiga macam ilmu di atas:

فهذه ثلاثة أقسام : القسم الأول : هو الأصل والمعتمد ، والذي عليه مدار الطلب ، وإليه تنتهي مقاصد الراسخين

Maka ilmu ini ada tiga macam, yang pertama (Ilmu Inti) adalah ilmu pokok dan menjadi pegangan, serta ilmu yang menjadi pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu, kepadanyalah puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya.”  [3]

Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,

العلم منه عُقَد يصار إليها ومنه ملح مساندة

Diantara disiplin Ilmu Syar’i ada yang jenis ilmu inti, sebagai puncak arah tujuan (dalam menuntut ilmu Syar’i) dan ada juga yang merupakan ilmu penunjang, sebagai penunjang/penguat ilmu Inti.”  [4]

2. Ilmu Penunjang (Mulahul ‘Ilmi)

Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan Mulahul ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang berkedudukan sebagai penunjang dan penguat ilmu Inti, sebagai pelengkap bagi ilmu Inti serta sebagai sarana untuk bisa istiqamah dalam menuntut ilmu Inti. Di antara ilmu penunjang ini adalah lmu tentang sya’ir, perumpaman-perumpamaan yang baik, kisah-kisah Ulama, biografi Ulama, kisah tentang perdebatan Ulama dan ilmu Sejarah Islam.

Sifat Ilmu Penunjang ini adalah:

Ilmu Penunjang ini menyempurnakan pemahaman seseorang terhadap ilmu Inti.

Ilmu Penunjang ini memang bermanfa’at, akan tetapi barangsiapa yang tidak mempelajarinya tidaklah mengapa, karena ketidaktahuannya tidak membahayakan ilmunya.

Jika seseorang ingin mempelajari ilmu Penunjang ini dengan sekedarnya, tidak harus mempelajarinya dari seorang Ulama yang ahli dalam ilmu tersebut, cukup ia membacanya sendiri dengan seksama, karena bukanlah ilmu tujuan, kecuali jika ingin menjadi pakar dalam ilmu-ilmu Penunjang ini, misalnya ingin menjadi penya’ir atau sejarawan.

Memperluas wawasan dengan mengetahui ilmu Penunjang ini, berfungsi juga sebagai penyemangat dan penggembira dalam mempelajari ilmu Inti yang berat, karena jika seorang penuntut ilmu Syar’i hanya mempelajari ilmu Inti saja, maka dikhawatirkan ia merasa berat, monoton dan bosan, lalu menjadi lemah semangat dan akhirnya berhenti dari menuntut ilmu Syar’i ini.

Membaca kitab-kitab tentang ilmu Penunjang ini, perlu dilakukan sebagai selingan, misalnya membaca kitab tentang biografi Ulama, bagaimana ketekunan dan kiat-kiat mereka dalam menuntut ilmu Syar’i, atau bagaimana kemiskinan mereka, namun berhasil menjadi Ulama. Hal ini memompa semangatnya untuk bisa istiqomah dalam menuntut ilmu Syar’i.

Seorang penuntut ilmu Syar’i bebas memilih membaca kitab-kitab dalam ilmu Penunjang ini, baik itu kitab-kitab jenis mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (menengah) maupun muthowwalat (panjang), asal mampu memahaminya, karena sifatnya sebatas penunjang dan untuk memperluas wawasan. Hal ini beda dengan belajar Ilmu Inti yang sifatnya Ta`shili (pendasaran yang kokoh) .

(Keterangan lebih lanjut baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3))

IMBANGI ILMU INTI DENGAN ILMU PENUNJANG

Maksud mengimbangi disini, bukan berarti harus memberikan perhatian yang sama persis antara belajar ilmu Inti dengan ilmu Penunjang! Tidaklah demikian, namun maksudnya, berikanlah kepada tiap-tiap ilmu sesuai dengan haknya masing-masing! Berikanlah kepada ilmu Inti sesuai dengan porsinya, demikian pula berikanlah kepada ilmu Penunjang sesuai dengan porsinya pula. Tentu hak ilmu Inti jauh lebih besar daripada ilmu Penunjang.

Mengimbangi ilmu Inti dengan ilmu Penunjang itu perkara yang penting, karena seorang penuntut ilmu Syar’i biasanya mengalami saat-saat semangat kuat, tengah-tengah, dan menurun.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat, ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya terarah kepada sunnahku berarti dia telah beruntung, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib).

Jadi, jika Anda dapatkan diri Anda sedang semangat-semangatnya belajar, maka hadirilah majelis Ilmu Inti dengan sungguh-sungguh, pahami pelajaran dengan baik, catatlah dan hafalkanlah! Perbanyak membaca kitab-kitab Ulama dan melakukan pembahasan ilmiah!

Namun, jika Anda dapatkan diri Anda lemah dan turun semangat atau jiwa Anda sedang membutuhkan selingan, maka janganlah Anda keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu atau amal! Silahkan Anda keluar sementara dari ilmu Inti menuju kepada ilmu Penunjang, niscaya akan bermanfaat bagi Anda!

Adapun seorang penuntut ilmu ketika merasakan turun semangat belajarnya, kemudian keluar dari ilmu kepada permainan atau jalan-jalan, obrolan, dan nongkrong seperti orang awam yang melalaikan, maka hal ini tidaklah selayaknya dilakukan.

ULAMA DAN ILMU PENUNJANG

Janganlah Anda merasa asing ketika seorang Ulama besar terkadang memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya, sesekali saja! Bukan berarti mereka punya waktu nganggur yang kosong dari kesibukan untuk berleha-leha, bermain-main pelesiran kesana kemari yang melalaikan mereka dari ilmu Syar’i. Tidaklah demikian!

Namun, mereka memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya dalam rangka menjaga kesimbangan dalam perjalanan ilmiyyahnya, agar tidak keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu! Dan agar tidak terputus perjalanan ilmiyyahnya di tengah jalan!

Berikut dua contoh nyata tersebut:

Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah, dahulu pernah suatu saat ketika beliau selesai menyampaikan pelajaran Hadits, berkata kepada murid-muridnya, “Sampaikan ilmu-ilmu “Mulah” kalian! Datangkan sya’ir-sya’ir kalian! Riwayatkan berita-berita kalian!”, akhirnya merekapun ada yang mengkisahkan kisah ini dan itu, meriwayatkan kabar ini dan itu, dan seterusnya, hingga mereka pun gembira dan semangat.

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah juga demikian, disamping beliau memiliki tulisan-tulisan dalam disiplin ilmu Inti, beliau juga memiliki tulisan-tulisan dalam masalah ilmu Penunjang.

Beliau banyak memiliki tulisan dalam ilmu Inti, seperti kitab At-Tamhiid, tentang syarah Hadits, kitab Al-Istidzkar, tentang syarah Hadits pula, kitab Al-Kaafii tentang fikih madzhab Malikiyyah. Namun beliau juga menulis kitab-kitab “Mulah ”, seperti Bahjatul Majalis, tentang sya’ir dan kabar.

PERINGATAN: JANGAN ANDA JADIKAN ILMU PENUNJANG SEBAGAI ILMU INTI!

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,

فمن رام المُلح وترك عقد العلم، فإنّه لن يدرك بل سيكون عنده أخبار كثيرة ومعلومات أو ثقافة لكن لا يستطيع أنْ يتكلم بوضوحٍ في مسألة عقدية، أو في مسألة فقهية

Maka barangsiapa mencari (dan memberi perhatian besar kepada) ilmu Penunjang dan meninggalkan ilmu Inti, maka ia tidakakan menguasai (ilmu Syari’at dengan baik), yang ada hanyalah ia memiliki kabar dan info-info atau wawasan (keislaman) semata, akan tetapi tidak mampu (secara ilmiyyah) berbicara dengan jelas (sistematis) dalam masalah Aqidah atau Fikih (Ilmu Inti).”  [5]

Wallahu a’lam.

===============================

Referensi:

Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 dan Al-Farqu bainal ‘Uqod wal Mulah, http://saleh.af.org.sa/node/45.

Catatan kaki :

1 . Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15

2 . http://saleh.af.org.sa/node/45

3 . Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15

4 . http://saleh.af.org.sa/node/28

5 . http://saleh.af.org.sa/node/28


Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Sumber : Muslim.Or.Id

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.

 

Share:

Sibuk Menjaga Harta

Sibuk Menjaga Harta
Bismillah...

Ada seseorang, memilki harta yang banyak. Dari mulai rumah, kendaraan, perhiasan, kebun, ladang, pabrik, surat berharga dan yang lainnya. 

Untuk menjaga hartanya, rumahnya dikelilingi tembok yang tinggi, diatas tembok diberikan kawat berduri, dijaga security, anjing dan diawasi cctv. Pintu rumahnya pun berbagai kunci dia siapkan. Uangnya, perhiasan, surat berharga dan lainnya disimpan di ruang khusus, di dalam brangkas dan diawasi cctv. 

Berbeda dengan orang yang tidak memilki harta yang banyak, rumah tidak berpagar, pintu pun hanya dari gedek bambu dan hanya ditopang bambu, sudah merasa aman. 

Itulah harta, harta yang dijaga. Dan jika pemiliknya mati, hartanya ditinggalkan. Sedangkan ilmu, ilmu yang menjaga dan ikut sampai ke kubur. 

Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah :

أن العلم ميراث الأنبياء والمال ميراث الملوك والأغنياء.

Sesungguhnya ilmu (agama) itu warisan para Nabi. Sedangkan harta itu warisan para raja dan orang-orang kaya

أن العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله.

Ilmu itu akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta, menjaga hartanya

أن العلم يزداد بالبذل والعطاء والمال تذهبه النفقات – عدا الصدقة.

Ilmu itu akan bertambah dengan kedermawanan dan pemberian (dengan diajarkan), sedangkan harta itu akan pergi (berkurang) dengan dinafkahkan, kecuali yang di shadaqahkan. 

أن العلم يرافق صاحبه حتى في قبره والمال يفارقه بعد موته إلا ما كان من صدقة جارية.

Ilmu itu akan menjadi teman bagi pemiliknya sampai ke dalam kubur, sedangkan harta itu akan meninggalkannya setelah kematiannya, kecuali apa-apa yang menjadi sedekah jariyah.

أن العلم يحكم على المال فالعلم حاكم والمال محكوم عليه.

Ilmu itu akan memerintah (mengatur) atas harta, maka ilmu itu pengatur, sedangkan harta diatur oleh ilmu. 

أن المال يحصل للبر والفاجر والمسلم والكافر أما العلم النافع فلا يحصل إلا للمؤمن.

Harta itu dapat diperoleh oleh orang yang baik, maupun orang yang fajir (pelaku maksiat), orang muslim, maupun orang kafir. Adapun ilmu yang bermanfaat, maka tidak dapat diperoleh kecuali oleh orang mukmin. 

أن العالم يحتاج إليه الملوك ومن دونهم وصاحب المال يحتاج إليه أهل العدم والفاقة والحاجة ... مفتاح دار السعادة❪ ٤١٣/١ ❫

Orang berilmu itu para raja dan selain mereka membutuhkannya. Sedangkan pemilik harta, ahlul 'adami (orang miskin), orang fakir dan orang yang punya hajat yang membutuhkannya.(Miftah Darus Sa’adah,1/413). 

Sumber : https://al-maktaba.org/book/31888/11265 

Berkata Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, 

الْعِلْمُ خَيْرٌ مِنْ الْمَالِ .الْعِلْمُ يَحْرُسُك ، وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَال .الْعِلْمُ حَاكِمٌ وَالْمَالُ مَحْكُومٌ عَلَيْهِ .مَاتَ خَزَّانُ الْأَمْوَالِ وَبَقِيَ خَزَّانُ الْعِلْمِ أَعْيَانُهُمْ مَفْقُودَةٌ ، وَأَشْخَاصُهُمْ فِي الْقُلُوبِ مَوْجُوْدَةٌ

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu itu yang menjagamu, sedangkan harta itu kamu yang menjaga. Ilmu itu pengatur, sedangkan harta diatur atasnya. Para penyimpan harta meninggal dunia, namun penyimpan ilmu tetap ada. Sekalipun badan mereka tiada, nama mereka tetap ada dalam hati.” (Adab ad-Dunya wad Din hlm. 48 oleh al-Mawardi). 

Sumber : https://al-maktaba.org/book/765/28


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02jcRqJhAPyUAixbMC4eLqPNz7ANfFAqobgsiNaoXX8rtVez1xa1kAb9GKNKiVLLCyl&id=100009878282155

AFM

https://abufadhelmajalengka.blogspot.com/2022/08/sibuk-menjaga-harta.html

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah (10/13)

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-9...

Syubhat-Syubhat Ahli Bidah

Syubhat pertama: Allah ﷻ harus statis dan tidak boleh dinamis, jika Allah ﷻ tidak statis dan mengalami sesuatu yang baru pada zat Allah ﷻ berarti Allah ﷻ makhluk.

Jawaban:

Pertama: Justru ketika mengatakan Allah ﷻ harus statis maka ini menghilangkan maha kekuasaan Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman,

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj: 16)

Ahlusunah meyakini sifat-sifat Allah ﷻ semuanya sudah ada sejak azali. Berbeda dengan manusia yang belum bisa melihat, mendengar, dan berbicara ketika dilahirkan. Manusia baru bisa melihat, mendengar, dan berbicara setelah beberapa waktu kemudian. Ini menunjukkan sifat berbicara manusia datang belakangan. Allah ﷻ sejak zaman azali sudah sempurna zat dan sifat-sifat-Nya. Adapun kapan Allah ﷻ ingin mendengar dan bicara maka ini bukanlah suatu kekurangan. Justru ini menunjukkan kesempurnaan Allah ﷻ. Sebagaimana manusia dikatakan pandai berbicara ketika ia bisa berbicara kapan pun dengan siapa pun. Begitu juga kita katakan Allah ﷻ Maha berbicara, sifat berbicara Allah ﷻ sudah ada sejak azali bersama dzat-Nya. Adapun permasalahan kapan Allah ﷻ berbicara, dengan siapa, dan dengan bahasa apa maka ini terserah Allah ﷻ.

Permasalahan ini tidak logis menurut mereka, mereka mengatakan jika Allah ﷻ berbicara berkonsekuensi ada huruf-huruf yang baru, bahasa baru, dan lainnya. Semua ini menurut mereka dinafikan dari Allah ﷻ. Lalu bagaimana pendapat mereka tentang Al-Qur’an? Menurut mereka Al-Qur’an bukan firman Allah ﷻ, sejak azali Allah ﷻ hanya memiliki kalam an-nafsi yaitu suatu kalam yang tidak akan pernah berubah dan selalu statis. Kalam an-nafsi ini selanjutnya dipahami oleh Jibril yang kemudian diterjemahkan dengan bahasa Jibril atau bahasa Nabi Muhammad ﷺ, sehingga menjadi Al-Qur’an. Menurut mereka Al-Qur’an bukanlah firman Allah ﷻ karena dia dinamis, contohnya ketika kita membaca sebuah ayat,

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS. An-Nahl: 57)

Maka terdapat banyak perubahan perbuatan (dalam pengucapan), yaitu pertama mengucapkan وَيَجْعَلُونَ baru kemudian لِلَّهِ, dan kata الْبَنَاتِ muncul belakangan setelah pengucapan لِلَّهِ. Semua perubahan ini ditolak oleh mereka, ini dikarenakan mereka terkena syubhat Aristoteles dan Plato yang mengatakan bahwasanya Allah ﷻ harus statis. Lalu menurut mereka Al-Qur’an perkataan siapa? Maka mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Nabi Muhammad ﷺ.

Ahlusunah sangat mudah dalam memahami masalah ini, Ahlusunah mengatakan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ. Ahli bidah sulit untuk menerima ini, mereka mengafirkan orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ. Bahkan penulis pernah mendapatkan fatwa dari sebagian mereka, seorang tokoh majelis ulama dari kota tertentu yang mengatakan dilarang belajar kepada Wahabi atau salat di belakang Wahabi. Fatwa ini muncul karena Wahabi mengatakan Allah ﷻ di atas dan Allah ﷻ berbicara dengan suara. Karena sebab Wahabi mengatakan Allah ﷻ berbicara dengan suara yang di dengar oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan berdialog dengan Nabi Muhammad ﷺ membuat mereka mengkafirkan Wahabi.

Kita katakan bahwa Allah ﷻ tidak statis, akan tetapi bukan berarti Allah ﷻ berasal dari sesuatu yang tidak ada kemudian menjadi ada. Allah ﷻ sudah ada sejak azali dengan sifat-sifat-Nya. Ketika Allah ﷻ memiliki sifat berbicara maka Allah ﷻ akan berbicara kapan saja, dengan topik apa saja, dan dengan siapa saja. Ini semua terserah Allah ﷻ.

Kedua: Ini adalah bantahan ahli filsafat kepada orang-orang Asya’irah.

Ahli filsafat berkata, dahulu Allah ﷻ sendiri tanpa makhluk, jika Allah ﷻ statis maka jelaskan bagaimana proses penciptaan makhluk. Logikanya jika Allah ﷻ statis yaitu tidak ada sesuatu sebab yang baru sama sekali maka seharusnya tidak ada makhluk.

Adapun akidah Ahlusunah sangat mudah, Allah ﷻ sejak azali maha sempurna, dan ketika Allah ﷻ ingin menciptakan maka Allah ﷻ memiliki kehendak baru. 

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82)

Dalam ayat ini disebutkan “jika Allah ﷻ berkehendak” yang menunjukkan ada kehendak Allah ﷻ yang baru. Sifat kehendak Allah ﷻ azali, namun kehendak Allah ﷻ untuk melakukan sesuatu adalah sesuatu yang baru. Hal ini bukanlah suatu masalah, lalu mengapa mereka mempermasalahkan hal ini? Mengapa mereka mensyaratkan Tuhan harus tidak memiliki kehendak baru? Ini semua dikarenakan mereka terjebak oleh suatu pemikiran yang mereka anggap absolut dan tidak boleh diotak-atik, padahal pemikiran ini tidaklah absolut. Karena disebabkan mereka mengikuti pemikiran Aristoteles dan Plato akhirnya mereka menakwil kebanyakan ayat-ayat sifat.


Bersambung ke Bagian-11...


Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukun Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https://bekalislam.firanda.com/syarah-rukun-iman

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah (9/13)

Syarah Rukun Iman - Iman Kepada Allah
Bismillah...

Lanjutan dari Bagian-8...

Sempurnanya Sifat Allah ﷻ Dan Syubhatnya

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Allah ﷻ memperkenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an hampir dalam setiap lembarannya. Di dalamnya Allah ﷻ menyebutkan nama-nama-Nya. Setiap nama Allah ﷻ mengandung sifat-sifat-Nya. Dengan semakin seseorang mengenal nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya maka dia akan semakin bertakwa kepada Allah ﷻ, sebagaimana yang diungkapkan oleh para salaf,

وَمَنْ كَانَ بِاللهِ أَعْرَفَ؛ كَانَ مِنْهُ أَخْوَفَ

Barang siapa yang semakin mengenal Allah ﷻ maka dia akan semakin takut kepada Allah .” ([1])

Syaikh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahumallah berkata,

وَكُلَّمَا كَانَ العَبْدُ بِاللهِ أَعْرَف كَانَ لِعِبَادَتِهِ أَطْلَب، وَعَن مَعصِيَتِهِ أَبْعَد

Ketika seorang hamba lebih mengenal Allah ﷻ maka dia juga akan lebih semangat dalam beribadah kepada Allah ﷻ dan semakin jauh dari berbuat maksiat kepada-Nya.” ([2])

Barang siapa yang lebih mengenal Allah ﷻ maka akan semakin mudah baginya untuk khusyuk di dalam salat. Semakin mudah baginya untuk merasakan kelezatan manisnya iman ketika beribadah kepada Allah ﷻ. Hal ini dikarenakan dia tahu siapa yang dia sembah. Sungguh benar pepatah orang Indonesia “tak kenal maka tak sayang”. Oleh karena itu hendaknya seseorang berusaha untuk mengenal sifat-sifat Allah ﷻ. Semakin banyak sifat-sifat Allah ﷻ yang dia pelajari, yang dia yakini, dan yang dia pahami maka dia akan semakin mengagungkan Allah ﷻ.

Kita tahu bahwasanya sifat-sifat Allah ﷻ semuanya adalah maha sempurna. Oleh karenanya ketika orang-orang musyrikin mendatangi Nabi Muhammad ﷺ kemudian berkata,

صِفْ لَنَا رَبّكَ

Berikanlah kepada kami sifat-sifat tuhanmu.” ([3])

Turunlah surat Al-Ikhlas kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Surat ini disebut dengan Al-Ikhlas (murni) karena kandungan dari surat ini adalah murni untuk menjelaskan sifat-sifat Allah ﷻ. 

Allah ﷻ berfirman,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah ﷻ, Yang Maha Esa. Allah ﷻ tempat meminta segala sesuatu. (Allah ﷻ) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Maksud dari Allah الصَّمَدُ adalah Allah ﷻ maha sempurna dari segala sisi. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu menjelaskan tentang الصَّمَدُ dengan perkataan beliau,

السَّيِّدُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي سُؤْدَدِهِ، وَالشَّرِيفُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي شَرَفِهِ، وَالْعَظِيمُ الَّذِي قَدْ عَظُمَ فِي عَظَمَتِهِ، وَالْحَلِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِلْمِهِ، وَالْغَنِيُّ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي غِنَاهُ، وَالْجَبَّارُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي جَبَرُوتِهِ، وَالْعَالِمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي عِلْمِهِ، وَالْحَكِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِكْمَتِهِ، وَهُوَ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي أَنْوَاعِ الشَّرَفِ وَالسُّؤْدَدِ، وَهُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذِهِ صِفَتُهُ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لَهُ

Dialah pemimpin yang sempurna dalam kepemimpinan-Nya, Dialah yang mulia yang sempurna dalam kemulian-Nya, Dialah yang agung yang sempurna keagungan-Nya, Dialah yang lembut yang sempurna kelembutan-Nya, Dialah yang kaya yang sempurna kekayaan-Nya, Dialah yang Maha Kuasa yang sempurna kekuasaan-Nya, Dialah maha mengetahui yang sempurna dalam ilmu-Nya, Dialah yang maha bijak yang sempurna dalam kebijakan-Nya, Dialah yang telah sempurna di segala macam kemuliaan dan kepemimpinan-Nya, Dialah Allah ﷻ, inilah sifat-Nya yang tidak pantas kecuali hanya untuk Dia.” ([4])

Inilah surat yang turun khusus untuk menjelaskan kesempurnaan sifat-sifat Allah ﷻ. Karena begitu agungnya surat Al-Ikhlas sampai Rasulullah ﷺ menyatakan siapa yang membaca surat Al-Ikhlas maka dia seakan-akan telah membaca sepertiga Al-Qur’an. 

Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur’an dalam semalam?” Mereka mengatakan, ”Bagaimana kami bisa membaca seperti Al-Qur’an?” Lalu Nabi Muhammad ﷺ bersabda, ”Qul huallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” ([5])

Mengapa disebut sepertiga Al-Qur’an? Karena dia spesifik membahas sifat-sifat Allah ﷻ, sehingga surat tersebut menjadi agung. Sama seperti ayat kursi, Nabi Muhammad ﷺ bersabda ketika bertanya kepada seorang sahabat,

«يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟» قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟» قَالَ: قُلْتُ: {اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ} قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي، وَقَالَ: «وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ»

Hai Abu Mundzir! tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat Al-Qur`an yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata; saya menjawab, “Allah ﷻ dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bertanya lagi: “Hai Abu Mundzir, tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata, Saya menjawab, “ALLAHU LAA ILAAHA ILLAA HUWAL HAYYUL QAYYUUM.” Abu Mundzir berkata, lalu beliau menepuk dadaku seraya bersabda: “Demi Allah ﷻ, semoga dadamu dipenuhi dengan ilmu, wahai Abu Mundzir.” ([6])

Ayat kursi dikatakan ayat yang paling agung dikarenakan semuanya berisi tentang pengagungan kepada Allah ﷻ dari sifat-sifat-Nya dan kemahaan-Nya. 

Allah ﷻ berfirman,

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah ﷻ, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah ﷻ tanpa izin-Nya? Allah ﷻ mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah ﷻ melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah ﷻ meliputi langit dan bumi. Dan Allah ﷻ tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah ﷻ Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Surat Al-Ikhlas menjadi sepertiga Al-Qur’an dan ayat Al-Kursi menjadi ayat teragung di dalam Al-Qur’an karena keduanya bercerita tentang keagungan Allah ﷻ. Oleh karenanya, seseorang jika merenungkan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ maka dia akan mendapatkan pahala yang tinggi. Jangan sampai kita hanya sekedar membaca dengan melewatinya begitu saja. Hendaknya kita merenungkan ketika membaca tentang ayat-ayat di mana Allah ﷻ menceritakan dan mengenalkan tentang diri-Nya. Kita harus berusaha untuk mengenal diri-Nya, karena Allah ﷻ menciptakan alam semesta ini agar kita tahu keagungan-Nya. 

Allah ﷻ berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah ﷻ berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah ﷻ Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ﷻ ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Talaq: 12)

Hendaknya kita mempelajari tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ karena ini adalah ilmu yang agung. Kita tahu bahwasanya sifat Allah ﷻ adalah sifat yang sempurna, sehingga kita selalu menggunakan kata “maha”. Ketika manusia memiliki sifat mendengar dan melihat maka Allah ﷻ memiliki sifat maha mendengar dan maha melihat. Antara Allah ﷻ dan manusia sama-sama memiliki sifat melihat dan mendengar dari segi makna, akan tetapi untuk Allah ﷻ kita tambahkan dengan memberikan kata “maha” karena sifat Allah ﷻ maha agung.

Jika kita kembali kepada makna الصَّمَدُ, maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan maknanya,

السَّيِّدُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي سُؤْدَدِهِ، وَالشَّرِيفُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي شَرَفِهِ، وَالْعَظِيمُ الَّذِي قَدْ عَظُمَ فِي عَظَمَتِهِ، وَالْحَلِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِلْمِهِ، وَالْغَنِيُّ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي غِنَاهُ، وَالْجَبَّارُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي جَبَرُوتِهِ، وَالْعَالِمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي عِلْمِهِ، وَالْحَكِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِكْمَتِهِ، وَهُوَ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي أَنْوَاعِ الشَّرَفِ وَالسُّؤْدَدِ، وَهُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذِهِ صِفَتُهُ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لَهُ

Dialah pemimpin yang sempurna dalam kepemimpinan-Nya, Dialah yang mulia yang sempurna dalam kemuliaan-Nya, Dialah yang agung yang sempurna keagungan-Nya, Dialah yang lembut yang sempurna kelembutan-Nya, Dialah yang kaya yang sempurna kekayaan-Nya, Dialah yang Maha Kuasa yang sempurna kekuasaan-Nya, Dialah maha mengetahui yang sempurna dalam ilmu-Nya, Dialah yang maha bijak yang sempurna dalam kebijakan-Nya, Dialah yang telah sempurna di segala macam kemuliaan dan kepemimpinan-Nya, Dialah Allah ﷻ subhanahu, inilah sifat-Nya yang tidak pantas kecuali hanya untuk Dia.” ([7])

Tafsir Ibnu Abbas ini menjelaskan bahwasanya antara Allah ﷻ dan manusia memiliki sifat-sifat yang sama akan tetapi Allah ﷻ memiliki sifat yang paling sempurna. Seperti yang disebutkan di atas tentang sifat-sifat Allah ﷻ seperti sifat ilmu, keagungan, dan kemuliaan. Maka kita katakan bahwasanya manusia juga memiliki sifat-sifat tersebut. Contohnya sifat agung manusia, di mana Nabi rahimahullah ketika menulis surat kepada Heraklius beliau menulis,

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ

Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraklius pembesar Romawi.” ([8])

Dari sini kita dapati manusia disifati dengan agung dan Allah ﷻ juga disifati dengan agung. Akan tetapi keagungan Allah ﷻ maha sempurna. Kita tahu bahwa sifat-sifat Allah ﷻ seluruhnya maha sempurna. Kita ambil contoh “sifat mendengar”. Pendengaran kita terbatas, kita hanya bisa mendengar pada frekuensi tertentu adapun pada frekuensi yang lebih tinggi maka kita tidak mampu untuk mendengar. Ada suara-suara yang tidak mampu untuk kita dengar namun bagi sebagian hewan-hewan bisa didengar. Kita tidak mampu untuk mendengar suara yang sangat jauh. Kita tidak kuat mendengar suara yang melengking. Oleh karenanya di antara yang menyebabkan manusia meninggal pada hari kiamat adalah tiupan sangkakala yang sangat besar. Hal ini dikarenakan pendengaran manusia tidak mampu untuk mendengarnya. 

Allah ﷻ berfirman,

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ

Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua).” (QS. ‘Abasa: 33)

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia pada hari kiamat akan mati dikarenakan suara yang sangat keras. Termasuk contoh yang menjelaskan tentang terbatasnya pendengaran manusia adalah jika ada 10 orang yang bersuara secara bersamaan maka kita tidak bisa menangkap isi semua pembicaraan, karena suara tersebut tercampur baur. Walaupun kita memang mendengar suara-suara tersebut akan tetapi kita tidak mampu untuk menguasainya. Kita mampu mendengar karena pada asalnya kita diciptakan bisa mendengar.

Allah ﷻ berfirman,

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا. إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan:1-2)

Inilah pendengaran manusia, Allah ﷻ menjadikan manusia mendengar dan melihat akan tetapi pendengaran dan penglihatannya terbatas. Berbeda dengan pendengaran dan penglihatan Allah ﷻ yang tanpa batas.

Bayangkan ketika di musim Arafah yaitu di musim haji, di mana manusia yang berjumlah mungkin sekitar 3 sampai 4 juta orang dan semuanya menengadahkan tangan ke langit berdoa kepada Allah ﷻ dengan berbagai macam permintaan, dengan berbagai macam permohonan, dan dengan berbagai macam bahasa, akan tetapi semuanya bisa di dengar oleh Allah ﷻ dalam satu waktu. Allah ﷻ maha mendengar suara makhluk-makhluk-Nya di mana pun. Bahkan suara hati pun Allah ﷻ dapat mendengarnya.

Ini semua menjadi contoh di mana Allah ﷻ dan makhluk-Nya sama-sama memiliki sifat yang sama. Akan tetapi sifat Allah ﷻ maha agung sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas radhillahu ‘anhuma pada kata Ash-Shamad. Manusia memiliki sifat agung maka Allah ﷻ memiliki sifat yang lebih agung. Manusia memiliki sifat ilmu maka Allah ﷻ maha berilmu. Manusia memiliki sifat mulia maka Allah ﷻ memiliki sifat lebih mulia. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ berusaha untuk mendekatkan pemahaman ini. Contohnya ketika Nabi membacakan ayat,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا، وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالعَدْلِ، إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah ﷻ menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah ﷻ memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah ﷻ adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Nabi Muhammad ﷺ memberikan isyarat dengan kedua jarinya kepada mata dan telinganya([9]). Ini menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ benar-benar melihat dan mendengar. Akan tetapi dibandingkan dengan pendengaran dan penglihatan manusia maka pendengaran dan penglihatan Allah ﷻ maha sempurna. Berbeda dengan pendengaran dan penglihatan kita yang terbatas.

Demikian juga ketika Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan sifat rahmat, di mana Allah ﷻ dan manusia sama-sama memiliki sifat kasih sayang. Akan tetapi kasih sayang Allah ﷻ jika dibandingkan dengan kasih sayang manusia maka sungguh jauh berbeda. 

Suatu hari Nabi Muhammad ﷺ melihat seorang ibu yang kehilangan anaknya, kemudian mencari-carinya. Ketika ia mendapatkan anaknya maka ia memeluk dan menyusuinya. Ini adalah bentuk kasih sayang tertinggi di alam semesta, yaitu kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Terlebih lagi terhadap anak yang baru ditemukan yang sebelumnya hilang, maka itulah puncak dari kasih sayang. Ketika Nabi Muhammad ﷺ melihat suasana seperti ini maka beliau ﷺ berkata kepada para sahabat,

أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا: لَا، وَاللهِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

Apakah menurut kalian wanita ini akan melemparkan anaknya di api?”. Maka kami berkata, “Demi Allah ﷻ, tentu tidak, sementara ia mampu untuk tidak melemparnya”. Maka Rasulullah rahimahullah berkata, “Sungguh Allah ﷻ lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya.” ([10])

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwasanya rahmat Allah ﷻ lebih agung dari manusia. Manusia memiliki sifat rahmat begitu juga Allah ﷻ, akan tetapi rahmat Allah ﷻ lebih agung dari rahmat manusia. Ini semua berlaku pada setiap sifat-sifat Allah ﷻ. 

Contoh lainnya ketika Nabi menggambarkan tentang kegembiraan Allah ﷻ, yaitu ketika seseorang yang berjalan di tengah padang pasir dengan untanya,

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ “

Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat salah seorang dari kalian tatkala ia bertobat kepada-Nya, dibandingkan dengan kegembiraan seseorang yang berada di atas tunggangannya di suatu tanah yang luas, lalu tunggangannya tersebut lepas, sedangkan makanan dan minumannya pada tunggangannya tersebut. Ia pun putus asa untuk mendapatkan untanya. Maka ia mendatangi suatu pohon dan berbaring di bawah naungan pohon tersebut dan ia sungguh telah berputus asa. Di tengah keadaan itu, ternyata ontanya telah ada berdiri di dekatnya. Segera ia pun mengambil tali ontanya seraya berkata lantaran sangat gembira: “wahai Allah ﷻ kamu adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu” keliru berucap karena terlalu gembira” ([11])

Hamba ini gembira dengan kegembiraan yang sangat luar biasa, dia merasa akan segera mati namun tiba-tiba diberikan kesempatan untuk hidup. Maka kegembiraan Allah ﷻ lebih dari kegembiraan hamba ini

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ

Sungguh Allah ﷻ lebih gembira dengan tobat salah seorang dari kalian tatkala ia bertobat kepada-Nya

Jadi Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat gembira, sayang, melihat, dan mendengar. Semua ini Rasulullah ﷺ jelaskan agar kaum muslimin bisa menerima dan memahaminya. Akan tetapi perbedaan antara sifat makhluk dengan sifat Allah ﷻ adalah semua sifat Allah ﷻ itu “maha”. Para sahabat juga dahulu memahami ini semua, ketika dijelaskan tentang sifat Allah ﷻ maka tidak kemudian timbul pertanyaan dari benak mereka. Mereka tidak mengatakan “jika Allah ﷻ bisa melihat, lalu bagaimana cara melihat-Nya?”. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan demikian. Mereka juga tidak ada yang mengatakan “jika Allah ﷻ mendengar berarti Allah ﷻ memiliki telinga dan lainnya”. Mereka juga tidak mengatakan “jika Allah ﷻ berbicara apakah Allah ﷻ memiliki pita suara dan lainnya?”. Para sahabat tidak pernah bertanya tentang kaifiah sifat Allah ﷻ, karena mereka tahu itu bukanlah urusan mereka. Namun mereka semua tahu bahwasanya Allah ﷻ berbicara, melihat, mendengar, menyayangi, gembira, dan yang lainnya. Ini semua dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk menekankan kepada kita bahwasanya Allah ﷻ memiliki sifat-sifat yang sifat-sifat tersebut menunjukkan keagungan Allah ﷻ. Semakin banyak sifat yang kita ketahui maka semakin kita mengerti tentang Allah ﷻ, seperti Allah ﷻ memiliki sifat marah, magfirah, dan memaafkan yang ini semua adalah sifat-sifat Allah ﷻ.

Lalu datanglah Ahli Bidah yang mereka tidak bisa menerima sifat-sifat Allah ﷻ. Logika mereka tidak sampai untuk menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ. Mereka memiliki syarat Tuhan yang ini memiliki pembahasan yang sangat panjang. Inti dari kesimpulannya adalah karena mereka tenggelam pada ilmu filsafat, mereka mempelajari buku Aristoteles, Plato, dan buku-buku filsafat lainya yang kemudian membuat mereka terjebak dalam syubhat ahli filsafat. Akhirnya mereka mengatakan bahwasanya Tuhan memiliki syarat, syarat Tuhan harus statis dan tidak boleh mengalami perubahan sama sekali. Ini disampaikan oleh Plato dalam bukunya The Laws Of Plato yang kemudian juga disampaikan oleh Aristoteles. Dengan syubhat logika mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan harus statis tidak boleh ada gerakan atau perubahan sama sekali.

Lalu bagaimana sikap mereka terhadap sifat-sifat yang telah disebutkan di atas? Mereka bingung dalam menghadapi sifat-sifat tersebut. Seperti sifat melihat, maka sifat melihat butuh kepada objek yang dilihat, sedangkan objek yang dilihat berubah-ubah. Contohnya Allah ﷻ meliat kita dan kita bergerak-gerak, maka ini menunjukkan bahwa objek yang dilihat Allah ﷻ berubah-ubah sehingga penglihatan Allah ﷻ mengalami perubahan. Mereka menolak hal yang seperti ini dan mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penglihatan Allah ﷻ adalah ilmu Allah ﷻ, yaitu Allah ﷻ mengetahui tentang yang terlihat. Jadi mereka terjebak dengan logika bahwasanya Tuhan harus statis, tidak boleh dinamis, tidak boleh mengalami perubahan, dan tidak boleh ada heterogen pada zat Allah ﷻ. Mereka terjebak pada syubhat mereka yang syubhat tersebut dijadikan sebagai syarat Tuhan. Entah dari mana mereka mendatangkan syarat tersebut? Mengapa juga Tuhan harus mengikuti syarat mereka?

Begitu juga pada sifat mendengar, Ahlusunah mengimani bahwasanya Allah ﷻ maha mendengar. 

Allah ﷻ berfirman,

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah ﷻ Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujadilah: 1)

Dalam ayat ini Allah ﷻ menyebutkan وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا “dan Allah ﷻ mendengar soal jawab antara kamu berdua” antara Nabi Muhammad ﷺ dengan wanita yang sedang mengadukan suaminya. Ketika mereka sedang berbicara maka Allah ﷻ sedang mendengarnya. Akhirnya ayat ini membuat mereka kembali bingung, jika Allah ﷻ mendengar maka ada objek yang didengar sedangkan suara berubah-ubah. Lalu bagaimana cara mereka menggabungkan hal ini dengan sifat Allah ﷻ sedangkan sifat Allah ﷻ menurut mereka harus statis dan tidak boleh mengalami perubahan. Mereka pun mengatakan bahwa tidak ada sifat mendengar bagi Allah ﷻ dan yang ada hanya sifat mengetahui sesuatu yang terdengar. Mereka menakwil sifat mendengar dan melihat kepada ilmu. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan, karena hal ini tidak bisa dipahami oleh masyarakat umum. Ini hanya dilakukan oleh orang Asya’irah yang terjebak di dalam filsafat yang mereka sendiri tidak paham akan akidah mereka. Jika mereka ingin mengabarkan kepada masyarakat maka masyarakat hanya bertambah bingung.

Akidah Islam yang sesungguhnya sangat mudah dan logis tidak sesulit akidah mereka yang aneh. Allah ﷻ menyebutkan diri-Nya melihat dan mendengar maka ini berbeda dengan ilmu. Ilmu mewakili sifat tertentu, mendengar sifat tertentu, dan mendengar mewakili sifat tertentu. Bagaimana mungkin kemudian mendengar dan melihat ditakwil menjadi sifat ilmu? Ini semua dikarenakan otak mereka yang tidak bisa memahami hal ini dengan membuat Tuhan harus memiliki syarat statis.

Contoh lainnya adalah sifat rahmat (kasih sayang), mereka tidak bisa menerima Allah ﷻ memiliki sifat rahmat, karena menurut mereka sifat rahmat adalah kecenderungan hati dan lainnya sehingga mereka menolak sifat rahmat. Mereka menakwil sifat rahmat dengan iradah (berkehendak) untuk berbuat baik kepada makhluk-Nya. Hal ini dikarenakan mereka hanya menetapkan 7 sifat saja, adapun sifat-sifat lainnya mereka takwilkan kepada 7 sifat tersebut karena menurut mereka hanya 7 sifat ini yang masuk logika mereka. Intinya mereka membuat syarat untuk Tuhan dan syarat tersebut mereka pertahankan. Sifat-sifat yang tidak sesuai dengan syarat tersebut mereka takwilkan. Adapun kita tidak seperti itu dan kita semua mengetahui makna kasih sayang. Juga Rasulullah ﷺ telah menjelaskan ketika seorang ibu yang menyayangi anaknya maka kasih sayang Allah ﷻ lebih besar dari pada kasih sayang ibu kepada anaknya. Itu semua benar, karena terkadang kita dapati sebagian ibu tidak memaafkan anaknya yang meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Adapun Allah ﷻ maka sebesar apa pun seorang hamba melakukan kemaksiatan jika dia memohon maaf kepada Allah ﷻ maka Allah ﷻ akan memaafkannya. Allah ﷻ lebih rahmat dari seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi ketika kita memasuki koridor ahli bidah kita dapati mereka tidak bisa menerima Allah ﷻ memiliki sifat kasih sayang disebabkan syubhat-syubhat yang mereka miliki.

Contoh berikutnya adalah sifat ketinggian Allah ﷻ, Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Allah ﷻ Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Tinggi berbeda dengan agung. Tinggi mewakili atribut tersendiri dan agung mewakili atribut tersendiri. Ketika seorang dari ahli bidah mengatakan bahwa tinggi sama dengan agung maka tidak ada bedanya antara tinggi dan agung, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Allah ﷻ membedakan kedua hal tersebut dalam firman-Nya,

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Allah ﷻ Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Ini menunjukkan bahwa antara tinggi dan agung ada perbedaan. Kemudian mereka dengan logika mereka mengatakan bahwa Allah ﷻ tidak di atas, tidak di bawah, tidak bisa ditunjuk, tidak di mana-mana, dan lainnya. Semua hadis-hadis dan ayat-ayat mereka takwil. Ini semua dikarenakan mereka terjebak di dalam syubhat filsafat yang mengatakan Allah ﷻ statis dan tidak boleh mengalami perubahan. Dari syubhat ini muncul syubhat-syubhat berikutnya yang tentunya tidak lebih logis lagi.

Jadi intinya kita sebagai Ahlusunah meyakini bahwasanya Allah ﷻ memiliki sifat yang banyak. Semakin kita mengenal sifat-sifat Allah ﷻ maka kita semakin sayang dan semakin cinta kepada Allah ﷻ dan juga semakin membuat kita mengagungkan Allah ﷻ. Sifat-sifat Allah ﷻ masing-masing memiliki makna tersendiri. Para ulama menjelaskan secara detail tentang sifat-sifat tersebut, seperti membedakan antara sifat al-maghfiah dan al-‘afwu, antara sifat al-qawi dan al-matin. Karena sangat detailnya sifat-sifat Allah ﷻ maka para ulama pun membahasnya. Sementara ahli bidah hanya mengakui 7 sifat saja yaitu al-‘ilmu, al-iradah, as-sama’, al-basar, al-hayat, al-kalam, dan qudrah. Hanya 7 sifat ini saja yang mereka yakini. Di luar dari 7 sifat ini di mana selain dari 7 sifat ini sangat banyak maka mereka takwil kepada 7 sifat ini. Seperti hal-hal yang mereka tidak pahami maka mereka kembalikan kepada sifat ilmu atau sifat iradah misalnya.


Bersambung ke Bagian-10...


Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukun Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https://bekalislam.firanda.com/syarah-rukun-iman

---------------

Footnote:

([1]) At-Taudiih Ar-Rasyiid Fii Syarh At-Tauhiid (1/120)

([2]) https://khutabaa.com/khutabaa-section/corncr-speeches/173187

([3]) Tafsir al-Qurthubi (20/246)

([4]) Tafsir ath-Thabari (24/736)

([5]) HR. Bukhari No. 5015 dan Muslim No. 811.

([6]) HR. Muslim No. 810.

([7]) Tafsir ath-Thabari (24/736).

([8]) HR. Ahmad No. 2370 dan dikatakan oleh Syuaib Al-Arnauth Hadis ini sahih.

([9]) HR. Abu Dawud No. 4728

([10]) HR. Bukhari No. 5999 dan Muslim No. 2754.

([11]) HR Muslim No. 2747.

===============================

Wallahu a'lam bishawab.

Silakan disebarluaskan tanpa mengubah isinya dan dengan tetap menyertakan sumber, semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita. “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya“. [HR Muslim, 3509].

Jazaakumullahu khairan.


Share:

Popular Posts

Blog Archive